Tumbal 3

1308 Words
Agung benar-benar dibuat tekejut. Terlihat jelas oleh matanya kalau mas Andi masuk ke kamar keramat itu lalu menyusun berbagai macam buah di atas meja layaknya sesaji. Tak berapa lama, Mas Andi juga seperti sengaja menyalakan beberapa lilin yang ada di sana. Entah untuk tujuan apa sebenarnya. Masih menjadi tanda tanya besar bagi Agung sendiri. Namun, dari semua itu, ada yang tak kalah membuat Agung terpengarah. Isi kamar tersebut cukup menarik perhatiannya. Di d******i warna serba kuning, dihiasi berbagai macam guci antik serta perabotan yang berasal dari perunggu, kamar itu terlihat begitu antik. Belum lagi keberadaan kasur lengkap kelambu berwarna kuning, semakin membuat Agung terheran-heran. Siapa sebenarnya yang menempati kamar aneh ini. Pasti bukan manusia, pikirnya kala itu. Ia pribadi bahkan tidak ingin sedikit pun Karena tidak ingin ketahuan kalau ia sedang mengintip, pelan-pelan Agung berjalan mundur. Ketika agak jauh, dengan langkah besar ia langsung memilih untuk kembali ke lantai dua. Sesampainya di sana, ia lantas menghampiri teman-temannya yang masih asyik bermain PS untuk menanyakan sesuatu. "Kalian pernah liat nggak isi kamar di bawah itu apa?" Sapta yang tadinya sedang asik bermain langsung menoleh ke arah Agung, bermaksud untuk menjawab pertanyaan pria itu. "Aku nggak pernah tau isinya apa. Yang aku tau udah dari awal di wanti-wanti nggak boleh buka apalagi masuk kedala ruangan itu, Mas," terang Sapta apa adanya. Di sebelah Sapta, ada Tio yang tengah asyik bermain PS. Ikut mendengar apa yang diperbincangkan, pria itu tak lama setelahnya ikut mengomentari. "Pasti mas Agung mikirnya itu kaya kamar peliharaan Pak Haji dan Bu Haji, kan?" tebaknya penuh yakin. Bersikap seolah-olah bisa membaca apa yang tengah dipikirkan Agung saat ini. "Kok kamu tau aku mikirnya begitu di dalam hati?" heran Agung. Ia hampir melongo karena ucapan Tio yang tepat sasaran. "Lah, iyaa," jawab Tio. "Wong dulu aku juga mikirnya begitu kok, Mas. Dulu ya podo, sama persis kayak mas Agung. Waktu di awal-awal sempat heran, kenapa kamar itu kayanya keramat betul sampai semua pekerja nggak boleh satu pun masuk kalau nggak mau celaka," ceritanya dengan mimik wajah serius. "Batinku waktu itu, pasti ini ada yang nggak beres. Atau jangan-jangan Bapak dan Bu Aji punya peliharaan yang di taruh di kamar itu," lanjutnya kemudian. Agung mengangguk-angguk. Turut memikirkan apa yang baru saja Tio ceritakan padanya. Belum sempat lagi terurai, rekan kerjanya itu kembali bersuara. Seolah ada hal lain yang harus ia ceritakan. "Apalagi setelah aku mulai kerja di sini, Mas. Ada beberapa karyawan yang tiba-tiba aja meninggal dunia. Ya, namanya maut nggak ada yang tau, to? Tapi, menurutku meninggalnya mereka semua sunggug nggak wajar." Sontak saja penjelasan Tio kali ini berhasil membuat rasa penasaran Agung semakin membumbung tinggi. Yang sebelumnya saja belum terjawab, sekarang ditambah lagi misteri kematian yang katanya tidak wajar. Ini sebernarnya ada apa? "Nggak wajar gimana maksudmu?" Agung sudah kepalang penasaran. "Apa mereka semua meninggalnya di rumah ini?" selidiknya ingin tahu. Tio menatap lekat-lekat wajah Agung. Sambil menggeleng, pria itu menjawab rasa keingintahuan rekan kerjanya tersebut. "Meninggalnya sih memang bukan di rumah ini, Mas. Tapi, yang buat aneh itu, mereka mengembuskan napas terakhir yoo koyok bergantian gitu, lo," ungkapnya. Menarik napas sekali, Tio bercerita lagi. "Gini, tak jelasin ben Mas Agung paham kronologine. Pertama, Mba Rahmi. Beliau itu tukang masa nasi di sini awalnya. Masih muda mungkin seumuran sama Mas Agung gini. Pokoknya, nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja dia minta berenti kerja dengan alasan orang tuanya sakit keras di kampung. Mba Rahmi beralasan, nggak ada yang ngurus kedua orang tuanya, itu yang buat dia ngebet minta berenti kerja. Lalu, kalau nggak salah, tiga atau empat hari setelah kepulangan Mba Rahmi ke kampung, Eh malah ada kabar kalau beliau meninggal dunia padahal yang sakit kan orang tuanya bukan dia. Adiknya sempat cerita, kalau Mbanya itu meninggal mendadak. Dokter diagnosis kena serangan jantung." "Ya mungkin aja karena emang kena serangan jantung, Yo," protes Agung. "Lagi pula, memang sudah banyak di dunia ini kasus orang meninggal mendadak karena serangan jantung. Bahkan tidak pandang bulu mau sudah tua atau masih muda." Tio berdecak sebal mendengar sanggahan Agung. Tapi karena malas berdebat pria itu bermaksud untuk memberikan penjelasan lain yang mungkin bisa mematahkan argumen Agung barusan. "Nggak percoyoan, iki. Mbok ya dengerin dulu aku cerita sampai habis, Mas. Ya, oke. Anggaplah Mba Rahmi memang benar terkena serangan jantung, tapi coba bayangkan, setelah kematiannya, dua bulan kemudian giliran si Bambang yang nyusul menghadap ilahi karena ketabrak truck waktu dalam perjalan pulang ke rumah saat jadwal off kerja," cerita Tio lagi. "Bukan hanya itu. Ada Sinta juga, yang setelahnya tiba-tiba berhenti kerja karena alasan mau menikah. Eh, belum sempat bagi undangan dia malah meninggal juga. Kata orang tuanya, Sinta tiba-tiba meninggal waktu dia lagi tidur siang di rumah. Padahal nggak punya riwayat penyakit apa pun. Yang lebih anehnya, sebelum meninggal, Sinta cerita ke ibunya kalau seminggu terakhir sering dapet mimpi dikejar-kejar genderuwo." Untuk penjelasan yang satu ini, bulu kuduk Agung seketika meremang. Entah kenapa, ada perasaan ngeri sekarang menjalari tubuhnya. "Aku juga nggak habis pikir, Mas. Ini sempat heboh dulu. Banyak yang mau berhenti." Sapta kembali menimpali. "Terus, pada berhenti nggak setelah itu?" Kali ini sapta menggeleng. "Yoo nggak. Pak Haji sempat kelimpungan karena karyawan pada mau berhenti semua. Akhirnya beliau naikin gaji semua para pekerja agar mengurungkan niatan mereka. Dan cara itu berhasil." Agung mengangguk-angguk. Menikmati tiap cerita yang kedua rekannya ini sampaikan. "Lalu, kalau di sini banyak kejadian aneh, kenapa kalian masih betah? Nggak berhenti aja? Emang kalian nggak takut jadi tumbal berikutnya?" Tio dan Sapta terdiam sejenak. Keduanya saling pandang. Memberikan isyarat siapa yang harus menjawab pertanyaanku kali ini. Hingga diputuskan Tio untuk menanggapi. "Awalnya kami memang mau berhenti, Mas. Tapi setelah dipikirkan matang-matang, kebanyakan yang meninggal itu yang mengundurkan diri. Dari situ kami tarik kesimpulan, kalau kami bertahan di sini, insya allah kami nggak bakal jadi korban berikutnya. Anggap aja selama bekerja kami nggak tau apa-apa. Dari pada celaka, mending ambil amannya aja. Lagi pula, aslinya Pak Haji sama Bu Haji itu baik. Makan terjamin. Bonus selalu dikasih. Gaji setahun sekali naik. Ya nggak apa-apa kami bertahan di sini aja." Agung berdecak sambil geleng-geleng kepala. Tapi apa yang Tio katakan ada benarnya juga. Kalau dengan menutup mata membuat kita selamat dan tidak terusik, mending melakukan hal itu demi keselamatan diri. "Tapi omong-omong soal makhluk ghaib. Di tempat ini memang beneran ada, kan?" Agung kembali memastikan. "Yoo ada, Mas," sahut Sapta dengan cepat. "Dulu pernah, waktu mas Agus sholat di kamar kita ini. Tengah malam kemudian pas kita semua pada tidur, langsung ada yang gedor-gedor pintu kamar kaya orang kerasukan. Eh, pas di buka nggak ada siapa-siapa. Besoknya pas mas Agus solat lagi, malemnya Tio langsung lihat cewek rambut panjang berdiri pas di samping jendela kamar. Kalau ceweknya diam aja nggak apa-apa, Mas. Nah ini ceweknya malah ketawa nyaring," cerita pria itu dengan mimik wajah serius. Tergambar jelas kalau ia tidak sedang mengada-ada. "Makanya, sekarang mas Agus kalau solat nggak pernah di kamar lagi," kata Tio. "Mas Agus lebih rela jalan kaki sedikit untuk solat di langgar depan sana dari pada malamnya di gangguin makhluk-makhluk ghaib," tambah pria itu kemudian. "Terakhir mas ... " Sekarang gantian Sapta lagi yang berbicara. "Pernah juga Mas Agus nggak sengaja lihat genderuwo berdiri pas di depan pintu kamar keramat itu. Yang tadinya dia mau ke wc, ya nggak jadi. Malah langsung putar balik ke kamar dari pada kenapa-kenapa di bawah." Mendengar cerita Tio dan Sapta, bukannya takut Agung malah semakin dibuat penasaran. Sebenarnya apa fungsi kamar di bawah itu sehingga begitu di keramatkan. Apa benar Pak Haji dan Bu Haji memang punya peliharaan ghaib yang di taruh di sana. Lalu, makluk seperti apa yang mendiami tempat tersebut. Apakah semuanya benar saling berkaitan dengan beberapa peristiwa kematian yang menimpa para pekerja sebelumnya. Rasa keingintahuan yang besar, membuat Agung ingin mengurai semua peristiwa tersebut. Lantas tak lama ia berpikir, siapa orang yang pantas untuk ia mintai keterangan mengenai semua kejadian ini? . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD