Chapter 02

1949 Words
“… delapan belas tahun!!?” Rara menatap Alvin yang lebih tinggi darinya, lalu ayahnya bolak-balik. Mulutnya megap-megap kayak ikan terdampar di tanah. Yang pasti wajahnya sekarang pasti kelihatan b**o banget. Ayah Alvin tertawa melihat reaksi Rara yang hiperbolis. Menurutnya wajah Rara yang melongo dengan mulut menganga itu benar-benar lucu. “Nggak apa-apa, Ra. Nanti kamu juga terbiasa kok dengan Alvin.” Ujar beliau, “Alvin anak yang penurut kok.” Bukan masalah dia itu penurut atau nggak, Om! jerit Rara dalam hati. Yang benar saja! Masa, cowok yang dijodohkan dengannya ini masih berusia belasan tahun? Mending sekalian saja yang berumur sepuluh tahun, biar disangka tante-tante p*****l daripada tante-tante penyuka berondong. Eh, sama aja ding! Sama-sama malu-maluin kalau dapat julukan begitu! Alvin yang berdiri di sebelah ayahnya hanya diam. Kemudian ayah Rara mempersilakan masuk, langsung menuju ruang makan, di mana para pelayan sudah bersedia di sana untuk melayani. Ayah Rara duduk di kursi paling ujung sementara Rara duduk di sebelahnya. Kakaknya, Darren, sedang tidak ada di rumah, mengurus cabang perusahaan mereka yang berada di Bali sehingga tidak bisa ikut makan malam ini. Rara bahkan sangsi kalau kakaknya yang biarpun tampan dan digilai banyak wanita itu tahu kalau dia dijodohkan. Karena yang dipikirkan oleh Darren hanya pekerjaan, tunangannya, Lisa, dan… yah, pokoknya Rara selalu dipikirkan terakhir. Ngenes, memang. Tapi mau bagaimana lagi? Kakaknya itu memang kurang peka dengan adiknya sendiri, tapi kalau dengan Lisa, malah kelewat peka sampai-sampai Lisa sendiri pengen nendang Darren saking memalukannya dia kalau lagi ‘peka mode on’. Alvin dan Albert duduk di hadapan Rara. Dan segera para pelayan melayani mereka. Pembicaraan yang ada hanya seputar bisnis dan juga hal-hal lain yang tidak ingin dimengerti oleh otak Rara. Sambil menyantap makanannya, ia sesekali melirik Alvin. Pemuda itu terus diam bahkan hanya sesekali menanggapi ucapan kedua pria yang sedang membicarakan bisnis itu. Makan malam selesai, dan Rara ditinggalkan bersama Alvin. Ayahnya beralasan kalau dia akan membicarakan soal bisnis bersama ayah Alvin, yang dianggap sebagai alasan palsu karena memang niat ayahnya untuk membuat Rara dan Alvin lebih dekat. Jadi… di sinilah mereka, duduk di bangku yang menghadap langsung ke taman belakang yang ditanami pohon mangga, jeruk, dan rambutan. Andai sekarang pohon-pohon itu berbuah, para pelayan pasti kelabakan karena Rara minta dibuatkan rujak dari buah-buahan itu, nggak peduli walau hari sudah malam dan kemungkinan besar bisa membuat perutnya sakit. Tapi, karena sekarang bukan waktu yang tepat, Rara hanya duduk diam di samping Alvin yang menatap lurus ke depan. Entah apa yang dipikirkan cowok itu, Rara tidak mau tahu. Bukan urusannya. “Kak,” Rara menoleh kearah Alvin, “Apa?” “Boleh gue panggil dengan nama aja, nggak?” tanya cowok itu tanpa mengalihkan pandangannya. “Jujur aja, gue rada aneh manggil lo dengan sebutan ‘Kak’.” Rara mengerjapkan matanya, bengong sekaligus kaget. “Boleh aja, sih,” kata Rara, “Dan gue juga boleh pakai bahasa ‘lo-gue’, ‘kan? ‘Kan, lo juga make.” Alvin mengangguk. Cowok itu menghembuskan nafas, kemudian tanpa permisi langsung merebahkan kepalanya di pangkuan Rara. “Eh, ngapain!?” “Sebentar saja. Gue capek tadi pulang sekolah langsung ngurus berkas-berkas perusahaan yang masuk. Dad juga minta gue nemenin dia ke sini pula.” Kata Alvin, “Tapi, gue nggak nyangka, cewek yang dijodohin sama gue nggak ada tampang kayak tante-tante.” Rasanya ada perempatan siku-siku yang muncul di kepala Rara. “Maksud lo?” “Ya… nggak ada tampang kalau elo itu tante-tante. Perawatan tiap hari, ya? Wajah lo imut kek boneka Chibi Maruko-chan.” tanya Alvin cuek. “Gue Cuma pakai krim pelembap dan bedak bayi. Kalau soal facial foam-nya sih hampir dua kali sehari tiap mandi.” Jawab Rara asal. Padahal aslinya dia emang perawatan tiap hari dan pergi ke salon nggak dihitung karena dia selalu memanggil pegawai salon kesukaannya ke rumah. “Hmm… jadi cewek itu ribet, ya?” Rara mengerutkan kening. Ini anak sebenarnya membicarakan soal apa, sih? Kayaknya mutar-mutar melulu kek anjing ngejar ekornya. “Oh ya, lo punya akun ML, nggak?” “He? ML?” “Mobile Legend… yaelah, masa nggak tahu sih? Itu game ‘kan seru banget.” Kata Alvin, “Ato PUBG? Free Fire?” “Nggak punya. Lagian gue nggak suka main game.” Balas Rara. “Sayang, padahal kalo punya gue mau coba tanding lawan elo. ‘Kan siapa tahu …” Rara hanya diam mendengarkan. Sepertinya Alvin ini benar-benar polos bak kertas putih karena isi pikirannya Cuma game, sekolah, dan perusahaan… Tunggu. Perusahaan? “Eh, Vin?” “Uy?” “Lo tadi bilang ngurus berkas perusahaan… emang lo udah kerja?” “Sudah, di perusahaan Daddy.” “Tapi, lo ‘kan masih delapan belas tahun?” “Gue udah lulus dari Harvard tiga tahun lalu, Cuma karena gue bosen, gue minta sama Daddy buat masukin gue ke sekolah di Jakarta, dan sekarang gue udah kelas 3.” Kata Alvin. “Lulus dari Harvard?!” “Memangnya kenapa? Itu hal yang wajar, ‘kan?” “Memangnya lo ngambil jurusan apa di Harvard?” “Business.” Pantas saja dia langsung masuk perusahaan ayahnya. Dia ngambil jurusan bisnis. Rara bermanggut-manggut ria mendengar penuturan Alvin. Alvin menatap wajah Rara yang tampak sedang berpikir. Diam-diam dia tertawa geli melihat ekspresi serius di wajah Rara. “Ra, lo ada waktu kosong besok?” tanya Alvin. “Hah? Nggak ada sih. Memangnya kenapa?” “Besok kita ke game center yuk! Gue mau nyoba permainan di sana.” kata Alvin, kali ini dengan wajah berbinar-binar bak anak kecil yang membuat Rara ber-facepalm seketika. Sekali bocah, dia tetap bocah. “Boleh saja. Tapi gue nggak mau ke sana pagi-pagi. Gue mau memanjakan diri dengan bersantai.” Balas Rara. “Tante-tante kayak elo juga perlu bersantai, ya? Habis berada ronde?” “Hah!!?” Teriakan Rara sukses membuat Alvin menutup kedua telinganya. Suara teriakan yang ‘indah’ itu pun juga nggak luput dari para pelayan yang berada di dalam rumah dan sempat menengok sejenak kearah bangku mereka. Cewek itu langsung memukul bahu Alvin yang langsung disambut ringisan dari bibir cowok itu. “Lo pikir gue cewek murahan, gitu?!” kata Rara kesal. “Duileh… maksud gue bukan ronde seperti yang lo pikirin. Ronde yang gue maksud itu, bisa dalam artian lain, tahu!” Alvin kemudian kembali duduk dan menatap Rara. Suasana mendadak khidmat karena cowok itu menatapnya lekat-lekat. “Ronde yang gue maksud, udah berapa kali lo begadang sampe pagi Cuma buat nyari ide rancangan pakaian terbaru lo.” Kata cowok itu. “Dari mana lo tahu gue begadang mikirin ide rancangan pakaian?” tanya Rara yang masih sedikit kesal. “Daddy yang ngasih tahu kalo lo sudah semester akhir di jurusan desain pakaian. Dan karena biasanya semester akhir itu identik dengan yang namanya tugas akhir dan kelulusan, sudah pasti gue tahu lo juga sibuk mikirin tugas akhir lo yang berhubungan dengan merancang pakaian. Benar, nggak?” Rara mau tidak mau mengangguk. “Tapi, kenapa lo menyebutnya ronde, sih? Gue kan jadi kaget tadi.” “Lah, emang lo mikir apa waktu gue nyebut ‘ronde’?” Dan kali ini, wajah Rara langsung memerah. Dia lebih memilih membuang muka ke arah lain, tidak mau menjelaskan lebih jauh. Jadi cewek yang sudah melewati masa pubertas dan kealayan tingkat dewa sudah cukup membuat Rara tau apa yang dimaksud ‘ronde’ dan segalanya. Ya emang maksudnya bukan ronde yang berarti nama makanan. Cuma, ya … mana mau Rara ngaku kalo dia udah pernah liat yang begituan dari gambar dan video di internet? Tapi, itu malah membuat Alvin penasaran. Dan dengan gerakan seolah-olah mendapatkan ‘ilham’, dia langsung mengutarakan pikirannya. “Maksudnya make love gitu, ya? Peristiwa yang hanya diketahui kalau cowok dan cewek sama-sama telanjang dan—” “Stop! Stop!” Rara menutup mulut Alvin yang kayaknya kelewat bocor dengan wajah merah. Tapi, Alvin bisa melepaskan tangan Rara yang membekapnya dengan mudah dan melanjutkan ucapannya. “Loh? Gue bener, ‘kan? Itu Cuma bakal kejadian kalau cowok dan cewek lagi berduaan di kamar, peluk-pelukan, ciuman, dan… apa lagi? Gue lupa…” “Vin,” “Yap?” “Mulut lo itu pernah disekolahin, nggak sih?” “Kan gue bilang kalau gue udah lulus kuliah—” “Tapi, ucapan lo barusan bisa kedengaran sama para pelayan, b**o!!” “Lah, apa salah gue sih? ‘Kan itu fakta.” Kata Alvin nggak mau kalah. Perempatan siku-siku kedua muncul di kepala Rara begitu mendengarnya. Ditatapnya Alvin dengan tatapan membunuh yang ia kira bisa membuat Alvin diam dan mingkem kayak anak kecil ketahuan nyolong permen. Tapi, yang ada Alvin malah balik menatap Rara sambil tersenyum lebar. “Lo mau nyoba gitu juga?” tanyanya. “Lo masih bocah, b**o!!!” *** Rara menghembuskan nafas dan menenggelamkan wajahnya pada bantal ketika sampai di kamar. Alvin dan ayahnya baru saja pulang setengah jam yang lalu, dan tanpa mengucapkan selamat malam pada ayahnya, dia langsung menuju kamar dan menghempaskan diri ke kasur. Dia  bahkan nggak peduli kalau dia masih pakai gaun dan belum ganti baju. Yang ada di pikirannya sekarang adalah Alvin. Tuh bocah, walau masih umur delapan belas kayaknya udah paham banget soal dunia dewasa. Sampai-sampai Rara yang mendengar setiap kata yang dilontarkannya malah jadi malu sendiri. Dasar bocah gila! Seenak dengkul ngajak gue ngomongin soal ‘itu’! Rara mengangkat wajahnya dan menepuk-nepuk pipinya yang ia yakin masih memerah. “Lain kali gue harus ngasih pelajaran sopan santun sama tuh anak.” gumam Rara, “Biar dia nggak asal ngomong di depan gue.” Ia memutuskan untuk segera mengganti baju dan langsung tidur saja. Untungnya dia nggak dandan berlebihan untuk malam ini dan bisa mencuci sisa-sisa bedak bayi dan krim pencerah yang dipakainya dengan air. Setelah mengambil satu baju tidur dari lemari, Rara langsung melesat kearah kamar mandi di dekat lemari kaca berisi gaun-gaun rancangannya. Selang beberapa menit, dia sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah basah sehabis membasuh muka dan juga baju tidur—piyama katun berwarna hijau muda. Rara memeriksa semua kertas-kertas berisi rancangan pakaiannya yang ia letakkan di meja panjang di dekat relax corner yang dirancangnya sendiri di sudut lain kamarnya dan menyusunnya berdasarkan nomor urut yang sudah ia berikan di setiap sisi kanan atas kertas, kemudian memasukkannya ke dalam folder bening bergambar Hello Kitty. Dia baru saja akan men-charge HP-nya ketika benda tipis itu bergetar. Ada pesan masuk. Dan nomornya tidak dikenal. “Pasti kerjaan Kim lagi. Tuh anak bener-bener, deh…” Rara membuka pesan yang masuk itu dan membelalak kaget. Jangan tidur malem-malem. Muka lo tambah jelek kalo ada kantung matanya. Kira-kira itulah bunyi pesan yang diterima Rara. Dan itu sukses membuatnya bingung dan menerka-nerka siapa yang sudah mengiriminya pesan begini singkat. “Apa ini beneran si Kim, ya? Tapi, gaya pesannya beda banget sama dia—” Seolah menjawab pertanyaan Rara, HP-nya kembali berbunyi, pesan masuk dari nomor yang sama. Cepat-cepat dia membukanya. Ini gue, Alvin. Ini nomor yang gue pake untuk SNS gue. Simpen gih. “Dari mana tuh bocah dapat nomor gue?!” Dan lagi-lagi, pesan masuk ke HP-nya. Nggak usah banyak tanya dari mana gue dapet nomor HP lo. Yang jelas, sekarang lo tidur, kalo nggak mau gue sebarin foto konyol lo waktu tidur ke teman-teman lo. Btw, gue beneran punya foto konyol lo waktu tidur pake baju boneka Hello Kitty. Nggak nyangka lo ternyata hobi ngoleksi benda-benda ajaib macam baju tidur boneka lengkap dengan tudungnya. Apa jangan-jangan underwear lo juga bergambar Hello Kitty, gitu? Detik itu rasanya Rara pengen ngebanting HP-nya, antara malu dan kesal karena Alvin sekali lagi bikin perempatan siku-siku muncul di kepalanya, bahkan kali ini disertai asap dari kedua telinganya. “ANJRIT SIAH!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD