“Kamu akan segera bisa melihat Raina, aku yang akan menjamin itu.”
Deg.
Tiba-tiba saja aku teringat tentang perkataan Kak Farah sewaktu aku datang pertama kali bertemu dengannya.
Ternyata semua ucapannya memang benar, dan ucapanku juga benar.
Bahwa jika aku bisa melihat makan akan ada nyawa yang akan pergi.
Ya Allah.
Apa yang harus aku lakukan saat ini?
“Raina? Kamu bisa mendengarku?” Leon melambaikan tangannya tepat di depan wajahku. Kesadaranku yang sempat hilang kini kembali lagi.
Air mataku yang sedari tadi berusaha ku bendung tak dapat ku tahan lagi.
Aku menunduk sembari tergugu, tubuhku menjadi bergetar ketika aku mengingat tentang Kak Farah.
Leon memeluk tubuhku dengan erat sembari membelai punggungku.
Tak bisa ku pungkiri, jika aku begitu merasa semakin bersalah setelah Mengetahui fakta yang sebenarnya.
Jadi ini alasan kenapa setiap kali aku meminta bertemu dengan Kak Farah, Leon selalu mengalihkan pembicaraan kami. Awalnya aku mengira bahwa Kak Farah, membenciku dan tak mau menemuiku lagi
“Sudah nangisnya. Jangan terlalu lama. Coba kamu lihat layar televisi itu!”
Dia segera melepaskan pelukannya dariku, dan segera menghapus air mataku.
“Sudah dong nangisnya. Ada pesan dari Farah yang harus aku sampaikan kepadamu. Eh salah ... Ini sebenarnya pesan yang dia tujukan untuk kita berdua. Melalui sebuah vedeo,” ujarnya.
Ketika vedeo mulai diputar, Leon menepuk lengannya. Aku masih bingung dengan maksudnya. Karena terlalu lama aku meresponnya akhirnya dia menarik kepalaku dan meletakkannya di lengannya, sembari melihat vedeo yang sebentar lagi akan di putarnya.
Nyaman.
Hanya itu yang aku rasakan saat ini.
Sudah lama aku tak memiliki pundak untuk kujadikan sandaran.
“Ini sudah mulai?” tanya seorang wanita yang ada di dalam vedeo itu. Dia tampak tersenyum bahagia dan sangat cantik menurutku. Itukah sosok Kak Farah? Dari suaranya, memang itu adalah miliknya.
“Hai Raina ... Jika kamu melihat vedeo ini, aku bisa menjamin jika kamu sudah bisa melihat. Benar bukan?” ujarnya sembari terkekeh.
Sungguh tidak ada cacat yang aku lihat dari wajah Kak Farah.
Sungguh dia wanita yang teramat sempurna menurutku.
“Raina, terimakasih banyak kamu sudah mau menikah dengan Leon. Lelaki dingin, sedingin kutub utara. Tapi itu dulu. Yah meskipun aku tidak bisa menaklukkan nya. Tapi aku berharap kamu suatu hari nanti bisa ya!” ujarnya yang masih dengan senyuman manisnya.
Sementara Leon yang melihat vedeo itu hanya tersenyum, ketika Kak Farah mengatainya sebagai manusia kitub.
“Raina ... Aku memberikan sepasang mataku untukmu sebagai hadiah untukmu yang telah mau menerima Leon. Kamu harus ingat ya, jangan sekali-kali kamu gunakan mata yang aku berikan untukmu itu, untuk menangisi kesedihan. Aku sama sekali tidak mengizinkannya. Kamu harus menggunakannya untuk melihat keindahan-keindahan dunia. Mungkin keindahan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sebenarnya aku ingin pergi jalan-jalan ke luar negri menikmati keajaiban dunia bersama tuan Leonard Emillio yang terhormat. Yah ... Tapi kenyataannya tuan yang gila bekerja itu tak pernah menganggapku ada hehe. Tapi aku sudah berpesan kepadanya, bahwa dia tak boleh sedikitpun mengacuhkanmu. Pegang saja omonganku, jika itu terjadi aku akan datang sendiri menghukumnya untukmu!” Aku tersenyum melihat cara Kak Farah berbicara, yang begitu menggemaskan itu.
Begitupun dengan Leon. Seolah-oleh dia masih berada di sini di antara kami.
“Kamu juga jangan takut, jika dia suatu hari nanti kehilangan kontrol, perlu kamu tahu emosinya sama sekali tidak stabil. Padahal sih ya keuangannya selalu stabil aja. Entahlah apa yang membuatnya menjadi seperti itu,” ucap kak Farah seolah-oleh dia sedang berpikir.
Sementara Leon hanya menggelengkan kepalanya.
“Raina, aku sengaja memilihmu untuk menjadi pendamping Leon, sebagai pengganti diriku, bukan semata-mata karena tanggung jawabnya, kerena telah membuat kamu buta. Tetapi karena aku merasa begitu yakin. Jika kamu adalah pilihan yang tepat untuk menggantikan posisiku sebagai seorang istri,” ujarnya.
Aku menunduk, merasa bahwa diriku sama sekali tidak pantas untuk Leon.
“Maafkan Aku Raina, aku memaksamu untuk mencintai Leon. Aku mengerti bahwa cinta itu sejatinya tidak bisa dipaksakan. Tapi aku yakin, suatu hari nanti kamu akan mencintai Leon melebihi aku mencintainya.”
Kali ini aku melihat Leon yang tergugu. Entah keberanian dari mana aku membelai lembut dadanya, tujuannya tak lain untuk menenangkan dirinya.
“Untuk kamu Tuan Leonard Emillio, maafkan atas sikapku selama menjadi istrimu. Aku yang banyak sekali menyimpan rahasia selama menikah Denganmu, maafkan aku yang belum bisa memberikan putra untukmu selama kita menikah. Alasannya tak lain karena rahimku sudah diangkat sebelum kita menikah. Maafkan aku telah menyembunyikan kenyataan pahit ini selama kita bersama. Jika kamu ingin marah, silahkan saja. Toh juga aku sudah tidak ada.”
Dia terkekeh sembari menitihkan air matanya.
“Dasar!” ujar Leon sembari tersenyum.
“Kalian harus segera memiliki anak yang banyak ya! Aku ingin melihatnya dari atas sana ketika kalian memiliki seorang putra dan putri yang lucu dan menggemaskan. Bawa dia datang ke makamku ketika dia sudah lahir, aku tunggu ya. Jangan menunda lagi Tuan Leon ingat umurmu sudah tidak muda lagi. Kamu butuh penerus perusahaan!” ucapnya sambil terkekeh kemudia dia melanjutkan ucapannya. “Sudah lama aku menahan rasa sakit, dan serangkaian pengobatan yang begitu menyiksa itu. Maafkan aku telah merahasiakan semua penyakit-penyakit ku darimu. Aku hanya tak ingin dikasihani. Aku ingin membuat kesan yang baik untuk semua orang sebelum aku pergi untuk selama-lamanya. Biarkan aku membawa semua kepedihan dan luka kalian bersamaku. Semoga Allah senentiasa melimpahkan berkah dan kebahagiaan di dalam rumah tangga kalian. Trimakasih Leon, lelaki yang telah menemaniku di saat-saat terakhirku. Aku mencintaimu. Sampai bertemu di surga,” lirihnya yang diakhiri dengan isakan.
Aku sendiri tak kuasa menahan tangis yang sedari tadi aku bendung.
Leon memeluk ku dengan erat. Berusaha menenangkanku tentunya.
“Jangan bersedih, jika kamu menangis Farah juga akan sedih di sana!” bisik Leon di telingaku.
Aku semakin menenggelamkan wajahku di dadaa bidang milik Leon, berharap bisa meredam tangis dan isakanku saat ini.
Namun, hasilnya tetap tidak bisa.
Aku masih merasa jika Tuhan tidak adil, memanggil Kak Farah yang sangat baik lebih dulu.
“Leon, kenapa ... Kenapa semuanya menjadi terasa menyakitkan?” ucapku dengan suara tersengal-sengal.
“Shhutt! Jangan menyalahkan diri sendiri. Semua itu tidak benar. Farah pergi karena kehendak Allah. Sekarang dia pasti sudah tidak merasakan sakit lagi,” jelasnya.
“Sebaiknya kamu tidur, aku akan menemanimu!” ujarnya, sembari mengelus puncak kepalaku.
Tanpa terasa aku mulai terlelap di dalam pelukannya.
.
.
.
Ketika aku membuka mata, rasanya begitu sulit dan berat. Aku merasakan embusan napas teratur dari atas kepalaku. Aku juga merasakan ada sesuatu yang berat melingkar di atas perutku.
Berulang kali aku mengerjabkan mataku agar aku segera tersadar sepenuhnya.
Astaga!
Apakah selama semalam kami tidur dalam posisi seperti ini?
Aduh, rasanya sangat memalukan, jika mengingat aku menangis seperti anak kecil semalam.
Pelan-pelan aku menurunkan tangan kekar yang melingkari perutku.
Namun, bukannya bisa lepas dia malah semakin menarikku ke dalam pelukannya.
Dia kira aku guling kali ya?
Malah sekarang kakinya juga ikutan naik di atas kedua kakiku.
Napasku mulai terasa sesak karena ulah Leon, aku berusaha memberontak tapi begitu terasa sia-sia saat ini.
Aduh gimana cara banguninnya coba?
Ku perhatikan wajahnya yang putih tanpa nooda, dengan dagu yang ditumbuhi bulu-bulu halus tentunya, sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna menurtuku.
Eh ... Apaan sih?
Aku menutup mataku kembali takut jika dia memergokiku menatapnya.
Cup.
“Morning kiss.”
Benda kènyal mendarat tepat di keningku, hal itu mampu membuatku membulatkan mataku dengan sempurna.
“Sudah puas lihatin aku terus hem ...?”
Gawat aku terciduk ternyata.
Aku segera menutup wajahku menggunakan kedua tanganku.