Suasana ruang makan pagi ini terasa seperti biasanya. Morgan sarapan dengan santai dan begitu menikmati masakan Betty yang memang sudah tidak perlu diragukan lagi bagaimana rasanya.
Meskipun Morgan nampak sangat tenang, pria itu nyatanya diam-diam sedang mencari-cari di mana keberadaan Anne. Biasanya, wanita itu membantu Betty untuk menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini justru tidak terlihat sama sekali.
Betty yang melihat gerak-gerik Morgan sontak berpikir jika pria itu membutuhkan sesuatu. Karena itulah, dia sedikit lebih mendekat ke arah pria itu.
"Tuan, ada yang bisa saya bantu? Anda membutuhkan sesuatu?"
Morgan sedikit mendongak dan menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari pelayannya tersebut. Karena tidak mungkin juga dia meminta Betty memanggil Anneliese untuk menghadapnya sekarang. Sebab interaksinya dengan wanita itu tidak boleh terlalu mencolok.
Pria itu bangkit dari duduknya setelah sarapannya habis. Lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut dan buru-buru masuk ke ruang kerjanya.
Meskipun hari ini dia sedang tidak ke kantor, bukan berarti tidak ada pekerjaan sama sekali. Morgan justru sedang sibuk-sibuknya sekarang.
Sebelum menyentuh laptopnya dan fokus dengan pekerjaannya, pria itu lebih dulu mengirim pesan pada Anneliese untuk ke ruang kerjanya. Bahkan pria itu juga memerinta Anne untuk membuatkannya kopi hitam.
Setelahnya, barulah pria itu berkutat dengan laptop dan beberapa berkas yang sudah ditandai oleh sekretarisnya.
Walau berada di rumah, Morgan selalu tampil begitu rapi, meskipun hanya mengenakan kaos polos berwarna putih. Lalu dipadukan dengan celana bahan berwarna abu-abu.
Pria itu benar-benar terlihat begitu kekar jika hanya mengenakan kaos polos seperti ini. Otot-ototnya jadi tercetak begitu jelas. Bahkan bagian dadaa pria itu nampak begitu kokoh dan cocok untuk dijadikan sandaran. Tubuhnya terlihat begitu pelukable sekali.
Selain itu, kacamata bening yang bertengger di hidung mancungnya, terlihat begitu cocok untuk Morgan. Padahal, ini kacamata bukan digunakan untuk bergaya. Melainkan untuk membantu agar lebih jelas lagi dalam membaca berkas-berkas pekerjaannya.
"Masuk!" serunya saat mendengar suara ketukan pintu yang cukup pelan. Morgan yakin, jika yang datang saat ini adalah Anneliese.
Dugaan pria itu memang benar, tatkala pelayannya itu masuk dan langsung mendekat ke arahnya. Menghidangkan kopi hitam panas sesuai dengan keinginannya.
"Silahkan, Tuan Morgan."
Pria itu lantas mengangguk dan Anneliese justru langsung berpamitan untuk kembali ke dapur. Tapi tentu saja, Morgan tak mengizinkan Anne untuk keluar dari ruangannya saat ini.
"Tunggu dulu,"
"Ya, Tuan. Ada apa? Ada yang ingin Anda bicarakan?"
"Ya. Nanti pukul 8 malam, kau harus pergi denganku ke acara ulang tahun rekan kerjaku. Aku yakin, jika nanti malam, mantan istriku itu pasti akan datang."
Anneliese terdiam sejenak saat pria itu baru saja selesai bicara. Dia lantas menganggukkan kepalanya sebagai jawaban pada pria itu. Karena dia pun tidak bisa menolak perintah Morgan.
Keterikatannya dengan Morgan akibat guci itu, membuatnya harus mengikuti semua rencana Morgan untuk membuat mantan istrinya menyesal.
Sebenarnya, Anne tidak yakin bisa berakting dengan baik nantinya saat berada di depan Elara. Namun, Anne akan mencobanya. Dia tidak mau mengecewakan Morgan lagi. Sebab sebelumnya, dia merasa masih sedikit canggung saat di hadapan teman-teman semasa kuliah Morgan kemarin.
"Aku ingin kau tampil cantik malam ini, Anne. Jadi, nanti pergilah bersama Leo ke apartemen pribadiku. Di sana, aku sudah menyiapkan dress yang akan kau kenakan nanti malam. Selain itu, di sana lebih aman. Tidak akan ada yang tahu jika nanti kau pergi bersamaku."
Wanita itu mengangguk dan menyahut, "baik, Tuan Morgan."
"Aku ingin, kau mulai membiasakan diri untuk memanggilku hanya dengan nama saja, Anne. Panggil Morgan atau kau bisa memanggilku dengan panggilan yang lebih mesra seperti sayang atau yang lainnya."
Ucapan Morgan tentu saja membuat Anne langsung mengangkat kepalanya. Melemparkan seluruh atensinya pada pria itu, hingga tatapan keduanya bertemu.
Sementara itu, Morgan yang sadar jika ucapannya membuat Anne langsung menatapnya seperti itu langsung buru-buru mengulangi ucapannya.
"Maksudku, kau bisa memanggil nama saja di saat kita berdua. Itu bagus agar kau tidak canggung lagi saat berada di hadapan teman-temanku seperti kemarin. Kau paham maksudku?"
"Ya, saya paham Tuan. Tapi, bukankah tidak sopan jika saya memanggil Anda dengan sebutan nama saja? Maaf tapi, sejujurnya saya merasa tidak nyaman untuk mengatakannya."
"Kau tidak nyaman karena masih menganggapku sebagai tuanmu. Harusnya, kau tidak perlu memperdulikan itu dan mulai anggap saja jika aku benar-benar kekasihmu. Dengan begitu, kau tidak akan merasa canggung, tidak nyaman dan lain-lain saat berdekatan atau pun memanggilku hanya dengan menggunakan nama saja."
"Tapi Tuan Morgan, saya—"
"Aku tidak terima kata tapi, Anne." potongnya dan Anneliese sontak mengatupkan bibirnya.
"Mulai sekarang, panggil nama saja."
"Baik, Tuan—maksud saya, Morgan." jawabnya sembari sedikit menundukkan kepalanya.
Mendengar itu, lantas sudut bibir Morgan tertarik ke atas. Membuat sebuah lengkungan indah, namun hanya setipis benang saja.
+++
Anneliese berjalan cepat menuju kamarnya setelah meminta izin pada sang kepala pelayan jika sore nanti dia harus pergi. Dia melakukan itu atas perintah dari Morgan. Pria itu yang mengajarinya untuk meminta izin pada Betty agar tak ada yang mencurigai wanita itu jika nantinya tak terlihat sampai malam hari.
Sebelum benar-benar sampai di kamarnya, Anneliese mendadak berhenti di sebuah gudang penyimpanan barang-barang tak terpakai. Wanita itu mendengar suara-suara aneh dari dalam gudang.
Karena rasa penasarannya yang begitu tinggi, Anneliese memilih untuk lebih fokus lagi saat mendengarkan suara-suara aneh yang muncul. Semakin di dengarkan, semakin jelas saja suaranya.
"Siapa yang melakukannya siang-siang begini?"
Anne lantas nekat untuk mengintip melalui celah jendela di samping bangunan tersebut. Wanita itu bahkan mencari sesuatu yang bisa dia gunakan sebagai pijakan agar lebih tinggi. Meskipun Anne harus berjinjit, tapi setidaknya sedikit membantunya untuk mengintip pada celah jendela tersebut.
Awalnya Anne tak menangkap apa pun selain barang-barang yang tak terpakai di dalam sana. Namun, matanya langsung melotot saat menangkap seorang wanita tengah bergerak liar di pangkuan seorang pria yang terduduk di lantai.
Posisinya memang berada di sudut ruangan yang sebenarnya tak terlihat karena berada tepat di sisi di mana Anne sedang mengintip saat ini.
"Alle?" gumamnya terkejut lalu buru-buru turun, karena tak mau melihatnya terlalu jauh.
Anneliese tidak menyangka jika suara desahan dan lenguhan seseorang adalah suara Allegra. Salah satu pelayan yang dekat dengannya.
Dia kira, Allegra tidak seperti itu, tapi ternyata dia salah besar. Allegra benar-benar suhu karena sudah melakukan hal itu dengan berani di gudang.
Anneliese semakin mempercepat langkahnya untuk menuju kamar. Sesampainya di kamar, dia langsung duduk sambil terus memikirkan kejadian barusan yang dia lihat.
"Aku benar-benar tidak menyangka jika suara desahan yang aku dengar ternyata adalah suara Allegra. Tapi, siapa pria itu? Siapa yang bermain dengannya?"
Anne sama sekali tidak melihat rupa pria yang bermain dengan Allegra. Karena itulah, dia begitu penasaran. Ternyata, gosip-gosip di kalangan para pelayan itu benar adanya. Jika di sini banyak sekali rahasia di antara para pelayan dan karyawan lainnya yang bekerja di rumah ini.
Salah satunya gosip tentang saling memuaskan dan dipuaskan. Awalnya Anne sama sekali tak percaya dengan hal tersebut. Karena tak mungkin sekali jika para pekerja sampai begituan.
"Astaga! Mataku benar-benar ternoda. Alle, aku salah sudah menilai mu. Ternyata kau benar-benar tidak sepolos itu."
Anne meremat pinggiran kasurnya, saat suara desahan Allegra yang dia dengar tadi kembali terngiang-ngiang di telinganya. Ada sesuatu yang seolah menariknya sekarang. Dan Anne tiba-tiba merasa resah.
Sial! Tidak mungkin kan jika saat ini dia sedang terangsang juga?
+++
Anneliese berjalan mengikuti langkah demi langkah Leo si asisten pribadi Morgan yang ada di depannya. Sesuai dengan apa yang Morgan katakan tadi pagi, jika sore ini dia harus pergi bersama Leo ke apartemen pribadi Morgan.
Anne tidak menyangka sama sekali akan masuk ke dalam gedung yang begitu tinggi dan megah ini. Yang di dalamnya terdapat banyak unit apartemen mewah.
Wanita itu tidak bodoh jika soal beginian. Dia tahu jika unit apartemen di gedung tersebut bukanlah apartemen biasa. Semua unitnya terkenal sangat mahal karena benar-benar elite.
Semua terbukti saat Anne sudah masuk ke dalam unit apartemen milik Morgan. Kedua matanya tak berhenti memindai segala penjuru ruangan yang ada di dalamnya. Tampak bersih, luas, mewah, dan tentunya wangi.
"Kau duduk saja dulu di sana." seru Leo sembari menunjuk pada kursi sofa. Lantas Anne langsung mendudukkan dirinya sesuai perintah.
"Sebentar lagi kau akan di rias. Sebelum itu, kau bisa bersantai sebentar selagi menunggu orang-orang itu sampai." lanjutnya dan Anne mengerutkan keningnya.
"Orang-orang siapa?"
"Orang yang kemarin merias wajahmu. Tuan Morgan suka makeup wajahmu yang kemarin, jadi dia kembali menghubungi orang itu untuk merias mu."
Anne hanya mengangguk mengerti tanpa menyahut sama sekali. Keadaan menjadi hening kembali. Sebab Anne tidak terbiasa juga mengobrol dengan Leo. Mereka berdua memang pernah saling bicara, tapi tidak sesering itu sampai akrab seperti pelayan lainnya.
Wanita itu diam-diam melirik ke arah Leo yang duduk tenang di ujung sofa. Lalu tak berapa lama, pria itu ternyata memergokinya yang sedang meliriknya secara diam-diam.
"Kenapa? Kau butuh sesuatu?" tanya pria itu dan Anne menggeleng.
"Katakan saja jika ingin mengatakan sesuatu padaku, Anne. Tidak perlu sungkan. Apa yang kau pikirkan?" lanjutnya dan Anne tertegun sebentar.
Dia kira, Leo yang jarang bicara itu begitu dingin. Tapi ternyata tidak juga saat sedang mengobrol dengannya saat ini.
"Bukan memikirkan sesuatu yang penting, tapi aku sedikit penasaran saja."
"Penasaran mengenai apa?"
"Penasaran mengapa kau tidak berkomentar apa pun padaku saat mengetahui jika aku menjadi kekasih pura-puranya Tuan Morgan."
"Memangnya apa yang harus dikomentari? Lagi pula, kau hanya melakukan tugasmu saja kan? Sama seperti aku yang melakukan tugasku sesuai dengan perintah Tuan Morgan."
"Tapi ini sedikit berbeda. Aku—"
"Sebentar. Sepertinya mereka sudah datang." sela Leo yang mana membuat Anne langsung terdiam.
Pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan cepat untuk membuka pintu. Dugaannya benar, jika yang datang adalah makeup artist yang akan merias Anne untuk acara malam nanti.
Leo mengantarnya ke dalam dan memintanya untuk langsung merias Anne. Karena dia tak mau jika nantinya Morgan datang wanita itu belum selesai bersiap. Leo sangat tahu bagaimana Morgan yang tak pernah suka menunggu sesuatu terlalu lama. Jadi sebisa mungkin saat Morgan datang, Anneliese sudah selesai bersiap.
Detik mulai berganti menit, lalu menit berganti jam. Butuh waktu yang lumayan lama hanya untuk merias wajah Anneliese sekaligus berganti pakaian.
Anne tak henti-hentinya mendapatkan pujian dari sang makeup artist yang merias wajahnya. Anneliese dipuji karena memiliki wajah yang cantik. Bahkan tanpa dipoles sedikit pun, wanita itu terlihat begitu cantik. Bahkan tubuhnya yang seksi juga turut dipuji.
Hingga tiba saat Morgan datang, Anne yang semula tersenyum karena terus dipuji mendadak langsung terdiam. Senyumannya mendadak menghilang entah ke mana saat ini. Dia hanya bisa menunduk saat Morgan menatapnya begitu intens. Apalagi saat ini semua orang sudah keluar dari kamar tersebut.
Tinggal hanya dia dan Morgan saja yang berada di dalam. Sampai akhirnya Morgan menutup pintu kamar tersebut, Anne baru mengangkat kepalanya dan tak disangka tatapannya bertemu dengan mata tajam seorang Morgan Roderick Veit.
"Tuan—"
"Kau memanggilku begitu lagi? Sengaja atau memang lupa?"
"Tuan—ah, maksud saya Morgan, kenapa pintunya harus ditutup? Bukankah kita harus berangkat sekarang?"
Anne semakin gugup saat Morgan justru berjalan ke arahnya dengan gerakan yang super pelan. Lalu secara refleks wanita itu mundur saat tangan Morgan terulur untuk menyisipkan anakan rambutnya yang sedikit menganggu.
"Maaf, saya hanya—"
"Tidak masalah, jangan terlalu dipikirkan. Aku juga tidak berniat untuk melakukannya. Sekarang, aku hanya ingin memberitahumu sebelum kita berangkat. Bahwa nanti di sana, mantan istriku benar-benar akan datang bersama calonnya."
"Oh, pria yang waktu itu?" tanya Anne dan Morgan menganggukkan kepalanya.
"Apa yang harus saya lakukan nanti?" lanjut Anne bertanya. Lalu dia meremat ujung dress-nya sendiri saat sadar bahwa pertanyaannya benar-benar terlalu bodoh. Tentu saja dia harus bertingkah lebih mesra pada Morgan, bahkan lebih mesra dari yang sebelumnya.
"Kau ikuti saja semua permainan yang aku mulai. Tapi jangan pernah sungkan jika ingin melakukan hal lebih nantinya. Aku tak mau melihatmu canggung seperti saat ini apalagi kemarin-kemarin."
"Saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Aku tidak butuh ucapanmu, Anne. Aku hanya butuh aksimu. Kau pernah menonton film romansa?" tanyanya dan Anne mengangguk.
"Anggap saja jika kita nanti tidak sedang berpura-pura. Anggap jika kita berdua benar-benar sepasang kekasih sungguhan dan aku yakin kau tak akan merasa canggung sama sekali nantinya. Apa kau paham?"
"Ya, Morgan." jawabnya dengan tegas dan Morgan mengulurkan tangannya.
Awalnya Anne hanya menatap tangan pria itu, tapi akhirnya dia menerima uluran tangan Morgan. Meskipun ini bukan pertama kali tangannya digenggam oleh pria itu, tapi yang kali ini cukup membuat jantungnya sedikit tidak aman.