"Lihat tuh Ammar! Dia tuh satu-satunya anak yang pernah kuliah di UI di kampung ini. Tapi bukannya nyari kerjaan di luar malah buka usaha kue begitu."
"Ada yang salah kalau ngambil jalan begitu?"
"Ya enggak. Harusnya dia bisa lebih baik. Di kota besar bisa dapat gaji lebih gede. Harusnya yaaa."
Aaaah. Ia sudah biasa mendengar ejekan semacam itu. Bahkan hingga bertahun-tahun terakhir. Ingin rasanya berteriak dan menghakimi mereka. Tapi untuk apa? Lebih baik ia gunakan tenaga itu untuk sesuatu yang lebih penting. Iya kan?
"Kerja itu, nak, yang penting bermanfaat bukan persoalan gajinya," tutur Pak Kades suatu hari padanya. Ia berhenti sejenak dengan motor tuanya di kebun milik Ammar. Perlu dicatat, kebun milik Ammar bukan orangtuanya. Luasnya hanya sepuluh hektar. Ia bagi ke sepuluh jenis tanaman yang ia tanam dengan masing-masing seluas satu hektar. Ada tiga jenis cabai, dua jenis tomat, sayur sawi, bawang merah, bawang bombay, bawang putih, dan kacang-kacangan. Sebagian besar masuk supermarket. Karena ini pertanian organik. Sebagian kecil masuk ke pasar. Dan sisanya untuk kebutuhan Ammar, kekaurganya dan tentu saja orang-orang di desa ini. Meski perbuatan baik Ammar tak selaku mendapat pujian baik malah sering mendapat hujatan. Hanya karena sebuah alasan. Kenapa Ammar harus menetap di kampung padahal ia bisa meraih pekerjaan di kota besar dan menurut mereka itu lebih keren dibanding menjadi petani dan pengusaha kecil? Iya kan? Itu lah yang ada di pikiran mereka. Tapi tentu berbeda dengan pikiran bapak tua ini. "Semua harta hanya titipan dan kelak di akhirat, kau akan ditanya untuk apa kau gunakan semua harta yang kau dapat? Tapi yang menjawab belum tentu mulut kau. Bisa jadi anggota tubuh kau yang lain. Maka bersyukur lah, nak, dengan semua ini sudah membuat kau berhasil menjawab pertanyaan itu dengan baik suatu saat nanti."
Ammar terpekur. Memang benar. Tapi ia tak terlalu menyanjungnya. Ada kemarahan yang tak terungkap yang ada di hatinya. Meski usahanya sukses, pertaniannya juga mendulang yang sama, ia tak lantas puas. Ini karena bukan mimpinya sama sekali. Lantas bagaimana mungkin ia bisa membangun ini semua kalau bukan mimpinya?
Kejadian sebenarnya ada pada seorang lelaki tua yang sedang bersiul di atas rakitnya. Ia baru saja melempar pancingan ke arah air untuk menangkap beberapa ikan. Ini hanya hobi bukan untuk mencari uang. Ia tidak perlu mencari uang lagi karena ada anaknya. Ya, anaknya adalah Ammar. Ammar masih marah dengan lelaki itu tapi ia pendam dalam-dalam. Kelaki itu adalah akar masalah dalam hidup Ammar yang rumit.
Dulu, waktu Ammar berhasil menyelesaikan sarjananya, ternyata ada masalah yang dibawa oleh pengecut keluarganya. Ya, ayahnya sendiri. Lelaki itu berhutang banyak dan memilih kabur ke Jawa. Tumbalnya? Adiknya yang sampai sekarang trauma melihat lelaki. Bagaimana Ammar tidak marah kalau ayahnya sendiri menjual anak perempuannya? Saat tahu ayahnya kabur ke Jawa, Ammar yang saat itu masih berada di Depok langsung berangkat mencarinya. Ia satu-satunya anak lelaki di rumahnya dan harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan itu. Kesalahan yang tak ia inginkan. Dan ia membujuk lelaki itu untuk pulang ke rumah selama hampir dua minggu. Satu hal yang membuat ayah Ammar akhirnya setuju untuk pulang. Apa? Kembali ke kampung. Hal yang jelas-jelas tidak Ammar inginkan. Karena Ammar tidak bermimpi untuk pulang kampung. Ia justru bermimpi menjadi manajer seperti yang dipegang Bastian saat ini. Padahal banyak yang mungkin iri dengan uang yang dimiliki Ammar bukan? Karena pekerjaan sebagai petani dan pengusaha kecil membuatnya memiliki banyak pemasukan dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Namun ternyata....
Aaah. Ada sebabnya. Itu karena mimpi Ammar. Ia hanya ingin melanjutkan kuliah di luar negeri dan mengejar mimpi menjadi dosen hingga Professor. Tidak di Indonesia karena ia tahu lebih keren jika berdedikasi di sana tapi Tuhan berkehendak lain melalui masalah hidup yang menimpanya. Hingga akhirnya, ia harus bertanggung jawab pada keluarganya. Ia yang mengurus perkebunan sawit keluarga yang tak seberapa luas. Hanya sekitar tiga hektar namun uang dari itu lah yang digunakan untuk bulanannya selama di UI. Lalu melunasi sedikit demi sedikit hutang ayahnya yang kini sebetulnya sudah lunas. Lelaki itu juga berjanji tidak akan berhutang lagi. Meski hanya omong kosong. Ammar mulai lelah dengan keadaan ini.
Persoalan mimpi yang tak kunjung tercapai membuat Ammar hanya bisa menyalahkan dua hal. Apa? Pertama kesalahan ayahnya. Kedua....Tuhan. Mengerikan bukan? Ya.
Bahkan beberapa tahun terakhir, Ammar tak pernah lagi ke masjid. Ah jangankan ke masjid, solat pun sudah tak pernah. Ibunya hanya bisa berdoa agar anak baiknya segera kembali. Ia juga tak berani menyalahkan siapapun akan keadaan ini. Anak bungsu perempuannya bahkan setengah gila dan lebih sering diikat di dalam kamar karena sering mengamuk. Anak perempuan tuanya sukses menjanda karena ditinggal pergi sang suami untuk selamanya. Semua yang tinggal di rumah sederhana itu sukses menggantungkan hidup pada Ammar.
"Dia masih nak kejar mimpi S2, Mak?" tanya Amira, anak perempuan sulungnya yang kini sukses mengamalkan ilmu manajemen Ammar dalam mengurus penjualan hasil pertanian dan juga kue-kue dari UMKM Ammar.
"Dia belum ngomong. Tapi Mak lihat banyak kertas di atas laptopnya itu. Cuma Mak gak paham. Ya, untuk Mak yang gak sekolah dasar mana ngerti baca macam tuh?"
Amira terkekeh. "Biar Amira yang baca kalau begitu."
Ibunya mengangguk-angguk kepala. Anak sulungnya bergerak ke kamar Ammar.
"Mak rela kalau Ammar nak ngejar mimpinya?" ia bertanya sebelum melangkah lebih jauh.
"Kalau itu Ammar gak masalah. Dia sudah banyak berkorban waktu di sini."
Amira terkekeh. Ya, benar. Sejak dulu, Ammar selalu berkorban apapun untuk keluarga mereka.
@@@
"Ammar akan serahkan semua nih sama Yuk Amira."
"Kenapa?"
Ammar menarik nafas dalam. "Ammar merasa bukan ini jalan mimpi Ammar."
"Apa yang salah dengan ini?"
"Gak ada yang salah. Cuma....," ia menarik nafas dalam. Ia tak mengerjakan semua hal ini dari hati. Tapi hebatnya tetap sukses. Bukan kah itu keren?
"Pak Cik kira, ini pun bukan sebuah kebetulan. Kau bisa saja cari jalan lain tapi tak semua jalan bisa kau raih, Ammar. Kau tahu kenapa kau begitu sukses di kampung ini, Ammar?"
Ammar menunduk. Ia bahkan tak berpikir kalau apa yang ia lakukan adalah kesuksesan. Karena masing-masing orang memiliki standar dan definisi sukses tersendiri. Dan bagi Ammar, menjadi sukses itu adalah berhasil meraih mimpi. Tapi siapa pun tahu. Ia hanya lah petani dan pengusaha kecil. Ia merasa kalah keren dengan orang yang berpangkat manajer atau semacamnya. Tapi ini lah pikiran Ammar yang kadang mengkotak-kotakkan sesuatu hingga terlalu sempit. Padahal tidak ada yang salah dengan jalan yang ia ambil.
Selama beberapa tahun terakhir, ia terus mengejar beasiswa. Pertama, ia gagal karena tes bahasa Inggris yang kurang sedikit. Setelah ia perbaiki, ia gagal administrasi. Gagal administrasi, di tahun berikutnya ia mencoba lagi. Tapi gagal lagi di tahap wawancara hanya karena jurusan yang diambilnya dikatakan oleh sang interviewer tidak sesuai dengan apa yang dijalaninya. Ammar menangkap penolakan seperti itu. Padahal pihak pemberi beasiswa saat itu menawarkan untuk Ammar pindah jurusan jika mau mendapat beasiswa. Namun ia keras kepala. Ia tidak mau mengambil jurusan pertanian atau apapun untuk S2-nya. Karena tak merasa cocok. Ia masih ingin memperdalam jurusan sarjananya sebagai anak kesehatan masyarakat. Kegagalan di tahun lalu, ia tidak lolos hanya karena pemberi rekomendasinya tidak terlalu bagus. Masih kalah denga rekomender pendaftar beasiswa lain. Hal yang tentu saja membuatnya kecil hati. Namun perkenalannya dengan seorang pejabat pemerintahan beberapa bulan lalu bagai membuka jalan. Bahkan ia berencana untuk berangkat ke Jakarta dan mengejar rekomender itu. Siapa tahu mau memberikannya rekomendasi untuk lebih menjual namanya. Tapi di sisi lain, ia juga mulai pesimis dan takut berharap. Ia takut gagal lagi.
"Kau gunakan pola pikir orang berilmu. Cerdasnya pikiran kau terapkan dalam pertanian ini. Lihat lah tanaman kau, apa yang kau tanam semuanya berhasil? Ibu-ibu janda di sini pun kau bantu biar dapat pemasukan. Itu suksesnya kau, Ammar."
Tapi Ammar menggeleng lemah. Akan banyak orang yang menyebutnya bodoh atau apapun namun sebetulnya ini hanya persoalan persepsi saja. Ammar memiliki pendapat yang berbeda tentang hidup. Apakah itu salah? Tidak juga kan?
"Rata-rata petani di sini hanya lulus SD, Ammar. Bahkan banyak yang tidak sekolah. Kalau bertani, mereka selalu gunakan pupuk kimia karena beranggapan lebih cepat tumbuh dan lebih besar buah-buahnya. Tapi semua petani di sini akhirnya belajar dari kau. Kalau lingkungan itu lebih penting dari pada nilai perekonomian itu sendiri. Kau buat pupuk organik di sana, kau bagi ke semua orang kampung. Kau terapkan itu sama pertanian kau sendiri. Alhasil punya kau masuk mall sementara yang lain hanya masuk pasar. Pertanian kau dihargai tinggi sementara yang lain masih murah. Kualitas yang kau tunjukan menjadikan kau petani yang berada di kelasnya."
Ammar hanya berdeham. Sebagus apapun kata-kata orang pada Ammar, ia lebih percaya dirinya sendiri. Kalau ia bukan lah apa-apa.
@@@
"Ammar mungkin akan tinggal di Jakarta."
"Kenapa? Kau tak betah?" tanya Amira.
Ia menggeleng. "Kau tahu apa yang nak ku gapai."
"Dan di sini tak pernah cukup?"
Ibunya menyergah Amira dengan menyenggol lengannya. "Kalau kau pergi, siapa yang nak pegang kebun?"
"Yuk Mira!" sahutnya enteng.
"Mana bisa lah aku tangani itu semua."
"Ayuk bisa! Kan dah belajar."
"Belajar cakapmu!"
Ammar tertawa. "Teknologi udah maju. Bukan alasan tidak bisa berkomunikasi. Kan bisa menghubungi kapan pun."
"Terus apa kerjaan kau di Jakarta, Ammar?" tanya ibunya.
Ammar menghela nafas. "Cuma mau gapai mimpi, Mak."
"Kalau gak dapat?"
"Coba dulu sebelum gagal. Kalau gagal, Ammar balik lagi."
Amira berdeham usai menatap dua wajah yang bersitegang itu. Sebetulnya, ia amat keberatan dengan kepergian Ammar. Karena lelaki itu yang memegang kendali semua usaha keluarga. Mau pertanian atau pun.
"Kalau aku boleh ngomong," ia menatap Ammar. Sebetulnya, sudah lama ia ingin mengatakan hal ini. Tapi takut Ammar tersinggung. Namun sepertinya tak ada jalan lain. "Tapi kau jangan tersinggung," ingatnya namun sepertinya percuma. "Aku cuma mau bilang. Untuk apa lah kau kejar S2 atau semacamnya itu. Kau cukup lah di sini. Pendapatan kau jauh lebih besar dari manajer-manajer di Jakarta itu. Ilmu kau kan sudah dapat banyak di kampus kuliah dulu. Untuk apalagi? Dan lagi, Mar, gelar itu gak kau bawa mati."
"Aku gak ngejar gelar. Aku ngejar pengalaman hidup. Bedanya hidup di kampung sama di perkampungan luar negeri. Aku gak mandang rendah orang-orang yang hidup di kampung tapi pola pikirnya akan terasa berbeda. Apa salahnya aku perjuangkan hal itu? Dan lagi, mimpiku bukan menjadi petani," tuturnya kesal lantas berjalan meninggalkan Amira dan ibunya yang menahan nafas lama.
"Ngomongnya pelan-pelan," tutur ibunya. Anak sulungnya menghela nafas. Kedua perempuan itu melihat Ammar pergi ke samping rumah. Barangkali untuk menenangkan diri.
"Mak tahu lah betapa kerasnya Ammar. Nak diceramahi kayak apapun tetap keluar. Menurut Mira, ada hubungannya dengan malasnya orang beribadah."
"Dari mana kau tahu hal semacam tuh?"
Amira tertawa. Ia hanya mendengar beberapa obrolan beberapa ustad di surau. Surau itu masjid kecil di kampung ini.
"Orang yang rajin ibadah, pintu hatinya punya kemungkinan lebih muda dibuka dibandingkan dengan yang tidak. Sehingga kebaikan lebih mudah masuk pada jiwa-jiwa yang dekat dengan Tuhan," tutur Amira yang sukses meng-copy dan paste kata-kata yang ia dengar berhari-hari lalu. "Tak sia-sia kan Mira sekolah sampai SMP?" tukasnya bercanda lantas tertawa bersama ibunya.
@@@
"Apalah guna banyak duit tapi tak beriman," tutur sang ibu warung. Ammar baru saja pergi dari warungnya usai membeli beberapa batang rokok. Ia tidak merokok. Ia membeli itu untuk menaruhnya di rumah kebun. Biasanya banyak petaninyang akan mampir ke rumah kebunnya untuk mengobrol ringan di siang atau sore hari. Ibunya dan kakaknya akan datang membawa makanan di siang hari.
"Siapa, Mak?" tanya anak gadisnya yang baru saja pulanh dari kota usai kuliah di Universitas Sriwijaya. Kampus terkemuka di kota ini. Siapa pun akan bangga kalau memiliki anak yang berkuliah di sana. Ia sudah dalam tahap akhir tahun kuliah dan sedang berupaya mengerjakan proposal penelitiannya.
Ibunya menunjuk punggung Ammar yang menjauh. Mata Amara menyipit demi melihat punggung asing itu. Ia jarang di kampung. Meski dekat, hanya empat jam dari kota, tapi lebih sering tinggal di rumah neneknya. Dan lagi, sejak kecil ia menang tinggal bersama neneknya. Neneknya dari sisi ayah kandung. Ayah kandungnya pula yang membiayai semua urusan sekolahnya hingga kuliah. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai. Kini hidup masing-masing. Meski ayah tirinya baru meninggal beberapa bulan lalu. Sementara ayah kandungnya juga sudah lama memiliki keluarga baru.
"Itu, Ammar. Anaknya Pak Cik Umar. Selama lebih dari lima tahun ini, tak sekalipun Mak lihat dia di surau."
Aaaah. Amara mengangguk-angguk. Ia sih kurang tahu tentang persoalan surau itu. Ia juga tak mengenal Ammar. Mungkin karena ia jarang bergaul dengan anak-anak sini. Sekalipun datang ke sini, ia hanya bermain dengan kakak-kakak atau adik sambungnya serta beberapa anak tetangga terdekat rumah. Kini? Ia berencana penelitian di kampung sini. Jadi sekalian tinggal pada ibunya. Ayahnya kan sangat sibuk di kota sana.
"Jangan su'uzzan lah, Mak. Kalau pun benar, biar lah jadi urusannya."
Emaknya hanya menghela nafas. Gunjingan yang sebetulnya sudah banyak dikatakan orang. Ibu dan kakak Ammar juga tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Ammar tetap pada pikirannya sendiri.
"Katanya tadi kau nak ke kantor desa?" tangan Emaknya. Hampir lupa. Amara meneouk keningnya lantas mengambil beberapa berkas yang hendak ia bawa ke kantor kepala desa.
Di perjalanan dengan sepeda milik adiknya, ia melihat Ammar. Cowok itu tampak menyapa beberapa petani lain. Amara melihatnya sampai kepalanya berputar ke belakang dan....
"Awaass!"
Braaakk!
Ter-lam-bat. Amara mengeluh. Sepedanya sukses menabrak muka mobil truk. Astaga! Truk berhenti pun ia tabrak.
"Kau tak apa-apa?" tanya Ammar. Tahu-tahu sudah membantu mendirikan motornya. Amara tertegun. Tadi kan ia hanya lihat punggungnya lalu saat melintas dengan sepeda, ia hanya melihat samping kanan wajahnya. Tapi saat melihat secara dekat dan dari semua sisi wajahnya, ia kira Ammar tidak sejelek itu. Hahaha. Maksudnya, cowok hitam manis dan keteduhan di dalamnya. Amara berdeham. Seketika sadar di mana ia berada.
"Cantiknyaaa! Bisa bae kau nih, Mar!" ledek petani lain yang melintas dengan motor. Ammar tertawa. Ia kan hanya berniat menolong. Mana tahu pula kalau yang ditolong cantik begini.
"Gak apa-apa?"
Gadis itu berdeham. Ia menolak tangan Ammar yang menawarkan bantuan semata-mata untuk menjaga harga dirinya sebagai perempuan. Melihat sikap itu, Ammar memaklumi. Ia jadi teringat Faradina dan perempuan sejenisnya. Sahabat kampusnya itu juga sama. Jadi Ammar berdeham lantas menyerahkan sepeda itu dan membiarkan gadis itu berdiri sendiri. Apa susahnya berdiri?
"Makasih, Bang."
Ammar mengangguk. Diam-diam mencuri pandang perempuan berkulit putih s**u itu. Hahaha.
"Bukan orang sini ya?" tanyanya. Pasalnya, seumur hidup tinggal di sini, ia baru kali ini melihat ada perempuan cantik. Hahaha. Biasanya anak-anak koas. Tapi mereka tak pernah melirik Ammar hanya karena Ammar seorang petani kecil. Oho biar petani kecil tapi isi ATM-nya tebal loh. Jangan salah.
"Orang sini kok," tukasnya lantas segera pamit sambil menahan degup jantungnya sendiri. Ammar membiarkan gadis itu pergi dengan sepedanya. Lelaki itu masih menatap dari belakang. Tapi mendengar siul-siulan ledekan, ia terkekeh sambil menggaruk tengkuknya.
"Ammar gak pernah lihat dia," tuturnya pada beberapa lelaki yang tadi mengobrol dengannya. Mereka tertawa.
"Itu anaknya Bu Tuti, Mar. Yang punya warung. Itu anak pertamanya dulu sama seorang dokter dari kota. Terus cerai. Nah, anak itu ikut sama ayahnya. Kadang sering kemari tapi memang jarang bergaul sama orang kampung. Jadi gak banyak yang kenal."
Aaaah. Ammar mengangguk-angguk. Baru tahu.
"Cantik, Mar?" ledek petani lain dan Ammar tertawa.
@@@