Napas Yana memburu. Detak jantungnya berdegung semakin cepat saat langkah kaki membawanya semakin dekat dengan pintu yang terbuat dari kaca tebal itu. Tak hanya security, bahkan pegawai dan customer yang sedang bertransaksi memandangnya dengan bingung.
Tapi Yana tak perduli. Meskipun dia jadi pusat perhatian, Yana sungguh tak perduli.
Yana membuka pintu secara paksa. Keributan kecil itu membuat seluruh penghuni ruangan terkejut. Dalam detik berikutnya Yana mendapat seluruh tatapan bingung dari orang-orang berdasi yang sepertinya sedang meeting itu. Termasuk Bramanaka. Tampak ia menghela napas dan menatap Yana dengan ekspresi "tak suka".
"Apa kamu nggak bisa menunggu setidaknya sampai aku selesai meeting? Kamu punya alat canggih yang bernama handphone. Kalaupun nggak bisa nelpon aku kamu bisa nanya ke resepsionis di luar!" Bram tak tanggung-tanggung. Semacam tak ada toleransi baginya atas apa yang Yana lakukan barusan.
Kini hanya tersisa mereka berdua di dalam ruangan. Bram berhasil menyelesaikan rapatnya dengan 'dadakan' tanpa menimbulkan kerugian bagi dirinya.
"Kamu kayaknya marah banget," kata Yana santai. Sama sekali tak gentar. Meskipun saat ini ekspresi Bram pun tak main-main. Yana duduk di sofa dan Bramanaka berdiri di dekat meja kerjanya.
"Bukan soal aku marah atau enggak. Tapi ini soal sikap kamu. Bukannya kamu bilang kamu udah dewasa. Apa ini sikap dari dewasa yang kamu maksud?"
Yana mendengus. Memainkan jari-jarinya yang belum sempat ia manjakan seminggu ini. Ujung kukunya bahkan ada yang patah.
Yana bangkit dari duduknya. Dengan tenang ia membalik badan, memandang Bram lurus.
"Sikap? Dewasa?" Ia tertawa. "Kalau aku nggak dewasa dengan sikap ini, terus gimana sama kamu?" Ada penekanan di nada suara Yana. Bram menyipitkan mata. Tak terburu-buru menjawab, Bram membiarkan Yana menyelesaikan kalimatnya. Kedatangan Yana memang tiba-tiba. Bram sama sekali tak tau gadis itu akan datang. Yana tak memberitahunya sama sekali. Bram tak yakin darimana Yana bisa tau lokasi showroom miliknya. Mungkin dari Fuji.
"Kenapa? Kaget dari mana aku tau lokasi showroom kamu?" Yana melipat tangan di d**a. Yana manggut-manggut. "Aku ngerti sekarang. Awalnya aku cuma mau mengatakan satu hal sama kamu. Tapi aku rasa ada satu hal lagi yang aku dapatkan sepanjang perjalanan aku ke sini."
Masih dalam mode yang sama. Bram membiarkan Yana berbicara tanpa sedikitpun menyela.
"Pertama, kenapa kamu nemuin orang tua aku?" Yana menatap Bram tajam. Ekspresi tak suka tergambar jelas di wajahnya. "Kenapa kamu bicara yang aneh-aneh sama Apa?!" Suara Yana meninggi.
Bram terkejut, sebenarnya. Ada reaksi di wajahnya meski sedikit. Ia sepertinya berusaha keras mengendalikan respon tubuhnya.
"Aneh?" tanya Bram nyaris bergumam.
Yana mengernyit.
"Bagian mana yang aneh? Bagian dari laki-laki bernama Daffi?"
Tangan Yana mengepal saat Bram dengan enteng menyebut nama Daffi di depan wajahnya.
"Aku nggak bicara apa-apa soal laki-laki itu. Aku nggak ada niat dan aku nggak berminat untuk tau. Aku kebetulan di sana saat orang tua kamu ketemu dia."
Yana tau kalau sebenarnya pertemuan itu bukan salah Bram. Ternyata saat orang tuanya bertemu Daffi di rumah sakit, Bram pun ada di sana. Apa menceritakan semuanya tadi malam. Tapi yang Yana tak terima adalah apa yang Bram katakan setelahnya. Ia mengutarakan niat ingin menikahi Yana hanya sepersekian detik setelah mereka bertemu dengan Daffi. Dan Daffi mendengar semuanya. Bahwa Bram melamar Yana pada kedua orang tuanya. Masalahnya pun bukan Daffi yang mendengar hal itu. Tapi masalahnya kenapa Bram harus melamarnya pada orangtuanya saat mereka bertemu Daffi.
"Orang tua kamu terima lamaran aku." Itulah masalahnya. Yana bukan tak tau kecemasan orang tuanya selama ini. Yana yang cukup terpuruk saat putus dari Daffi. Dan keadaan semakin memburuk karena kedatangan Bram. Yana sudah hampir mengatasi kecemasan orang tuanya, sebab dalam beberapa minggu terakhir memang terbesit dalam benak Yana untuk tidak menikah. Tadi malam pun sebenarnya Yana bertujuan meyakinkan keluarganya bahwa dia baik-baik saja meski sendiri. Bahwa dia 'mungkin' tak perlu menikah. Tapi kata-kata Bram pada kedua orang tuanya memperburuk suasana. Benar-benar memperburuk.
Yana menatap Bram tepat di manik mata. "Tapi aku nggak akan nikah sama kamu."
Bram membuang napas pelan. "Kenapa kamu keras kepala banget?"
Yana tertawa sumbang. "Apa kamu tau, pertanyaan kamu barusan seolah mengatakan kalau kamu nggak cinta sama aku."
Rahang Bram mengeras. Yana tau itu. Bahwa Bram terusik dengan kalimatnya.
"Kedua, kenapa kamu maksa nikah sama aku kalau kamu nggak cinta sama aku?" Tantang Yana. Gadis itu memijit pelipisnya. "Aku sempat memikirkan ini dan kini semuanya semakin jelas. Kamu tau, aku bahkan nggak tau apa-apa tentang kamu. Di mana kamu bekerja, di mana perusahaan kamu. Kamu kerja sampai jam berapa dan di mana kamu makan saat istirahat. Aku nggak tau apapun." Yana menjeda, menarik napas. "Sama seperti kamu nggak tau apa-apa tentang aku."
"Aku tau semua tentang kamu," tegas Bram.
"Kalau kamu tau kenapa kamu masih mau nikah sama aku? Kamu tau kalau aku nggak ada perasaan apa-apa sama kamu. Seperti kamu yang juga nggak punya perasaan apa-apa sama aku!" Bentak Yana sudah tak tahan.
Namun meski Yana sudah berada dalam emosi terbesarnya, Bram masih bersikap tenang. Ia seolah tak terusik meski gelombang yang Yana hantamkan sejak tadi amat besar. Bram hanya sesekali bereaksi, itupun hanya percikan kecil saja.
Bram merubah posisi tangannya. Menumpu kedua telapak tangannya di pinggiran meja di kedua sisi tubuh.
"Karena kita sama-sama butuh," jawab Bram akhirnya.
"Apa?"
"Aku butuh kamu dan kamu butuh aku. Kamu butuh meyakinkan orang tua kamu dan aku butuh meyakinkan orang tuaku. Impas kan?"
Yana tertegun. Otaknya sedang mencerna setiap kata yang Bram ucapkan.
"Baiklah, aku akan perjelas. Kalau dalam bisnis, kita menyebutnya negosiasi. Kamu bos kan, kamu pasti ngerti maksud aku."
Yana merasa kakinya sudah tak menapak di lantai entah karena alasan apa. Jika tadi Yana yang bicara, maka kali ini Bram yang mengambil alih.
"Aku rasa kamu nggak punya pilihan, Deyana. Kamu butuh bantuan aku, kamu nggak akan bisa menolak. Jadi, kenapa kita nggak mempermudah ini? Kita menikah, masalah selesai." Bram bangkit dari duduknya. Memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Ini negosiasi yang sama-sama menguntungkan. Karena kita sama-sama profesional," Bram menjeda. Menatap semakin dalam ke mata Yana. "Kamu nggak perlu kasih tau aku apa-apa tentang kamu dan laki-laki itu. Dan aku juga nggak perlu kasih tau kamu kenapa aku mau nikahin kamu." Bram menyeringai halus.
Tangan Yana sudah gatal ingin terangkat. Melayangkan satu tamparan ke pipi halus milik Bramanaka. Tapi kenapa ia tak bisa melakukannya?
***