"Astaga, Oma! Astagaaaaaa!"
"Bukan astaga-astaga! Ini udah siang! Kamu mau ke sekolah jam berapa Nabiil?"
Ia hanya berdesis lantas terburu-buru bangun dan berlari ke kamar mandi. Omanya geleng-geleng kepala. Perempuan tua itu merapikan tempat tidurnya.
"Jangan lupa sarapan! Oma mau ke perkebunan dulu!"
Nabila tak menjawab. Kurang dari dua puluh menit kemudian, ia berangkat ke sekolah. Mandi ayam, melewatkan sarapan dan uuurrggh, ia mengecek hawa mulutnya. Setidaknya tidak bau. Ia hanya bisa mendumel dalam hati. Mobilnya terlewat santai.
"Cepetan sih, Paaaak!"
Ia sudah tak perduli lah. Sudah telat begini. Sudah jam tujuh lewat dua puluh menit. Astagaaa! Ini sih benar-benar nyari mati. Mana hari Senin. Upacara mungkin hampir selesai saat ia sampai nanti. Urusannya bakalan panjang pasti. Entah hukuman apa yang menanti, ia hanya bisa pasrah.
"Berhenti di sini! Di sini aja, Paaak!" pintanya. Kalau terlalu dekat dengan gerbang sih namanya memang mengumpankan diri. Akhirnya mobil itu berhenti di pinggir jalan lalu Nabila berlari cepat menuju pintu samping. Tapi saat tiba di sana, ia mendadak menyembunyikan diri. Beberapa orang tak jauh dari sana sedang dihukum Pak Dodi. Ia menepuk keningnya. Yang ada ia akan bernasib sama. Akhirnya, ia mengendap-endap lebih jauh. Berharap pagar belakang sekolah memberikan keberuntungan. Saat tiba di sana.....ada yang mengetuk bahunya. Ia berjingkat-jingkat saking kagetnya dan terduduk di tanah melihat cowok yang kini menertawainya.
"Hape lo tadi jatuh di sana," tukasnya sambil mengulurkan ponsel milik Nabila. Nabila berdeham lantas mengambil alih ponselnya. Ia membungkuk sedikit sebagai ucapan terima kasih. "Mau naik?" tawarnya. Nabila hanya mengangguk. Masih menjaga jarak melihat orang asing. Baru kali ini ia melihat wajahnya. Kakak kelas? Ia bertanya-tanya tapi mulutnya bahkan tak terbuka. "Tunggu bentar," tuturnya.
Cowok itu menghilang beberapa menit dan kembali dengan tangga. Pagar sekolah belakang memang lumayan tinggi makanya jarang ada yang masuk lewat sini. Tapi Nabila pernah berhasil sekali dengan memanjat pohon lebih dulu. Baru melompat ke atas pagar dan terjun dengan pelan. Empat meter itu tinggi loh. Kalau sampai jatuh, yang ada bisa patah kaki. Tapi ini jalan tercepat menuju kelasnya. Sebelum upacara bubar. Kalau mendengar dari suara speaker, teks doa baru akan dibacakan. Ia jadi gugup. Kalau salah strategi, benar-benar bisa jadi petaka.
"Lo naik duluan," titahnya. Cowok itu memegangi tangganya biar gak goyang.
Nabila berdeham. Ia sih sudah biasa untuk urusan panjat-memanjat. Tapi yang jadi masalah adalah....
"Gue gak bakal ngintip!" tukas cowok itu yang seolah bisa membaca pikiran Nabila. Ia agak was-was saja. Semester lalu, kakak kelas yang sekarang duduk di kelas XII pernah di-skors gara-gara merekam anak-anak cewek yang sedang naik tangga dari rongga-rongga bawah tangga. Kan s****n tuh! Untung saja ketahuan. Sialnya, video itu sudah tersebar luas. Nabila sempat trauma karena takut ia menjadi salah satu orang yang terekam kan. Tapi sekarang sejauh apapun video itu tersebar, semua sudah dimusnahkan. Sekalipun sampai ke sekolah-sekolah lain. Kalau dipikir-pikir, ngeri banget sih itu. "Tunggu apalagi? Keburu bubar upcaranya!"
Nabila menghela nafas. Cewek itu naik tangga dengan cepat sementara si cowok menunduk. Benar-benar memegang janjinya tidak akan melihat ke arah rok Nabila. Begitu tiba di atas, cewek itu memberi kode. Nabila melirik ke arah lapangan. Masih ada penghormatan terakhir sebelum bubar. Ia segera turun dengan pelan hingga tiba di bawah dan berlari cepat menuju kelas, meninggalkan cowok tadi. Sebodo amat lah, pikirnya. Nanti kalau ketemu, ia akan bilang makasih kok. Kalau sekarang, ia perlu kembali dengan cepat.
Saat upacara bubar, Nabila menyembunyikan diri di bawah meja. Takut ketahuan ketua kelasnya yang terlalu jujur. Tapi untung saja, yang masuk lebih dulu itu Lolita, sahabatnya sejak masuk kelas. "Ya ampuuun, Biiil! Gue kira lo telat tauk!"
Nabila nyengir. "Emang telat!" serunya enteng sambil berupaya duduk dengan wajar.
Lolita melotot. "Masuk lewat mana? Samping? Tadi kayaknya pada masih dihukum deh."
"Belakang."
"Buseeet belum kapok lo ya? Kalo gak selamet gimana?"
"Selamet ini untungnya. Lo masih ketemu sama jasad gue bukan roh gentayangan!"
Lolita terbahak. Nabila mendengus.
"Kesiangan sih lo. Sering banget sih!"
"Gak ada yang bangunin."
"Bohong! Oma lo pasti bangunin kan?"
"Itu lo tahu."
Lolita geleng-geleng kepala. "Pasang alarm makanya."
"Udaaah!"
"Emang dasar kebo lu!"
Keduanya tertawa. Tapi tawa Nabila menghilang saat melihat cowok tadi masuk ke kelas. Dengan santainya ia berjalan masuk dan duduk di bangku nomor empat barisan ke dua dari pintu kelas. Nabila sampai menoleh ke belakang. Kaget. Sejak kapan sekelas? pikirnya. Ia tak merasa sekelas dengan cowok itu. Ia menyenggol lengan Lolita lalu memberi kode untuk melihat ke arah cowok itu.
"Itu siapa?"
"Oooh murid baru. Pindahan dari Jakarta. Ganteng ya?"
"Bukan itu. Maksud gue, sejak kapan?"
"Lo gak masuk seminggu sih. Jadi banyak ketinggalan berita kan?"
Ooh. Nabila mengangguk-angguk. Ia memang sering tak masuk karena epilepsinya kambuh. Teman-teman sekelasnya tak ada yang tahu ia mengidap sakit itu. Rasanya seperti aib. Hanya guru-guru saja yang tahu. Itu juga berkat Omanya.
"Tapi agak pendiem gitu kayaknya."
"Mungkin karena baru masuk," celetuk Nabila. Karena seingatnya tadi senyumnya lebar sekali saat memberikan ponsel milik Nabila yang entah kapan jatuhnya. Ia tak sadar. Tapi sangat berterima kasih sih. Karena kalau sampai hilang, urusan akan panjang sama Omanya.
@@@
"Tangga yang dekat lab udah di disemen loh. Jadi yang berongga udah ketutup."
Nabila mengangguk-angguk. Bagus lah.
"Katanya....," Lolita memajukan wajahnya. Nabila menatapnya. Satu sendok bakso tertahan di depan mulutnya demi menunggu ucapan Lolita. "Oma lo yang kasih dana ya?"
Nabila mengendikan bahu. Ia tak tahu sama sekali. Mungkin karena sempat mendengar cerita darinya juga Oma langsung bertindak.
"Anak-anak jadi gosipin elo semenjak lo gak masuk dan kabar soal itu," tutur Lolita pelan. Ia was-was sih. Tapi dari pada Nabila mendengar dari mulut orang lain kan. Takut tersinggung pula. Karena gosip yang tersebar itu suka aneh-aneh dan tak sesuai kenyataan. "Lo kan sering gak masuk tuh tapi semester kemarin, nilai lo bagus-bagus aja. Jadi mereka pada curiga. Gue sama Yuni kan udah bilang ya kalo lo tuh emang jenius tapi gak ada yang percaya. Mereka tetep aja bilang kalai nilai lo kayak gitu karena Oma lo. Karena duit. Gitu."
Nabila hanya diam. Tak bersuara.
"Terus nih, Bil--"
"Nabila?"
Keduanya kompak menoleh. Cowok jangkung yang tadi membantu Nabila menaiki tangga muncul dan memanggil.
"Nabila kan? Dipanggil Bu Eka!"
Oooh.
"Hiii mau ngapain lagi dah tuh guru. Awas aja kalo dia marah-marah!"
Nabila tak mendengar. Ia justru menghabiskan makanannya dengan cepat lalu berjalan menuju ruang guru. Anehnya, cowok itu ikut juga dan berjalan di belakangnya. Langkahnya terhenti.
"Lo ngapain?"
Kening cowok itu mengerut. "Ya jalan. Masa gak boleh?"
"Iya. Maksud gue, lo ada urusan apa? Aah apa karena gue belum ngucapin terima kasih?"
Cowok itu malah terkekeh. "Gue juga dipanggil sama Bu Eka," tukasnya lantas melewati Nabila. Dari pada dicurigai macam-macam. Nabila berdeham. Oke, ia salah karena terlalu curiga. "Apa karena tadi ya?"
Cowok itu bergumam. Nabila menghentikan langkahnya sesaat. Baru berpikir juga. Jangan-jangan memang benar? Mereka ketahuan lompat pagar belakang. Astagaaa! Urusan bisa jadi panjang. Dan saat tiba di ruang guru, memang benar! Tanpa basa-basi Bu Eka menitip pesan untuk membersihkan toilet sepulang sekolah nanti. Nabila menghela nafas. Guru yang satu ini memang tidak ada toleransinya sama sekali. Mau Nabila sakit atau enggak, hukuman tetap lah hukuman bagi orang-orang yang berbuat salah.
"Canggih juga," gumam cowok di sebelahnya. "Padahal tadi gue udah mantau kok, gak ada yang lewat setidaknya sampai lo masuk kelas."
Nabila tak mau mendengar. Ia sibuk berjalan menuju kelas namun terpaku saat mendengar suara tiga orang cewek yang sedang berjalan jauh di depannya. Menyebut-nyebut namanya.
"Mampus tuh! Gue laporin dia ke Bu Eka! Enak banget telat terus masuk kelas. Jangan mentang-mentang dia anak orang kaya di sini terus berbuat seenaknya. Dikiranya satu sekolah ini seneng sama dia?"
Langkah Nabila terhenti. Begitu pula dengan cowok di sampingnya. Cowok itu menoleh ke arah tiga orang cewek itu dan juga Nabila. Tangan kanan Nabila terkepal. Tapi tak bergerak. Gadis itu masih diam menyimak semuanya.
"Sekali-kali emang kudu digituin sih, Taa! Dunia berasa gak adil aja kalo yang kaya diperlakukan tidak sama dengan rakyat jelata. Hanya karena mereka berduit."
Perempuan yang dipanggil 'Ta' itu mengangguk-angguk kencang. Sangat setuju dengan ucapan itu.
"Dia udah tahu soal gosip-gosip itu?"
"Udaaah, gue yang kasih tahu. Tapi seperti biasa, gak pernah ngerespon. Sok banget deh. Mentang-mentang kaya!"
Cowok itu menepuk bahu Nabila. Lalu terkaget saat ada airmata di pelupuk matanya. Nabila mengalihkan tatapannya dan berlari ke arah lain. Cowok itu menyusul langkahnya. Hingga keduanya tiba di dekat gudang sekolah dan hanya membiarkan Nabila menangis di sana sepuas-puasnya.
Semua sahabat cewek itu bullshit. Mulutnya gak bisa dipegang. Mereka berlagak baik di depan padahal menzalimi di belakang. Nabila tak pernah membalas meski selalu mendapat perlakuan yang sama sejak dulu. Tak ada cewek yang benar-benar mau berteman dengannya karena iri dengan apa yang dimilikinya. Padahal, kalau mereka tahu sesungguhnya, apakah mereka masih ingin berada di posisinya? Nabila tak yakin.
Tak lama, cowok yang tadi menemani, menghilang sebentar. Lima menit kemudian, ia kembali dengan sebotol air dan sebungkus tissue.
"Gak perlu didengerin lah. Orang cuma bisa melihat hidup orang lain dari luar."
Bukan itu masalahnya bagi Nabila. Tapi karena gadis itu sahabatnya. Ia benci sekali dengan orang munafik tapi kejadian itu terus berulang. Itu masalahnya. Ia menjadi agak antisosial sejak masuk SMA karena trauma dengan hal semacam itu. Orang yang dikira oleh kita perduli ternyata pengkhianat. Bukan kah itu mengerikan?
"Dan orang kayak gitu, gak pantes ditemenin."
Cowok itu tahu kalau Lolita adalah teman sebangkunya. Ia kan tadi melihat di sepanjang pelajaran. Baru tahu juga kalau mereka ternyata sekelas.
Cowok itu mengulurkan tangan di depannya. "Gue, Shadiq." Ia berdeham. Uluran tangannya belum dibalas. "Seperti arti nama gue, jujur. Gue bukan orang munafik yang lo lihat tadi."
Nabila hanya mendongak. Kemudian menghapus airmatanya dengan tangan. Ia tak mau dikasihani hanya karena hal semacam ini.
"Gak perlu repot-repot," tukasnya pelan. "Gue gak butuh temen."
"Lo butuh," tuturnya dengan kekehan kecil. Kemudian duduk di samping Nabila. Ia membuka tissue yang ia beli tadi kemudian ia ulurkan isinya pada Nabila. Cewek itu masih menatap. "Lo kan belum kenal gue. Mau curiga boleh. Tapi nilai gue setelah lo bener-bener kenal gue. Gimana?"
Nabila terpaku. Bukan karena ia terpesona dengan caranya yang memang berniat ingin berteman dengannya. Tapi cowok itu membebaskan pilihan.
"Dari gelagat lo, gue paham kalau mungkin lo takut jatuh ke lubang yang sama. Tapi asal lo tahu, Nabil, gak semua orang itu buruk. Kalau pun lo menemukan seseorang yang buruk, itu gak masalah. Lo hanya belum menemukan seseorang yang tepat aja untuk dijadikan temen."
@@@
"Masih ingat?"
Nabila terkekeh pelan. Obrolan mereka malah menyerempet masa lalu. Cowok ini satu-satunya orang yang sangat dekat dengannya dan mau menjadi sahabatnya. Dari SMA sampai kuliah dan semua berakhir tragis hanya karena satu ungkapan perasaan. Shadiq waktu itu berpikir mungkin Nabila sudah melupakan soal tragedi keluarganya. Tapi ternyata, itu masih menjadi momok menakutkan. Ada sebabnya kenapa Nabila sulit lepas dari itu. Karena sedari SD, teman-temannya munafik. Ia trauma dikhianati dengan cara seperti itu.
"Tapi kenapa lo juga kena ya waktu itu? Harusnya kan gue aja?"
Shadiq terkekeh. "Itu karena gue ketangkap CCTV. Lo canggih, bisa tahu ada CCTV di dekat situ."
"Oooh. Lo gak tahu?"
Shadiq tertawa. "Gue belum lama sekolah waktu itu, Nabil. Ya mana tahu. Tapi abis itu, gue jadi hapal sih."
"Iyaaa-iyaaa! Tapi gara-gara lo abis itu dikasih jaring-jaring duri di atas pagar. Jadi gak ada yang berani naik ke situ lagii!"
Shadiq tertawa. Ia ingat sekali kejadian terakhir ia memanjat tembok belakang sekolah lalu terjebak di atas sana karena saat menoleh ke bawah, Bu Eka sudah menunggu. Beberapa murid sebelumnya yang naik bersamanya sudah disuruh push up lebih dulu.
"Pernah ketemu temen-temen SMA beberapa tahun terakhir?"
"Enggak," jawabnya singkat. Ia sama sekali tak mau bertemu mereka lagi. Lalu ia berdeham. Ia tahu kalau Shadiq menghubunginya karena persoalan ibunya pasti sudah terkenal di Bandung. Ya banyak orang yang tentunya mengenal ibunya termasuk teman-teman sekolahnya. Ia hanya bisa menghela nafas dan tak mau memikirkannya.
"Terus apa kesibukan lo sekarang?"
"Gue?"
Terdengar deh aman dari seberang sana. Tentu saja Shadiq tak tahu kalau ia sedang sibuk menjadi pasien di rumah sakit gara-gara epilepsinya kambuh.
"Makan, tidur--"
Shadiq tertawa di seberang sana. "Gue serius, Nabil."
Nabila tersenyum kecil. Biasanya ia akan jujur dan mengabarkan semuanya. Karena saat itu, ia hanya merasa kalau Shadiq sahabatnya. Kalau sekarang, rasanya aneh. Aneh sekali.
"Ya gitu deh."
Shadiq tertawa kecil. "Bagus deh."
Cowok itu mengira kalau ia masih bekerja. Nabila justru tak terlalu memikirkan hal itu. Seperti dugaan teman-temannya, itu tak begitu menjadi masalah. Masalah keluarga tetap lah penyumbang utama stres yang ia alami.
"Lo katanya di Amrik."
"Oh iya. Lagi lanjut sambil kerja juga. Mayan lah."
Nabila mengangguk-angguk. "Bagus deh."
"Yaaa," tuturnya lalu menghela nafas panjang. "Gue ganggu gak nih nelepon lo semalam ini? Takutnya kan ada yang marah."
Nabila terkekeh. Kekehannya membangunkan dua sahabatnya. Upik sebetulnya sudah terbangun sejak tadi tapi hanya menyimak. Saat melihat pergerakan Chayra, Upik menahannya. Agar tak menganggu Nabila. Mereka saling menatap dan memberi kode dengan gerakan mulut. Bertanya-tanya tentang siapa yang menelepon. Tapi Upik hanya mengendikan bahu. Karena memang tak tahu siapa yang menelepon.
"Apaan sih lo!"
Shadiq terkekeh. Langsung bisa menangkap kalau Nabila masih jomblo. Diam-diam ia menghela nafas lega. Walau kemudian ia tercenung. Sepertinya Nabila masih sama. Masih belum berubah. Masih takut memulai sebuah hubungan. Karena trauma akan kehidupan keluarganya sendiri. Shadiq jadi teringat saat ia mengutarakan perasaannya waktu itu. Gadis itu marah-marah karena menurutnya, Shadiq tak seharusnya melakukan itu. Shadiq tahu kalau ia masih trauma. Ia bahkan berpikir untuk tak mau menikah. Namun memaksanya menjalani hubungan. Shadiq hanya tak habis pikir saat itu. Ia tak mengira kalau Nabila akan berbicara seperti itu dan setrauma itu.
"Gue di Amrik nih. Gak nyamperin? Gak kangen sama gue?"
Nabila kehilangan senyumnya. Ada perasaan sedih yang menyelinap. Ia kehilangan sahabat SMA-nya. Tapi kini sudah kembali. Apakah mereka harus kembali seperti dulu? Bersahabat tanpa memikirkan masa lalu?
"Bil? Nabil? Apa lo masih marah?"
Nabila berdeham. "Enggak kok. Gue yang minta maaf. Terlalu berlebihan saat itu."
Shadiq tersenyum kok. "Wajar kok. Gue aja yang gak bisa ngertiin lo saat itu. Sorry ya?" tanyanya. "Mau temenan lagi sama gue kan?"
Nabila tersenyum kecil. Dengan senang hati. Tapi ia malah terkekeh kecil saat Shadiq memanggil namanya. Lelaki itu mengira kalau tawarannya akan ditolak.
"Kapan-kapan gue kirimin tiket ke Amrik gimana? Kita jalan-jalan di sana. Kayaknya bakal seru banget. Mumpung masih muda dan jomblo kan!"
Kalimat itu sebetulnya memberi kode. Kode status jomblonya yang seolah mengatakan kalau dari dulu sampai sekarang perasaannya masih sama pada Nabila. Namun ia enggan mengatakannya lagi. Takut membuat jarak. Ia tak tahu akan sampai kapan seperti ini. Berharap sekali memiliki kesempatan untuk lebih dari sekedar sahabat.
"Mau banget gue ke Amrik?"
Shadiq tertawa. "Gue kesepian di sini. Terlalu sibuk dengan urusan sendiri. Rata-rata temen-temen gue juga udah pada punya pacar gitu."
"Makanya cari!"
Shadiq terkekeh. Enggan memberikan celetukan. Takut Nabila tak nyaman. Mereka kan baru saja memulai lagi.
"Tapi lo gak apa-apa kan?"
Ia memastikan untuk ke sekian kali. Ia terlaku mengenal Nabila. Terjadi sesuatu sedikit pada keluarganya, ia akan sakit. Epilepsinya bisa kumat. Mungkin orang akan menganggapnya lemah mental. Tapi bagi Nabila, melawan hal semacam itu tidak mudah. Makanya ia sanagt tersentuh setiap melihat ada orang yang bunuh diri. Ia tahu perasaan itu. Karena terkadang ia merasakan hal yang sama.
"Gak kok."
"Yang bener?"
"Iya gak apa-apa, Shadiiiq."
Upik dan Chayra hampir menyemburkan tawa. Upik langsung memberikan kode.
"Lo udah bangun, Bil? Mau gue panggilin dokter gak? Ada yang sakit lagi gak? Gak akan kumat lagi kan?" cerocos Upik sengaja. Nabila langsung muncul dari bawah selimut dengan nada pelototan sementara Shadiq sudah memanggil-manggil dengan nada panik. Dengan cepat Nabila mematikan ponselnya dan hanya bisa melotot ke arah Upik yang sudah terbahak bersama Chayra.
@@@