Cilla semakin mengeratkan pelukannya kepadaku, begitu Bulan mendekat padanya. Dia seperti ketakutan melihat Bulan. Wajar saja, baru kali ini Cilla melihat Bulan setelah dari 7 bulan lalu. Mungkin Cilla merasa asing pada Bulan.
"Ayo sayang sama bunda, sini ikut bunda. Bunda mau gendong kamu." Kembali Bulan mendekat. Bahkan dia mulai menarik Cilla dari gendonganku.
"Bulan, dia belum kenal sama kamu jadi jangan dipaksa dulu." Kata Pelangi sambil mencoba menjauhkan tangan Bulan dan lengan Cilla.
"Bukankah kamu bilang dulu aku juga ibunya ? Kenapa sekarang kamu melarangku ?" Tanya Bulan.
"Kamu boleh menganggap Cilla anakmu, tapi bukan berarti kamu memaksanya ? Dia belum mengenalmu, jangan membuat dia takut padamu. Bukan begini caranya kamu mengambil hati anak kecil." Jelas Pelangi.
"Aku tau, kamu pasti gak suka kan kalau aku dekat sama Cilla ?" Tanya Bulan sambil menunjuk ke arah Pelangi.
"Bukan begitu, tapi .... "
"Bulan !" Bentakku.
"Benar kata Pelangi, kamu pengenalan dulu pada Cilla, baru mengajaknya, ingat Cilla ini masih bayi, dia juga tidak terbiasa dengan orang asing." Lanjutku.
"Kalian pikir mentang-mentang aku gak bisa punya anak trus aku gak bisa momong anak kecil gitu ? Ayo sini Cilla sayang sama mama." Kembali Bulan menarik Cilla dari gendonganku, dan kali ini menyebabkan Cilla menangis.
"Bulan jangan begitu, jangan membuat dia takut sama kamu." Kata Pelangi.
"Kamu tu jahat ya ! Harusnya kamu tu bersyukur punya anak, aku gak bisa. Aku cuma ajak Cilla aja gak boleh !" Bulan tetap berniat mengambil Cilla dari gendonganku.
"Bulan ....." Pelangi menarik tangan Bulan, tapi malah dihempas oleh Bulan bahkan dia mendorongnya hingga Pelangi terjatuh.
"Auww ...." Teriak Pelangi.
"Astaga Pelangi !" Aku langsung mendorong Bulan dan menolong Pelangi.
"Lebay kamu !" Teriak Bulan sambil melihat kami sinis. Sementara Cilla masih menangis di gendonganku.
"Kamu gak pa-pa ?" Tanyaku pada Pelangi tanpa memperdulikan Bulan.
"Gak pa-pa mas, tapi perutku." Kata Pelangi sambil meringis memegang perutnya.
"Bulan ! Lebih baik kamu pulang ! Jangan pernah mengganggu Pelangi lagi !"
"Gak usah drama deh Ngi ! Cuma gitu aja sok bilang sakit, manja !" Kata Bulan.
"Diam ! Kalau sampai terjadi sesuatu pada kandungan Pelangi, kamu lihat akibatnya !" Bentakku.
"Apa ? Kandungan ? Pelangi hamil ?" Tanya Bulan dengan mata membulat.
"Iya . Kenapa? Pelangi sekarang sedang hamil. Jadi lebih baik kamu berhenti mengganggunya! Ayo sayang !" Kataku sambil membawa Pelangi dan Cilla pergi.
"Ahhhhhhhh!" Bulan mengamuk. Dia membuang semua isi di atas meja. Tapi aku tak memperdulikannya. Aku membawa Pelangi dan Cilla pulang.
"Toni kamu urus ibu ya, kalau perlu suruh dia pergi dari sini." Perintahku pada karyawanku.
"Baik pak." Jawab Toni.
Sepanjang perjalanan kami sama-sama terdiam. Pelangi bercanda dengan Cilla yang duduk di pangkuannya.
"Kita mau kemana yah ? Kok gak searah jalan pulang ?"
"Kita periksa dulu kandunganmu. Aku takut terjadi sesuatu."
"Aku gak pa-pa kok yah. Ini sudah tidak sakit lagi."
"Kamu jatuh terlalu keras, aku takut. Kali ini sungguh-sungguh ingin merawat kamu dan kandungan kamu. Jangan larang aku untuk khawatir."
"Aku takut yah sama Bulan. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi." Lanjut Pelangi.
"Iya. Kamu blokir saja nomernya, jika perlu kamu ganti nomer agar dia tidak bisa menghubungimu lagi. Aku tidak tau kalau dia mengambil nomermu di ponselku."
"Semoga Cilla tidak trauma dengan perlakuan Bulan."
"Aku minta maaf ya. Aku sungguh tidak tau jika Bulan akan senekat ini. Aku juga kaget saat dia tiba-tiba di kantorku dan mengatakan bahwa kamu akan kesini menemuiku."
Hening. Pelangi diam. Sementara Cilla sibuk memainkan mainannya di jok belakang.
"Bulan bilang dia ingin melihatku. Dia bilang dia rindu padaku. Dia ingin berbicara padaku dan kamu mengenai hubungan kita. Aku tidak tega mendengar dia menangis. Kata Bulan kamu melarangku untuk bertemu dengannya."
Kali ini aku yang diam.
"Bukan melarang. Aku hanya butuh waktu yang tepat untuk mempertemukan kalian. Bulan yang tidak sabar dan bertindak seenaknya sendiri."
Tidak lama kami sampai di dokter kandungan. Setelah dokter memeriksanya aku sedikit lebih tenang karena dokter mengatakan tidak terjadi sesuatu dengan kandungan Pelangi. Aku bersyukur untuk itu. Usia kandungan Pelangi sekarang sudah menginjak 8 minggu, dan dia harus banyak istirahat. Bersyukur benturan tadi tidak menyebabkan Pelangi harus keguguran.
***
Semenjak kejadian hari itu hubunganku menjadi sedikit lebih dingin dengan Pelangi. Dia lebih banyak diam. Aku tau dan aku mengerti itu. Jika aku diposisi Pelangi mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama seperti dia.
"Sayang .... "
"Hmmmm.... "
"Kamu masih marah sama aku ?"
"Siapa yang marah ?"
"Kamulah, diem terus dari kemarin."
"Lagi males buat ngomong. Bawaan bayi mungkin."
"Kasian dong anak kita yang disalahin. Kamu kali yang marah sama aku." Godaku.
"Aku mau mandi."
"Ikut."
" Mas !"
"Bercanda. Udah dong jangan ngambek. Aku kangen suasana hangat kita dulu. Aku kangen kita bisa bercanda bareng kaya dulu."
"Iya, nanti kita bercanda, asal kamu sudah bisa mengambil keputusan tentang aku dan Bulan."
Pelangi langsung masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya setelah mengucapkan itu padaku. Buatku itu sudah merupakan permintaan Pelangi agar aku segera mengambil tindakan. Aku menghamburkan diriku di kasur. Aku memejamkan kedua mataku sambil mengingat apa saja yang sudah kualami selama ini dengan Bulan.
"Aku pengen pernikahan kita nanti berjalan dengan meriah sayang." Kata Bulan, 4 taun yang lalu.
"Iya sayang kamu atur aja, nanti kita tinggal cari WOnya." Jawabku.
"Pakai adat Jogja ya sayang, basahan aja." Katanya manja.
"Malu ah, badanku kan gak oke." Jawabku.
"Idih, emang yang oke itu yang gimana coba ?"
"Kaya Joe Taslim, Iko Uwais baru oke. Basahan juga berani aku."
"Ntar kalo kamu kaya mereka, kamu gak bakalan mau sama aku." Cubitnya di pinggangku.
"Aduh. Sakit sayang." Keluhku.
"Iya iya maaf." Katanya sambil memelukku.
Bayangan itu muncul kembali. Bayangan kebersamaanku dengan Bulan selama kami bersama. Harusnya aku sekarang benar-benar menceraikannya ?
"Sayang, aku gak mau kamu terlalu dekat Pelangi. Aku cemburu. Maafkan aku ya belum bisa rela kamu sama Pelangi."
"Kenapa ? Sejak kapan kamu takut sama Pelangi ?"
"Pelangi melarang kamu bertemu denganku ?"
"Kamu pasti gak suka kan aku mendekati Cilla ?
Arrrhhhhhhhhhh !!!!!!! Bayangan pertanyaan Bulan terngiang-ngiang di telingaku. Bulan ...... Kenapa kamu berubah begitu. Aku tidak mengenalmu sekarang. Mengingat perubahanmu sekarang aku justru ingin menceraikanmu.
"Assalamualaikum mas." Sapa Pelangi pada hari pertama pertemuan kita waktu itu.
"Walaikumsalam." Jawabku ketus dan hanya meliriknya sebentar.
"Mas, saya Pelangi. Salam kenal dari saya."
"Iya. Saya Moondy. Kamu pasti sudah tau siapa saya. Sebentar lagi kita akan menikah. Karena sebuah perjodohan." Kataku penuh dengan penekanan.
"Iya mas, kita akan menikah karena perjodohan. Mas Moondy setuju ?"
"Tidak ada pilihan lain. Maka mau tidak mau kita tetap harus menikah juga kan ?"
"Tapi saya saat ini belum mencintai mas Moondy."
"Kamu pikir saya sudah ? Kita hanya perlu mengenal satu sama lain. Anggaplah kita pacaran setelah menikah nanti."
"Baik mas. Saya juga mungkin masih perlu belajar untuk menjadi istri yang baik untuk mas Moondy."
"Saya tau. Makanya setelah pernikahan nanti kamu harus ikut saya ke Semarang. Kita hidup mandiri disana. Pekerjaan saya juga disana. Jadi mulai sekarang belajarlah jauh dari orang tua."
"Secepat itukah mas ?"
"Iya! Begitu acara kita selesai kita langsung ke Semarang."
Perkenalan itu. 3 tahun yang lalu, saat itu pertama pertemuan pertamaku dengan Pelangi. Dia masih belum berhijab. Rambutnya dia urai, jepit rambut dia pasang di sebelah kanan kepalanya. Sungguh norak pikirku. Aku membencinya. Aku menaruh kebencian setinggi-tingginya pada Pelangi, sejak dari awal pertemuan kita.