Tumbal 2

2001 Words
Keesokan harinya, Agung tampak sibuk menyiapkan berkas lamaran beserta berbagai macam sertifikat masak yang ia punya. Setelah menyantap sarapan, buru-buru pria itu berangkat ke rumah makan, tempat dirinya akan melamar kerja. Sesampainya di sana, Agung disambut kemudian disuruh untuk langsung menghadap pemilik rumah makan yang kebetulan ada di ruangan kerjanya. Memasuki ruang kerja si pemilik rumah makan, tampak nuansa islami kentara begitu terasa. Bahkan, Agung bisa melihat begitu banyak kaligrafi bertuliskan ayat-ayat suci Al Quran seperti ayat kursi dan ayat seribu dinar terpajang di bagian tengan dinding ruangan. Sedang di sisi kanannya, ada berbagai macam foto kegiatan haji yang mungkin pernah dijalankan oleh si pemilik rumah makan. Tampak jelas di setiap foto bertuliskan nama Haji Amang Rusliansyah dan Hajah Maimunah. Sedang di sisi lainnya, Agung juga merasa si pemilik rumah makan adalah kolektor benda antik. Ada terdapat banyak guci-guci antik, keris berbagai macam bentuk di dalam lemari kaca, serta patung-patung kecil yang bentuknya sangat unik bila dilihat. Kembali ke cerita, saat itu di ruang kerja hanya si istri atau Hajah Maimunah yang tengah berada di tempat. Sedang suaminya sendiri mungkin saja sedang ada urusan di luar. Maka tanpa banyak basa basi lagi, Agung langsung mengutarakan niatannya untuk melamar kerja di rumah makan tersebut. "Sebelumnya, ada pengamalam kerja di mana?" tanya Hajah Maimunah, si pemilik rumah makan. "Sebelum ini, saya sempat menjadi Chef di beberapa hotel dan restoran, Bu," jawab Agung. "Surat pengalaman kerja, sudah saya lampirkan di dalam map. Di sana, tertulis di mana saja saya pernah menjadi juru masak." Hajah Maimunah mengangguk. Lantas kembali membuka map yang ada di tangannya. Mambaca ulang seraya mengangguk-anggup. "Tapi selain masakan hotel, Mas Agung bisa masak menu Indonesia juga, kan?" "Tentu, Bu," sahut Agung penuh percaya diri. "Saya menguasai begitu banyak menu masakan lokal. Untuk Khas Kalimantan, saya bisa masak sayur pindang patin, sayur santan labu, sayur asam kutai, gence ruwan, sate payau, nasi kuning ikan haruan, sambal gami dan lain-lain." Hajah Mainunah tersenyum. Sepertinya ia menemukan juru masak yang pas untuk rumah makan miliknya. Selama ini, menu makanan di rumah makan yang ia kelola memang menyuguhkan menu masakan lokal karena pangsa pasarnya adalah para pegawai kerja kantoran. Untuk itulah, tanpa ragu, ia kembali mengangguk. "Baik, saya terima lamaran Mas Agung. Mulai hari ini sudah bisa langsung bekerja." "Alhamdulilah." Tanpa sadar Agung mengucap syukur karena merasa senang. Akhirnya, ia bisa mengakhiri masa pengangguran yang ia jalani beberapa waktu terakhir ini. "Tapi, Mas," sela Hajah Maimunah. "Karena rumah makan ini menyediakan menu sarapan, otomatis bukanya pagi sekali yaitu setelah adzan subuh. Untuk itu, semua pekerja wajib tinggal di mess yang ada di lantai dua dan tiga biar nggak telat menyiapkan menu masalan. Mas Agung gimana? Setuju aja? Fasilitasnya gratis, kok. Di kasih makan juga tiga kali sehari." Agung tidak lantas langsung menjawab. Pria itu nampak menimbang sesaat. Kalau tinggal di mess itu artinya ia harus berpisah dengan sang Kakak. Tapi karena dirinya lelaki dan biasa mandiri, sepertinya tidak masalah kalau harus tinggal di tempat bekerja. Lagi pula, segala fasilitasnya sudah ditanggung. Ia bisa menghemat uang bensin dan makan. "Saya nggak masalah, Bu. Lagi pula, saya perantauan juga." "Baik," kata Bu Hajah. "Nanti langsung berkoordinasi aja sama anak-anak lain ya. Silakan bawa barang-barang Mas Agung untuk pindah ke Mess. Untuk masalah gaji, karyawan di sini digaji setiap akhir bulan." "Baik, Bu. Saya sudah paham." "Kalau begitu, sekarang bisa langsung ke belakang untuk mulai bekerja, ya." Agung mengangguk kemudian permisi. Di luar ruangan, oleh seorang pekerja ia langsung dituntun menuju dapur. Mengambil apron masak bersiap untuk memulai kerja. *** Di hari-hari pertama bekerja, Agung tidak sedikit pun menemukan kesulitan yang berarti. Di samping memang skill dan pengalaman yang ia miliki, pekerjaan yang dilakukan di rumah makan tersebut tergolong ringan dan mudah baginya. Bahkan, kasir mengungkapkan kalau beberapa tamu sempat memuji menu makanan yang sekarang jauh lebih enak dari pada sebelumnya. "Kayaknya pelanggann suka, Mas Agung. Buktinya ada yang sudah makan di tempat, eh mereka minta bungkus juga," cerita Agus. Pria ini yang paling sering menjaga meja kasir. "Alhamdulilah kalau banyak yang suka, Mas." "Tapi masakan mas Agung emang enak. Kami yang para karyawan aja suka. Lebih berasa terus bervariasi pula," ungkap pria itu. Agung cukup bersyukur ketika masakan yang ia masak sesuai dengan lidah para pelanggann. Belum lagi para pekerja juga memuji masakan yang ia hidangkan untuk makan sehari-hari yang sesuai dengan selera mereka. Namun, di samping euforia kebahagiaan karena makanan yang ia masak dengan mudah diterima begitu saja, ada satu hal yang tiba-tiba mengganjal hati dan pikiran Agung. Di lantai satu, tepatnya tak jauh dari dapur tempat Agung biasa memasak, ada satu kamar yang terlihat cukup besar. Tapi anehnya, tidak boleh sembarang orang bisa masuk ke sana. Diliputi penasaran, Agung sempat penasaran hingga bertanya pada Randi selaku pengawas yang juga sudah lama tinggal di Mess. Tapi sayang pria itu tidak memberikan penjelasan yang gamblang. Ia hanya memperingatkan untuk tidak coba-coba masuk kalau tidak ingin dipecat oleh si pemilik rumah makan. Bukannya puas dengan jawaban Randi, Agung tentu saja semakin dibuat penasaran. Ia pada akhirnya memberanikan diri bertanya kepada pekerja lain yang mungkin paham apa isi kamar tersebut. "Mas Agus," tegur Agung pada pria yang berprofesi sebagai kasir tersebut. "Aku boleh tanya sedikit?" Agus mengangguk. Mereka berdua yang kini tengah beristirahat makan siang tampak duduk di belakang rumah makan dengan santai. "Mau tanya apa Mas Agung?" "Itu, soal kamar yang di dekat dapur. Sebenarnya itu kamar siapa? Kok kita-kita nggak boleh masuk?" tanya Agung penasaran. "Walah mas, aku juga nggak paham itu kamar apa. Selama ini yang pernah masuk kamar itu cuma Owner sama Mas Randi saja. Kalau kita-kita yang lain nggak berani masuk ke sana." Agung mengerutkan keningnya. "Jadi, dari semua pekerja, cuma mas Randi yang pernah masuk sana?" Agus mengangguk. "Iya cuma dia. Tapi masuknya juga nggak tiap hari. Cuma hari-hari tertentu aja. Itu juga kalau pas disuruh sama Owner." "Terus, Mas Agus nggak pernah tanya sama Mas Randi itu kamar isinya apa sampai dibatasin gitu masuknya." Agung semakin penasaran. Sebenarnya apa yang disembunyikan di dalam kamar tersebut. Kenapa orang lain sampai dilarang untuk masuk ke sana. Apakah di dalam sana ada harta karun? "Sudah mas," jawab Agus. "Tapi Mas Randi nggak mau kasih tau. Dia cuma bilang pokoknya itu kamar keramat. Isinya mantep bisa bikin betah siapa saja yang tinggal di dalamnya, " jelas Agus. "Terus, Mas Agus sendiri emang nggak penasaran pengen liat isi kamarnya gimana?" Agung kembali memancing Agus untuk terus bercerita. "Ya penasaran, Mas. Tapi dari awal kerja, kita kan sudah diperingatkan nggak boleh buka apalagi masuk kamar itu. Kalau pun sampai melanggar, siap-siap nanti bisa dipecat. Jadi, dari pada saya kehilangan pekerjaan, mending saya anggap aja kamar itu nggak ada." Mendengar penjelasan Agus, sebenarnya tidak sedikit pun mengobati rasa penasaran Agung. Hanya saja, temannya itu berkata benar. Kalau sampai rasa penasarannya ini berlebihan, bisa-bisa ia kehilangan pekerjaan yang baru saja didapatkan. Jadi, Agung memutuskan untuk bersikap yang sama seperti Agus. Menganggap kalau kamar itu tidak ada di rumah makan ini. *** Pagi ini, setelah selesai membuat bumbu masakan Agung melihat kedua pekerja yaitu Tio dan Mbak Puji pulang dari pasar membawa berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Tapi, yang ada sesuatu yang membuat Agung sedikit keheranan. Dari semua belanjaan, ia melihat ada satu kantong plastik berwarna merah yang isinya dipenuhi berbagai macam bunga. Dari melati, kenanga, sedap malam, hingga kamboja. Rasa penasaran kembali menyeruak. Untuk apa kedua pekerja ini membeli bunga sebanyak itu. Tidak mungkin kalau bunga tersebut untuk di masak atau ditumis, misalnya. "Mba Puji ... " panggil Agung. "Ini beli kembang banyak banget, emang buat apa? Mba Puji mau mandi kembang?" tanya Agung sambil bercanda. "Sembarangan," sahut Puji. "Kamu yo, onok-onok aee, Gung. Ini kembang bukan buat mandi, tapi tak makan biar koyok Suzanna. Ben ayune ra pudar-pudar." "Hah? Masa, sih?" Agung terkesiap mendengar jawaban Puji. "Becanda, Gung," balasnya. "Ini pesanan Bu Haji. Biasanya juga emang gini." Agung yang saat itu mencuci buah-buahan kembali bertanya. "Emang buat apa kembang sebanyak ini? Nggak mungkin untuk campuran masakan, kan?" "Ya, Bukan," sanggah Puji. "Udah, liat aja. Nanti Mas Agung bakal paham sendiri ini kembang untuk apa." "Bener kata Mba Puji, Mas." Tio ikut menimpali. "Nanti Mas Agung tau sendiri itu kembang mau dibuat apa." Jawaban Tio dan Puji yang sekedarnya malah terkesan bercanda, membuat Agung semakin penasaran. Tentu ia bertanya-tanya untuk apa bunga sebanyak itu di beli. Mereka juga membeli berbagai macam buah-buahan. Padahal, stok buat untuk minuman Jus saja masih banyak di kulkas. Karena rasa penasaran sudah memenuhi otaknya, Agung kembali bertanya pada Agus yang dari awal memang lebih terbuka. "Mas agus, itu Tio sama mba Puji beli kembang segitu banyak buat apa? Mau di sayur?" tanya Agung sambil tertawa. "Bukan, lah, Mas. Kan besok itu satu suro, Bu Hajah biasanya beli bunga dan buah setiap sebulan sekali atau pas tanggal satu suro. Buah sama bunga itu di taruh di kamar yang ada di dekat dapur," jelas Agus sambil menunjuk kamar yang ia maksud. "Bentar dulu. Ini buah sama bunga buat sesaji gitu, Mas? Setau aku, malam satu suro biasanya berhubungan dengan yang ghaib-ghaib." Agus mengedikkan kedua bahunya. "Yoo nggak ngerti buat apa. Dulu, aku juga penasaran pas awal-awal kerja buat apa beli buah sama bunga banyak-banyak gitu. Wong yang di kamar aja buahnya nggak rusak-rusak biarpun sudah satu minggu di dalam kamar," cerita pria itu. "Terus, kalau sudah lama gitu, buah sama bunganya dibuang atau dibiarkan aja menumpuk di kamar?" tanya Agung penasaran. "Biasanya, sama Bu Hajah dibagikan ke kita-kita para pegawai. Denger cerita dari anak-anak lain, buahnya emang masih bagus. Cuma rasanya emang hambar, nggak ada manis-manisnya sama sekali." Agung menautkan kedua belah alis matanya. Apa yang ia dengar barusan semakin membangkitkan rasa penasarannya. "Terus Mas Agus pernah rasain buahnya nggak kalau pas dibagi?" "Nggak pernah, Gung. Aku ora wani, ngeri soale. Jadi main aman aja. Lagi pula, aku juga nggak begitu suka buah-buahan." "Apa jangan-jangan Pak Haji sama Bu Hajah punya peliharaan, Mas?" celetuk Agung dengan cuek yang mana ucapannya ini langsung membuat Agus melotot tajam. "Husst jangan ngomong sembarangan! Nanti kalau kedengaran bisa bahaya, Gung. Saya dulu juga mikirnya gitu, tapi mending cari aman aja. Dari pada nantinya saya malah kenapa-kenapa. Kamu juga gitu. Nggak usah kebanyakan tanya ini itu. Nanti malah bahaya untuk kamu sendiri." Agus lantas berdiri. Pria itu kemudian meninggalkan Agung yang masih saja dihantui rasa penasaran. *** Setelah seharian memasak makanan untuk para pengunjung, tiba waktunya rumah makan tutup. Hari ini jadwal closing juga lebih cepat dari pada biasanya. Karena besok merupakan hari libur rumah makan, banyak pekerja yang memilih untuk memanfaatkan offday mereka dengan jalan-jalan. Ada juga yang pergi menjenguk sanak keluarga, saudara, bahkan ada juga yang memutuskan untuk pulang ke rumah agar dapat bertemu sanak saudara masing-masing. Agung sendiri memutuskan untuk tetap berada di Mess. Lagi pula percuma juga pulang. Sang Kakak saat ini tengah dinas ke luar kota. Dari pada sendirian di rumah, lebih baik ia tinggal di mess bersama teman-teman lain yang tidak pulang. Malam itu, di Mess hanya ada aku Tio dan Sapto. Sementara pekerja lain baik pria dan wanita pada sibuk pergi entah pulang atau berjalan-jalan. Mereka bertiga tampak sedari tadi sibuk bermain game playstation milik Tio. Ia sengaja membawa benda tersebut dari rumah untuk dijadikan hiburan selama berada di Mess. "Mas, udah jam sembilan loh ini. Mas Agung nggak mandi?" tegur Sapto yang masih asyik bermain playstation. "Tanggung. Bentar lagi aku turun terus mandi." "Tapi ini udah jam sembilan. Nanti masuk angin, Maa." Agung akhirnya menuruti saran Sapto. Pria itu gegas mengambil handuk yang tersusun di kastok. Membuka pintu lalu berjalan pelan menuju lantai satu. Ketika dirinya melewati kamar 'keramat' yang ada di pojok dapur, Agung yakin benar kalau pintu kamar tersebut tidak tertutup dengan sempurna. Karena penasaran, ia urungkan niatan sebelumnya untuk mandi. Lebih memilih menyeret kakinya mendekati kamar tersebut. Pelan-pelan Agung mendekat. Mengumpulkan seluruh keberanian, pria itu berniat untuk mengintip. Siapa tahu setelah ini bisa mendapatkan jawaban apa yang sebenarnya ada di dalam kamar tersebut. Mengarahkan tangannya, Agung mendorong dengan sangat pelan tuas pintu. Ketika terbuka sedikit, ia langsung terkesiap. Ada pemandangan yang sangat tidak biasa tertangkap oleh retina matanya. . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD