Tak lama, pintu kamar kembali dibuka dari luar. Arman menyembul masuk. “Ayo, keluar! Calon suamimu sudah datang.”
“Iya.” Nona bangkit berdiri mengikuti ayahnya menuju ke ruang tamu.
Seketika, Nona dibuat membelalak melihat tamu yang datang. Dia mengira akan ada dua puluh atau minimal sepuluh orang yang datang melamarnya, tapi ternyata hanya tiga orang saja.
Ini acara lamaran atau mau ngajakin main kelereng ya? Kok, yang datang hanya tiga orang saja? Nona geleng-geleng kepala. Dia mengamati tiga tamu yang datang. Satu orang lelaki paruh baya, umurnya mungkin lima puluh tahun, hanya saja kelihatan awet muda sehingga di usia lima puluh tahun, wajahnya seperti empat puluh tahun. Satu lagi pria kurus jangkung, giginya agak tonggos, saat tidak sedang berbicara pun, dia terpaksa tetap harus mangap akibat mulut terganjal giginya yang keluar. Jadi teringat bintang film jaman dulu. Dan terakhir, pria berambut lepek yang disisir ke samping, pakai kaca mata, sebentar-bentar bersin, pakaiannya agak lusuh. Sepertinya hanya itulah satu-satunya kemeja yang dia miliki. Dan lagi, pria itu juga garuk sana garuk sini, seperti sudah seminggu tidak mandi. Badannya gatel melulu. Duuuh.. nemu dimana sih orang-orang begituan itu?
Ya ampun, jadi yang mana nih yang harus menjadi suami Nona? Tuuh kan bener, pria yang dinikahkan dengannya nggak beres begini. Kalau tahu begini, Nona tidak akan mungkin menyetujui perintah untuk menikah. Tapi mau bagaimana lagi, andai saja Nona mendadak menolak, pasti ujung-ujungnya akan rame. Bahkan mungkin ayahnya akan benar-benar mengutuknya menjadi jangkrik. Kemudian akan keluar kalimat begini, ‘Dasar anak durhaka, mulai sekarang, kau bukan anakku lagi.’
Duuuh… serem kan?
Perbincangan hangat mulai dibuka oleh lelaki paruh baya yang mengaku bernama Hendrawan.
“Tujuan kedatangan kami kemari seperti yang sudah kami bicarakan kepada Pak Arman sebelumnya, bahwa kami akan melamar putri Bapak,” ucap Hendrawan dengan suara tegas.
Biasanya nama Hendrawan adalah seorang hartawan. Lah ini?
“Ini putra saya, namanya Suhendra.” Hendrawan menunjuk pria yang saat itu sedang garuk-garuk leher. “Dan putra saya inilah yang akan menikahi putri Bapak.”
Noh, jadi si tukang garuk-garuk itulah yang akan menikahiku? Nona terpaksa harus pasrah. Jalani saja. Batinnya berdoa, semoga ada peri muncul dan langsung menyulap si culun yang kerjaannya garuk-garuk itu berubah menjadi pangeran tampan. Oh… doa kok ketinggian. Apa ya mungkin bakal dikabulkan Tuhan? Ngimpi!
“Ini putri saya, namanya Nona Ayesha. Usianya dua puluh dua tahun.” Arman memperkenalkan.
“Senang bertemu dengan keluarga Bapak.”
“Maaf jika kami menyambut Bapak hanya berdua saja. Sebab kedatangan Bapak kemari juga mendadak,” tutur Arman.
“Tidak masalah. Justru kami yang minta maaf karena datang mendadak, bahkan kami datang tanpa membawa apa-apa.” Hendrawan rendah diri.
“Jangan sungkan. Kami tidak mengharapkan apa pun. Saya justru bersyukur putri saya akhirnya dilamar orang.”
“Putri bapak kan masih sangat muda, kenapa cepat-cepat dinikahkan?”
Arman menghela nafas. “Saya ingin melihat putri saya bahagia di pelaminan.”
Kedengarannya itu bukan alasan yang tepat. Tapi Nona hanya diam saja. Lebih baik diam dari pada salah bicara. Pandangannya tertuju ke pria yang menjadi calon suaminya. Astaga, culun banget. Ya Tuhan, mimpi apa dia semalam? Kenapa bisa sampai punya calon suami semengerikan itu?
Nona dan Suehndra bertukar pandang. Jantung Nona seperti mencelos saat matanya beradu dengan mata Suhendra. Rasanya deg-degan. Elah… Kok, jantungnya bis a berkhianat pada tuannya? Bisa-bisanya si jantung berdebar-debar saat pandangan mereka bertemu?
Nona segera mengalihkan perhatian, mendingan menatap dinding. Namun naluri kemanusiaan dalam diri Nona seperti meronta, memerintahnya supaya menjadi manusia berbudi dengan tanpa membenci orang yang memiliki kekurangan.
Perbincangan hangat tercipta diantara dua keluarga tersebut. Tidak banyak yang dibawa oleh keluarga Hendrawan. Dia hanya membawa sebuah amplop cokelat dan sebuah kotak yang tidak tahu entah apa isinya.
Setelah itu, keluarga Hendrawan berpamitan. Namun Suhendra mengaku ingin tinggal sebentar untuk berbicara empat mata dengan Nona. Yang tua-tua pun mengijinkan.
Hendrawan dan pria jangkung pergi menggunakan motor. Sedangkan Suhendra tetap tinggal.
“Suhendra, saya tinggal dulu. Kalian bicaralah sebentar,” Arman berlalu ke belakang, memberi waktu kepada Suhendra untuk bicara dengan putrinya.
Suhendra mengangguk sopan.
Tinggalah Nona dan Suhendra yang bertukar pandang.