Chapter 03

2129 Words
Rara menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia menekuri kertas-kertas berisi rancangan pakaian yang akan dijadikannya sebagai bahan untuk festival busana semester ini. Dan karena ini adalah semester terakhirnya, Rara benar-benar memikirkan rancangannya semaksimal mungkin. Karena itu, pagi-pagi dia sudah nangkring di kafetaria kampusnya sambil menunggu Kim yang sedang membeli minuman untuk mereka. Rencana untuk bersantai di pagi hari sebelum menenami Alvin ke game center harus dia tunda dulu. Sedang asyiknya dia menentukan desain mana saja yang akan dipakainya untuk festival, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya dan membuatnya memekik kecil. “Yaelah …, biasa aja kali ekspresinya.” Rara menoleh kearah si empunya suara. Seorang cowok—bukan, lebih tepatnya seorang cewek yang berdandan ala cowok, lengkap dengan rambut yang dipangkas pendek seleher dan dicat pirang kecokelatan. Belum lagi pakaiannya yang jelas ‘laki’ banget. Celana jins ketat lengkap dengan sobekannya, jaket jeans, dan juga kaus putih ketat di baliknya. Walaupun makhluk di depannya ini adalah cewek, tapi sifatnya bisa dibilang berbanding terbalik dengan statusnya sebagai cewek. Terlalu jantan. Beruntung ini cewe bukan lesbian. Kalo nggak mungkin mereka bakal ngira dia dan Rara pacaran. Well …, kayaknya orang bakal berpikiran gitu kalo liat interaksi mereka. “Kim, lo ngagetin gue aja sih!” Kimberly Arden hanya tersenyum lebar dan menyerahkan minuman yang ada di tangannya pada Rara, kemudian duduk di sampingnya. “Wow, ini semua rancangan lo?” Rara meminum minumannya—mocca latte dingin—sebelum mengangguk. Kim menatap kertas-kertas berisi rancangan milik Rara dan bersiul. Dia membagi kertas-kertas itu menjadi dua, kemudian menyerahkan yang sudah ia sisihkan dari yang lain pada Rara. “Yang ini cocoknya untuk tema Natal, Ra.” kata Kim tanpa mengalihkan pandangannya dari sketsa-sketsa lain Rara. Rara memperhatikan rancangannya yang sudah dibagi oleh Kim dan melayangkan pujian pada sohib sejak SMP-nya itu. Walaupun sering dibilang cowok jadi-jadian, tapi Kim adalah seorang pengamat fashion yang cukup andal, dan dia juga satu jurusan dengan Rara, jurusan desain pakaian. Karena itu, nggak heran kalau gaya berpakaian Kim yang rada unik dan nyeleneh kadang jadi style tersendiri bagi cewek-cewek tomboy seperti dirinya. Kim bahkan dapat tawaran jadi model setelah lulus dari universitas mereka. Tapi, Kim menolak dan malah memilih meneruskan kuliahnya di Paris, di mana dia bakal mencoba peruntungannya menjadi desainer di sana. Kim selesai menyeleksi semua rancangan milik Rara dan menghembuskan nafasnya. “Lo itu berbakat banget jadi desainer pakaian, Ra. Sumpah, gue nggak pernah lihat rancangan yang sebagus dan seberani punya lo.” Kata Kim meminum minumannya, “Rancangan lo itu gue ramal bakal jadi trend mark sepuluh tahun lagi.” “Thanks buat pujiannya. Gue juga yakin lo juga bakal jadi model sekaligus perancang yang terkenal nantinya.” Rara tersenyum, “Tapi, gue masih kurang sreg dengan rancangan gue yang ini. Menurut lo gimana, Kim?” Kim memperhatikan satu rancangan yang diperlihatkan sohibnya itu. “Tambahin manic-manik atau payet emas? Tema yang bakal diusung untuk festival semester ini kan wedding’s party?” Rara manggut-manggut, kemudian teringat dengan kejadian kemarin malam malah membuat wajahnya agak kecut. “Kenapa lagi wajah lo kecut gitu?” tanya Kim, “Eh iya, kemarin lo bilang lo dijodohin sama bokap? Serius?” “Serius pake banget.” Ujar Rara, “Dan bayangin, Kim, gue dijodohin sama bocah!” “Heh? Bocah? Lo… dijodohin sama anak kecil umur tujuh tahun? Jangan bilang lo udah berubah jadi p*****l, Ra!!” “Kagaklah, Kim!!” kata Rara, “Lo kok mikirnya gue dijodohin sama bocah umur tujuh tahun? Lo mau bikin pikiran gue tambah kusut, gitu?” Kim terkekeh, kemudian berdeham dengan wajah serius. “Terus, bocah yang lo maksud ini umur berapa?” tanyanya. “Delapan belas tahun.” “Hmm… gak terlalu jauh tuh. Kan Cuma beda tujuh atau enam tahun dengan lo?” “Masalahnya, Kim, dia itu… aduh, susah gue ngejelasinnya. Yang jelas dia itu bocah m***m!” “Lah? Emang dia m***m dari mana?” “Lo percaya kalo dia ngomongin soal ML—make love, sama gue?” … … … Loading … Loading … “HUAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!” Kim tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai memukul meja saking tawanya yang kencang itu harus mendapatkan pelampiasan. Sementara Rara Cuma menatap Kim dengan mata mendelik nan tajam yang kalau saja bisa membunuh, pasti Kim udah tewas di tempat. Cewek tomboy itu akhirnya berhasil mengendalikan tawanya. Dia berdeham lagi, tapi tidak bisa menyembunyikan raut geli di wajahnya, yang jelas-jelas dilihat oleh Rara. “Kim, ini serius!” “Gue tahu, Cuma… asli, tuh bocah kayaknya nekat banget ngajak lo gituan.” Kata Kim, “Kayaknya pergaulan remaja jaman sekarang lebih gila dari pergaulan kita dulu.” “Iya kali. Gue nggak terlalu peduli juga, Cuma ya itu… masa iya gue dijodohin ama anak umur belasan tahun? Salah-salah gue dipanggil tante-tante nyari berondong, dong?” “Lah, emang iya, ‘kan?” “Kim!!!” Kim tergelak lagi. “Tapi, Ra, coba lo ambil sisi positifnya saja deh. ‘Kan lo dari dulu kepengen punya adik, nah sekarang kesampaian, walau dalam bentuk calon suami.” Kata Kim. “Gila lo!” Rara bersungut-sungut mendengar ucapan Kim. Dia lebih memilih menekuri sketsa rancangannya ketika HP-nya berbunyi dengan ringtone lagu Girls dari GARNiDELiA, duo penyanyi dari Jepang favoritnya. “Siapa lagi yang mau bikin gue kesel hari ini?” gerutunya sambil mengeluarkan HP dari tasnya. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya, Rara langsung menggeser tanda hijau untuk menerima telepon dan menempelkan benda itu ke telinga kirinya. “Halo?” “Udah makan?” “Hah?” Rara mengerutkan kening, kemudian menatap layar ponselnya. Dan barulah dia sadar kalau ternyata Alvin yang menelepon. Tertulis jelas nama yang Rara pilih sendiri untuk bocah tengil satu itu. Alvin bocah tengil. Itu nama Alvin di phonebook-nya. “Woy, udah makan belom?” suara Alvin samar-samar terdengar dari speaker HP. “Iya, iya…, gue belom makan. Kenapa?” balas Rara sambil kembali menempelkan benda elektronik kesayangannya itu kembali ke telinga. “Mau makan bareng? Gue laper, tapi malas makan di rumah.” Kata Alvin lagi, “Mau ya? Gue traktir deh.” Rara melirik sekilas kearah Kim yang menaikkan sebelah alisnya dengan raut wajah bertanya. Rara mengisyaratkan pada Kim kalau dia akan menjelaskan nanti, kemudian kembali focus pada suara Alvin. “Gue lagi di luar sama temen. Tapi, nanti gue bakal ke game center sama lo kok.” kata Rara. “Ajak aja temen lo sekalian. Biar rame. Bosen kalo makan Cuma berdua. Ntar dikira date lagi.” kata Alvin, “Lo nggak mau, kan, Tante?” Ctak! Perempatan siku-siku muncul di kepala Rara. “Jangan panggil gue tante. Lo kira gue tante lo?” balas Rara. “Emang bukan.” Balas Alvin polos, “Berarti fix lo nemenin gue, ya? Ajak juga temen lo. Biar rame. Ntar gue chat di mana tempatnya. See ya!” Telepon diputus secara sepihak. Dan Rara mencibir tanpa suara sebelum meletakkan HP-nya di atas meja. “Biar gue tebak, itu si bocah?” tanya Kim. Rara mengangguk sebagai jawaban. “Ngajakin lo makan bareng dan… ke mana? Game center?” Lagi-lagi Rara mengangguk. Kayaknya mood dia langsung berubah drastic setelah mendapat telepon dar Alvin barusan. “So, kenapa lo masih di sini? Dia nungguin elo, ‘kan?” “Ntaran aja. Lagian gue masih ngurus sketsa-sketsa ini. Lo juga disuruh ikut, jadi lo jangan coba-coba kabur.” kata Rara. Kim hanya terkikik geli mendengar ucapan Rara. Walaupun Rara bisa dibilang judes sekarang, tapi dia tahu, sohibnya yang satu ini nggak akan pernah ingkar janji. Dan setengah jam kemudian, mereka sudah berada di sebuah kafe yang cukup terkenal di Jakarta. Mereka berdua sempat disapa oleh salah satu pelayan yang kemudian mengantarkan mereka ke sebuah meja di pojok, tepat di samping kaca kafe yang berhadapan dengan taman bunga kecil di sebelahnya. Seorang cowok bertubuh semampai duduk di sana sambil bertopang dagu. Matanya menatap kearah taman bunga. Secangkir cappuccino di mejanya tampak mengeluarkan asap yang masih mengepul di samping sebuah buku tebal dan juga laptop. Sepertinya dia baru saja duduk di sana dan mungkin sedang menunggu seseorang. Pelayan tadi mengantarkan Rara dan Kim ke meja cowok itu, dan Kim mencolek lengan Rara. “Apaan, sih?” “Ra, itu bocah yang dijodohin sama lo?” bisik Kim menunjuk cowok yang tadi. Rara hanya mengangguk, dan Kim malah speechless. Kedatangan mereka berdua membuat cowok itu menoleh, dan dengan senyum manis, dia mengucapkan terima kasih pada si pelayan, yang buru-buru pergi kembali ke balik meja kasir untuk mengambil menu. “Sori, nunggu lama?” tanya Rara sambil duduk di hadapan cowok yang tidak lain adalah Alvin. Alvin menggeleng. “Gue juga baru dateng.” Katanya, kemudian pandangannya tertuju pada Kim yang duduk di sebelah Rara. “Lo… cowok?” tanya pemuda itu. Kim tersenyum dengan sebelah bibir. Sudah banyak yang menyangka dia adalah laki-laki kalau dia datang bersama Rara. Apalagi didukung dengan wajahnya yang memang tampak dewasa dan tubuhnya sedikit lebih tinggi daripada sohibnya itu. Oh, dan jangan lupakan. Dadanya juga tepos. Dan selama ini, memang dia sering jadi tameng bagi Rara kalo ada cowok-cowok yang ngajak nge-date gadis itu. Harus Kim akui, ngerjain cowok-cowok yang naksir Rara ternyata menyenangkan juga, dan Rara juga memberikan lampu hijau alias restu. “Kalo gue bilang gue pacarnya, gimana?” tantang Kim. Yang sukses membuat Rara menoleh kearahnya dengan mata terbelalak. Alvin membalas senyum Kim dengan kalem, kemudian kembali menopangkan dagu. “Terus, kalo gue bilang gue calon suaminya gimana?” balas Alvin. Kali ini pandangan Rara kembali pada Alvin. Bolak-balik dia menatap dua orang yang duduk di hadapannya itu dengan mata membelalak. Ini apa-apan, sih? “Hee… nyali lo gede juga. Yakin lo bisa ngerebut Rara?” kata Kim. “Yakin. Lagipula, kalo lo pacaran dengan Rara, pasti ada satu aja benda couple yang kalian pake. Karena trend couple things itu cukup populer di Indonesia. Dan lo tadi ke sini dengan mobil Rara, tapi Rara yang menyetir. Cowok kalo nggak bisa nyetir dan malah ceweknya yang melakukan itu, pasti bakal malu berat, nggak tahu mau naroh muka di mana.” jelas Alvin panjang lebar. Kim mengerjap mendengarkan penjelasan Alvin. Jadi, cowok ini ngelihat keluar jendela bukan hanya melihat taman, tetapi juga melihat kedatangan mereka. “Oke, itu cukup mengagumkan. Tapi, gue masih yakin kalo lo bisa ngerebut Rara dari gue.” Rara memutar bola matanya dan menyikut Kim. “Aduh!! Apaan, sih, Ra?” tanya Kim kesakitan. “Udah cukup. Nggak usah bikin rusuh di sini, deh.” kata gadis itu. Kim hanya bersungut-sungut walau raut geli terlihat jelas di wajahnya. “Sori, Vin. Dia tadi Cuma bercanda. Dia cewek, kok. Sohib gue, namanya Kimberly Arden. Dia juga kuliah di jurusan yang sama dengan gue.” kata Rara. Alvin menatap Rara, kemudian Kim, lalu mengedikkan bahu. “Pantes aja. Gue sempat ngira dia cowok, dan mendengar suaranya tadi, gue malah nggak yakin dia cowok karena suaranya lembut gitu.” Kata Alvin. Lembut? Kim mengangkat sebelah alisnya. Selama ini suaranya selalu dibilang cempreng tidak hanya oleh orang-orang, tapi juga Rara sendiri. Dan bocah di hadapannya ini bilang suaranya lembut? “Lembut?” Rara menyuarakan pikiran Kim secara tak langsung. Alvin mengangguk, “Suaranya jenis alto, dan gue sering nemuin kasus di mana kalo seorang cewek punya suara yang alto ato rada ngebass kayak cowok pas nyanyi karaoke tapi kalo ngomong kayak anak kecil.” Kali ini nggak hanya Kim yang bengong, tapi Rara juga. Mereka berdua nggak menyangka Alvin bisa sebegitu pekanya dengan yang namanya suara manusia. Kim tiba-tiba bertepuk tangan dua kali. “Wow. Salut gue. Lo orang pertama yang bisa bikin gue speechless.” Kata gadis tomboy itu. “Thanks for the honor.” Kata Alvin sambil tersenyum, “Lagian, kalo lo pacaran dengan Rara, masa iya dia jadi lesbian. Kan, nggak mungkin?” Kim kali ini tertawa terbahak-bahak mendengarnya sementara Rara memandang tajam kearah Alvin yang menatapnya tanpa dosa. “Ra, sumpah, kalo calon lo begini, gue yakin lo nggak bakal mati muda.” Kata Kim. “Hoi!!” Kim menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian mengulurkan tangannya pada Alvin. “Kita perkenalan secara normal, ya. Gue Kimberly Arden, sohib calon istri lo ini. Ngomong-ngomong, bener usia lo delapan belas tahun?” Alvin membalas uluran tangan Kim dan menjabatnya. “Alviano Alexander. Dan, ya… gue masih delapan belas tahun, kelas 3 SMA, tapi udah pegang gelar doctor dari Harvard.” Kim bersiul mendengarnya. “Biar gue tebak, lo sekolah lagi karena bosen, kan?” “As you guess.” Alvin mengedikkan bahu. Kim tersenyum lebar. Dia lalu menoleh kearah Rara yang entah kenapa wajahnya ditekuk kek kardus mau dibuang ke gudang. “Ra, kalo dengan Alvin sih gue restuin deh. Ntar kalo udah beneran nikah dan brojol, gue doain anak-anak kalian berdua kocaknya sama kayak bapak-ibunya.” kata Kim lagi. Yang langsung disambut dengan death glare dari Rara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD