Air mata Nona masih terus merembes. Ia ingat bagaimana Daffin menciumnya dengan brutal, ia ingat saat wajah dan bibir Daffin berada di lehernya. Bukan hanya itu saja, Daffin juga sudah melihat satu mahkota yang dia simpan rapi dengan lapisan berlapis-lapis. Uuugh… Semua itu membuat bulu kuduknya meremang dan tangisnya pun semakin pecah. Sambil terus berlari meninggalkan koridor hotel, ia mengusap air matanya yang membanjir. Kedua tangannya bertaut saling meremas. Punggungnya disandarkan di dinding koridor. Tatapannya tertuju ke jalan yang diguyur hujan deras. Ditengah keruhnya pikirannya, Nona ingat, akhir-akhir ini ayahnya sibuk memaksanya menikah, namun ia menolak dengan kasar dengan alasan masih terlalu muda untuk menikah. Nona masih ingin hidup bebas.
Masih terekam jelas di kepalanya bagaimana ayahnya membicarakan pernikahan kepadanya, dan salah satu pembicaraan itu pun terkilas balik di ingatannya.
"Kapan nikah?" tanya ayahnya waktu itu.
Nona tidak bisa menjawab.
"Nona, Ayah terpaksa harus menikahkan mu dengan pria pilihan papa jika kamu tidak juga bisa menentukan pilihan. Sebab secepatnya kamu harus menikah," tegas Arman.
Nona hanya membisu menatap ayahnya. Menentukan calon suami tidaklah seperti milih ikan di pasar, yang langsung bisa dibawa pulang saat dipijit dan dagingnya masih terasa kenyal. Bolak balik ditaksir laki-laki tapi tidak ada yang membuat hatinya meleleh. Mayoritas pria yang mendekatinya memang kelas atas, tapi perasaan tidaklah diukur dari materi.
"Kenapa aku harus dipaksa nikah?" Nona geram sekali.
"Kau tidak mengerti. Jangan membantah jika kau tidak mau ayahmu ini menanggung malu. Sejak kau kecil, ayah sudah menjadi ayah sekaligus ibu untukmu, ayah membesarkan mu, mendidik mu, mengerahkan seluruh tenaga untuk membiayai sekolahmu hingga kau kuliah dan kini lulus."
“Aku ingin bekerja, Yah."
"Cari kerja setelah nikah juga bisa."
"Ck ck ck... Apa harus begini untuk menjadi anak yang berbakti? Soal nikah pun harus menurut?"
"Wajib." Arman lebih tegas, urat rahangnya pun mengeras.
Nona menelan dengan sulit. Ya Tuhaaan... Apa dosa-dosa Nona? Nona harus protes pada siapa sekarang? Haruskah dia kawin eh nikah secepat ini?
"Besok, ayah akan mempertemukan mu dengan calon suamimu." Arman berlalu pergi sebelum Nona berhasil menjawab untuk protes.
Memangnya siapa pria yang akan dinikahkan kepadanya? Ayahnya nemu pria dimana? Di usianya yang masih muda, tentu ia belum kepikiran menikah karena harapannya saat ini masih ingin berkarier.
Ingatan itu seketika membuyar bersama petir yang mengguntur dan menjilat ke tanah. Nona menghela nafas. Kejadian yang baru saja menimpanya di kamar hotel membuatnya berubah pikiran.
Ayah… aku memilih untuk menikah saja. Kuturuti kemauanmu. Jika kejadian ini adalah bentuk dari hukuman dan peringatan untukku sebagai anak yang tidak patuh, maka aku akan berbakti. Huuufth… Semoga saja pria yang akan Ayah nikahkan denganku bukanlah kakek-kakek impoten.
***
Nona mengusap-usap leher dan dadanya, di sana terlihat tanda merah yang tertinggal. Sial! Daffin telah membuat tanda itu dengan enaknya. Dan tanda itu tidak bisa dihapus. Nona masih terus mengamati tanda merah yang terpantul di cermin. Ingin rasanya mencungkil tanda itu dan membuangnya, tapi kulitnya bukanlah bungkusan tempe yang bisa dibuka dan dibuang begitu saja.
Kejadian malam itu, tidak bisa Nona lupakan begitu saja. Sentuhan Daffin masih terus membayanginya, terasa seperti masih menempel di kulitnya. Bahkan Nona masih ingat persis bagaimana benda keras itu mengganjal dan mengenai pahanya saat Daffin berada di atasnya. Dan bibir pria itu…. entahlah, tidak perlu lagi dijelaskan bagaimana cumbuan kasar itu menyerangnya.
Uuugh… Andai saja Nona bertemu lagi dengan pria yang katanya CEO itu, mungkin Nona akan meratakan muka pria itu dengan cangkul.
Dan yang membuat Nona merasa muak, sampai detik ini ia tidak bisa menghubungi Intan. Gadis yang dia sebut sahabat itu mendadak ganti nomer ponsel atau bagaimana, jejaknya hilang tanpa bekas. Nona hanya ingin mendengar penjelasan Intan mengenai kejadian di malam itu, namun Intan sekarang sudah menghilang entah kemana. Pagi-pagi buta, Nona tadi mendatangi rumah Intan, namun Intan tak kunjung keluar meski kepalan tangan Nona terasa kapalan akibat mengetuk pintu terlalu lama.
Menurut keterangan tetangga, Intan sudah pindah, dan entah pindah kemana. Hulala… Kapok banget deh temenan sama Intan.
“Nona, kamu ngapain di kamar mandi?” Arman berteriak di luar, tepatnya di depan pintu kamar mandi.
“Makan. Eh maksudnya mandi,” jawab Nona kesal. Si ayah enak banget main suruh nikah.
“Cepat bersiap, pakai baju bagus. Sebentar lagi calon suamimu akan datang.”
“Iya.” Nona malas berdebat. Tidak ada gunanya berdebat atau membantah, toh ujung-ujungnya suara Armanlah yang wajib dipatuhi. Lagi pula, Nona sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menuruti perintah ayahnya. Ya sudah, dia harus nurut.
Nona keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaian. Beberapa menit berlalu, dia masih duduk menyendiri di kamar. Kedua tangannya bertaut dan saling meremas. Ayahnya akan mempertemukannya dengan calon suaminya. Entah kenapa perasaan Nona jadi tidak karuan. Ada rasa cemas, galau, bingung dan gugup berbaur menjadi satu. Pada intinya, Nona belum siap menikah. Apa jadinya jika dia menikah di usia muda? Bahkan dengan pria asing yang tidak dia kenal.
Nona membayangkan hal-hal buruk tentang pernikahan. Dia takut pada mertua kejam, takut ipar yang julid, takut suami tukang selingkuh, dan takut muncul masalah dalam rumah tangganya seperti di sinetron-sinetron. Atau jangan-jangan dia memang sudah menjadi korban sinetron? Makanya pikirannya jadi parno.
***