Raina
.
.
.
Setelah aku sadar, ternyata aku kembali terbangun di rumah sakit lagi. Aku melihat Leon tertidur di sampingku. Tak ada niatku untuk membangunkannya.
Aku bangun dengan perlahan tetapi dia malah langsung duduk setelah menyadari aku bagun.
Berkali-kali dia memberondongi ku dengan pertanyaannya.
Tetapi aku tak ingin menjawabnya sama sekali.
Aku masih bingung dengan apa yang aku alami saat ini.
Antara masih tidak percaya dengan yang aku lihat tadi.
‘Farah Azhar’ bukankah itu nama Kak Farah.
Aku sadar dengan apa yang aku lihat tadi. Tapi kenapa?
Mungkinkah?
Dàdàkú mendadak menjadi nyeri ketika memikirkan sesuatu.
Leon kembali memanggil seorang dokter untuk memeriksa kondisiku.
Hey, aku sebenarnya tidak apa-apa.
Setelah selesai dia mengajakku pulang.
Aneh, dia malah membawa ku ke apartemen miliknya. Bukankah seharusnya dia membawaku pulang ke rumahnya.
Jujur aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi selama aku di rumah sakit dan selama aku kabur pada waktu itu.
Ketika dia hendak memasuki kamar mandi.
“Apa kamu tidak berhutang penjelasan kepadaku?” tiba-tiba saja ucapanku meluncur begitu saja.
Dia hanya bergeming.
Wajahnya tiba-tiba mènègàng. Tapi itu hanya sesaat.
Ayolah, aku sudah tidak bisa membendung lagi rasa penasaranku saat ini.
Ada banyak sekali misteri yang disembuyikan olehnya.
“Jangan membuatku menunggu terlalu lama!” cecarku kepadanya.
Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sampingku.
“Penjelasan seperti apa yang kamu mau?” dia menatapku lekat. Netra kami beradu untuk beberapa saat. Aku segera memalingkan wajahku ke arah samping.
Ah ... Ya Tuhan, kenapa jantungku malah berdebar-debar.
Ayolah, kamu bisa meluruskan semua ini Raina.
“Ehem ...?” dia menaikkan sebelah alisnya, seolah meminta penjelasan lebih lanjut kepadaku.
“Jika kamu ingin bertanya tentang Farah, lebih baik kamu mengurungkan niatmu. Aku akan pergi mandi karena badanku sudah terlalu lengket, dengan aktivitas ku seharian!” jelasnya.
Ya Tuhan, padahal aku sama sekali belom menjawabnya.
Tapi dia malah sudah memberondongiku dengan penjelasannya.
“Terserah!” aku beranjak menuju kamar mandi, meninggalkannya yang masih duduk di pinggir kasur tentunya.
“Loh ... Raina?” jelas dia nampak bingung dengan kelakuanku.
Jelas saja dia yang mau mandi tapi aku yang pergi mandi terlebih dahulu.
Aku memutuskan untuk berandam di dalam bath up. Aku menikmati aroma dari sabun sembari memejamkan kedua mataku.
Nyaman.
Tok!
Tok!
“Raina ... Raina buka pintunya!”
Tok!
Tok!
Tok!
Kali ini ketukan pintunya semakin nyaring.
“Raina!” teriakan Leon dari luar membangunkanku.
Tak terasa aku malah tertidur di dalam bath up.
Pasti dia sudah berpikir yang tidak-tidak, tentangku.
“Dalam hitungan ke tiga kamu tidak membuka pintunya, aku akan mendobrak pintu kamar mandi ini!” mendengar ucapannya aku segera bangkit meraih bath drobe yang ada di dekatku, lalu segera memakainya.
Aku berlari membuka pintu kamar mandi dengan lebar, namun ternyata Leon sudah ancang-ancang hendak mendobrak pintunya.
Gubrak!
Tak bisa ku hindari lagi, badan leon yang begitu besar menimpaku.
”Auh ... Sakiiiit,” erangku.
Aku meringis menahan beban yang begitu berat.
Beneran deh ini sakit banget, ini authornya ada dendam apaan sih sama aku?
Leon segera bangkit dan berpindah dari tubuhku.
Namun, aku malah masih pada posisi yang saya. Kupejamkan mataku rapat-rapat, menahan rasa sakit di bagian pàntát tentunya. Aku menatap dia berharap dia akan membantuku.
“Maaf, aku tidak sengaja.”
Bukannya menolong dia malah menampilkan senyum pepsodent miliknya.
Elah, ini punya laki satu aja nggak peka banget ya Allah. Aku meratapi nasib burukku saat ini.
Dengan sedikit ancang-ancang Leon mengangkatku menuju tempat tidur.
Setelah meletakkanku dia malah pergi masuk ke dalam kamar mandi dan menghilang di balik pintu.
Sabar Raina. Sabar.
.
.
.
Hingga malam tiba aku sama sekali tidak menanyakan masalah apapun kepadanya. Jujur aku memang sangat penasaran, tapi untuk sementara waktu, aku mengurungkan niatku.
Mungkin hingga rasa penasaranku muncul kembali. Yah entah itu kapan.
“Di sini nggak ada bahan makanan sama sekali.”
Aku kaget ketika mendengar ucapannya. “Kamu mau makan di luar atau di rumah?” imbuhnya.
“Heem ... Di rumah aja. Aku nggak pengen keluar,” jawabku singkat.
“Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan,” ujarnya.
“Terserah saja.”
Aku bahkan tak memiliki nàfsù makan sama sekali.
Leon segera memainkan benda pipih yang berada di genggamannya saat ini.
Ternyata rasanya canggung banget, menikah tanpa atas dasar cinta dan tanpa mengenal pasangan sama sekali.
Rasanya itu, susah digambarkan sih. Mungkin karna aku belum mengenal dan memahami karakternya kali ya?
Ngomong-ngomong soal cinta nih ya, sepertinya lebih baik jika dicintai daripada aku mencintai dan banyak berkorban tapi ujungnya tetep ditinggalkan.
Stop mikirin orang yang udah nggak memikirkanmu Raina.
Masa lalu itu cukup untuk di kenang. Karena kita hidup untuk masa depan bukan masa lalu.
Bel apartemen berbunyi.
Leon segera membuka pintu nya, aku yakin jika itu adalah makanan yang baru saja di pesan olehnya.
Aku segera berjalan menuju dapur mencari alat makan.
Tapi alih-alih mendapatkan apa yang aku mau, aku justru sama sekali tidak menemukan apapun di sini.
Ku buka satu per satu lemari yang ada.
“Cari apa?” suara bariton Leon saat ini begitu mengagetkanku.
“Astaga!”
Ini orang kalo muncul bisa nggak sih bersuara dulu.
Udah kayak roh halus aja lama-lama. Datang tanpa diundang pulang nya entah kapan.
Aku segera berdiri, “Cari piring dan kawan-kawannya,” jawabku singkat.
“Oh, kalo itu ada di sini.”
Dia mendorongku lalu mengambil piring yang letaknya di luar nalarku. Bagaimana tidak piring untuk makan malah di taruh di dalam lemari yang paling atas.
Bayangkan, aku yang hanya memiliki tinggi semampai ini. Tak akan pernah bisa menjangkau piring-piring itu.
Aku mendengus kesal ketika mengetahui keberadaan piring itu.
Aku segera menyiapkan makanan untuk kami, dia juga membantu sih.
Setelah siap dengan semuanya kami makan tanpa ada percakapan sama sekali.
Setelah selesai aku segera mencuci semua piring bekas kami makan.
Setelah selesai, aku tak melihat keberadaan Leon saat ini. Entahlah di mana dia menghilang.
Aku segera memasuki kamar lalu bersiap untuk tidur tentunya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dia langsung menyusulku masuk ke dalam selimut.
Sungguh perasaanku menjadi tidak nyaman sama sekali.
Bagaimana jika dia meminta haknya malam ini.
Aku tiba-tiba teringat tentang siapakah sosok yang menjadi pendonor mata untukku.
Tak salah kan jika aku penasaran.
“Bolehkan aku bertanya?” dia langsung menghentikan kegiatannya saat ini, lalu menatapku.
Bisakah dia tak menatapku dengan tatapannya itu saat ini. Sungguh itu membuat kesehatan jantungku terganggu.
Aku tahu kalo dia tampan, tapi nggak gitu juga dong cara natapnya.
Aku sampai menahan napasku saat ini.
Tapi aku tetap berusaha agar tidak kelihatan jika aku merasa sangat canggung, bukan.
“Apa katakanlah?” ujarnya.
“Bolehkah aku tahu, siapakah yang mendonorkan matanya untukku?” tanyaku dengan sedikit berhati-hati.
Mungin dia tidak akan pernah menjawab pertanyaan-peryanyaanku bukan.
Tapi setidaknya aku berusaha untuk mencari tahu darinya langsung. Daripada aku tahu dari orang lain.
“Aku akan menjawabnya, tapi kamu harus berjanji, tidak akan marah, syok atau apapunlah!” ujarnya, dengan sorot mata yang terlihat serius.
Tunggu!
Apa maksud dari semua ucapannya?
Sebaiknya aku mengatakan iya, daripada dia tidak mau bercerita sama sekali.
“Iya, aku tidak janji,” lirihku.
“Seharusnya aku janji, bukan nya tidak janji,” lurusnya.
“Hem ... iya aku janji.”
Terpaksa aku harus mengucapkan kata ajaib itu, agar dia mau menjawab pertanyaan ku tentunya.
“Sini!” dia menepuk tempat tidur yang berada tepat di sampingya.
Aku hanya menuruti perkataannya, lalu segera mendekatinya.
Dia menyalakan tv yang berada tepat di hadapan kami.
Dia meraih jemariku sembari menunggu layar televisi itu menyala.
“Raina, maafkan atas ketidak jujuranku dari awal kita menikah. Aku tidak memberitahukan statusku yang sebenarnya, bahwa ternyata aku sudah memiliki seorang istri. Sejujurnya bukan maksud hatiku ingin merahasiakan semuanya kepadamu. Aku menikahimu juga atas persetujuan Farah, tentunya. Karna banyak pertimbangan yang harus aku ambil ketika aku akan menikah lagi. Dari reputasi perusahaan yang aku pegang serta perasaan Farah yang harus aku jaga.”
Aku hanya menyimak setiap ucapannya kali ini.
Oke aku cukup mengerti dari setiap alasan yang dia berikan.
“Kamu tahu, aku menikah dengan Farah juga hampir sama seperti aku menikahimu. Menikah karena paksaan atau perjodohan. Bedanya aku menikahi Farah karena dijodohkan orang tua sementara kita menikah karena Farah yang menjodohkan, kamu pasti bingung dengan pikiran Farah bukan? Sama aku juga bingung pada awalnya. Biar aku jelaskan perlahan-lahan agar kamu tidak salah faham lagi. Aku sejujurnya memiki trauma di masa lalu di mana aku ditinggalkan pergi untuk selama-lamanya oleh cinta pertamaku menghadap sang kuasa dan pergi untuk selama-lamanya. Dari situ aku merasa jika aku tidak boleh berharap kepada manusia. Karna ketika Tuhan sudah berkehendak lain, semua rencana yang kita susun degan rapi dan baik, bisa saja akan berubah dalam waktu yang sangat singkat. Seperti ketika aku akan menikahi Selin tetapi dia pergi meninggalkanku terlebih dahulu. Itu adalah kisah hidupku di awal. Selanjutnya aku akan menceritakan diriku dan Farah. kamu ada pertanyaan?” tanyanya di akhir kalimatnya.
“Tidak, lanjutkan lah!” sahutkuku.
“Seperti yang aku katakan tadi, kami menikah karena sebuah perjodohan. Pernikahan kami sudah berlangsung cukup lama sekitar lima tahunan, akan tetapi selama kami menikah kami belum di berikan momongan. Itulah alasan Farah menyuruh ku untuk menikahimu. Awalnya aku menolak. Tapi Farah berhasil meyakinkan ku, agar aku mau menikah denganmu. Maaf karena aku menikahimu bukan karena cinta. setidaknya aku akan berusaha mencintaimu untuk kedepannya,” ujarnya, dengan mimik serius. Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin.
Entahlah, setelah aku mendengar ucapannya di akhir kenapa aku merasa ada glenyeran aneh yang membuat dàdàkù menjadi sedikit tarasa nyeri.
Lagian jika memang aku bukan istri satu-satunya aku jelas harus berbagi dengan Kak Farah bukan, dan tentu saja aku tidak boleh egois.
“Maafkan aku selama ini aku selalu berpikir negatif terhadapmu. Tanpa mau mendengar sedikitpun penjelasan darimu,” sesalku.
Jujur saja, sebenarnya aku sama sekali tidak berharap menjadi istri ke dua. Karna menurutku aku masih bisa mencari suami tanpa harus mengusik kehidupan rumah tangga orang lain tentunya.
Ah ... Seandainya aku bisa mengutarakannya kali ini.
Pastinya hatiku akan menjadi lebih tenang dan nyaman bukan.
“Kamu tidak perlu meminta maaf, karena pada dasarnya kesalahan memang sudah berada di tanganku.”
“Untuk makam yang aku lihat tadi pagi, apakah itu bukan mimpi?” aku kembali memperjelas apa yang menurutku harus aku ketahui.
Harapanku saat ini dia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.
“Untuk makan itu ... Maafkan aku Raina. Itu memang makam Farah, dia sudah meninggal sekitar hampir satu bulan yang lalu tepat setalah kamu berhasil melakukan operasi pemindahan mata!”
Deg.
“Tunggu, jangan bilang?” aku mendadak linglung.
Pikiranku mendadak menjadi kacau, mungkinkah ini adalah mata ...
Aku menutup mulutku yang masih menganga menggunakan kedua tanganku.
Leon memegangi kedua pundakku. Kemudian dia menatapku dengan lekat, tangannya berpindah menangkup kedua pipiku saat ini. “You okey? Kamu masih sanggup mendengar ceritaku?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. Aku berusaha menahan air mata yang sudah mengembang di pelupuk mataku agar tidak terjatuh.
“Kamu benar, Farahlah yang telah mendonorkan matanya untukmu,” ujarnya.
Seketika itu juga aku menjadi lemas.
Napasku mendadak menjadi tercekat.
Bahkan aku tak bisa mengucapkan satu katapun saat ini.
Di dalam dàdàkù mendadak seperti ada batu yang mengganjal.
Sesak dan Sakit.