Gagal Lagi

3001 Words
Aisha menyetir mobil. Tumben memang ia pulang agak cepat sedikit. Apakah siang? Gak juga sih. Hahaha. Ia baru pulang usai ashar. Tapi dibandingkan dengan biasanya, ia lebih cepat sih. Makanya kini sudah tiba di rumah. Tentu saja tak ada siapapun. Karena anak-anaknya pasti di rumah oma eeeh masa iya? Ia tak memerhatikan sih tadi di taman dan lapangan ketika lewat. Biasanya kan anak kembarnya ya bermain di sana. Ia pergi mandi dulu. Ya lebih baik mandi sebelum emosi menyuruh anak kembarnya pulang. Hahaha. Selesai mandi, ia menelepon maminya. Tentu bertanya dulu keberadaan anak-anaknya. Lantas di mana kah mereka? "Oiii, Daaan! Gawangnya di sono!" Ia nyengir lantas membalik badan sembari menggiring bola. Walau tak lama ya direbut musuh. Disaat Ardan bermain bola ya Dina di mana? Baru keluar dari masjid. Belajar mengaji setelah digiring opanya. Hahahaha. Sialnya, ia sendirian di rumah opa tadi. Farras dan saudara kembarnya kan malah di pesantren. Ia diceramahi opa sendirian tadi gara-gara Ardan sudah kabur sejak siang entah ke mana. Tapi ohooo, ia akan berbuat sesuatu. Hahahaha. Ia pulang dulu ke rumah opa untuk menaruh mukena. Begitu selesai, buru-buru terbirit-b***t kabur sebelum dipanggil oma. Hahahaha. Lalu berlari menuju lapangan bola yang ada di belakang masjid yang tentu saja tersambung ke taman. "Dina mana, pi?" Tentu saja omanya bertanya. Tadi kan Aisha menelepon tuh. Begitu mendengar kalau Dina dibawa opa mengaji di masjid, Aisha menyebut.... "Alhamdulillah...." Begitu oma bilang kalau Ardan sudah menghilang sejak siang dan tak tahu main di mana, Aisha menyebut..... "Astagfirullah....." Hahahahaha. Lalu kini? "Tadi baru naik ke atas." Opa juga bingung. Dipanggil-panggil tak ada sahutan yaa sudah lah. Tentu saja oma sudah hapal ke mana hilangnya. Hahaaha. Ia geleng-geleng kepala. Padahal Aisha menitip pesan pada maminya untuk menyuruh duo sableng itu pulang ke rumah. "Paling juga main sebentar. Nanti pasti pulang." Ya kalau tak pulang ke rumah oma, artinya langsung pulang ke rumah. Dan kini Dina akhirnya sampai di lapangan bola. Gadis itu berkacak pinggang. Ia melihat sepeda Ardan yang terbaring di pinggir lapangan. Orangnya? Tentu saja sedang berlari mengejar bola. Mana gak pakai baju. Ardan.....Ardaaaaaan....... "ARDAAAAAAAAAAN MAMA SURUH PULANG!" Sebenarnya sih niatannya untuk membohongi Ardan. Hahaha. Tapi pada kenyataannya, mamanya memang sudah benar-benar pulang. Dan suara yang melengking memanggil Ardan itu tentu saja sampai ke telinga Aisyah. Bukan mamanya tapi istrinya ustad Marshall. Perempuan itu tertawa. Kenapa ia tertawa? Karena suara mama mereka ketika menyuruh mereka pulang ya sama seperti teriakan Dina barusan. "Kalau gak bikin berisik, gak afdol itu berdua," tukas Marshall. Ia terhibur sebetulnya dengan keberisikan para cucu opa Adhi. Hahaha. Sayangnya memang tak lengkap karena Ferril tak ada. Kalau ada, pasti lebih berisik lagi. Belum ditambah Rain, Farras, dan Tiara. Tapi Tiara sudah jarang sih bersama mereka. Ya namanya juga anak kuliahan. Hahaha. Ya gaya sedikit lah. Hahaha. "GAK BOLEH BOHOOONG LUUU! BOHONG DOSA TAUUUK!" Tentu saja, ia tak akan percaya. Hahaha. Tanpa tahu kalau omanya sudah menelepon kembali mamanya dan mengabarkan kalau anak kembarnya mungkin bermain di lapangan. Ya awalnya sih Aisha santai yah. Tapi begitu selesai mengambil makanan yang ia pesan online untuk makan malam ini, ia akhirnya keluar. Ini kan sudah jam lima lewat. Mau main sampai kapan mereka? "Mama belum bakal pulang tauk!" Kan biasanya Aisha pulang mepet magrib atau ya sekalian magrib dulu di rumah sakit. Biasanya papanya yang sampai di rumah lebih dulu. Tapi pasti akan berhenti di dekat lapangan untuk menjemput mereka. Namun Wira ada acara makan malam dengan klien malam nanti. Jadi ya tak pulang ke rumah. Ia langsung bersiap dari kantornya. Sementara itu, Ardan dan Dina masih berdebat. Yang satu masih berkacak pinggang di pinggir lapangan. Yang satu lagi masih bermain bola. "Iish! Mama udah pulang!" "Ya udah pulang sana!" Ia malah mengusir. Hahaha. Kan bukan itu yang Dina mau. Masalahnya ia tak bawa sepeda. Kan memang nebeng sepeda Ardan. Bahkan tadi pergi dan pulang sekolah begitu kok. Burung Ardan juga kejepit tadi saat mereka pulang sekolah. Hahahaha. Ada yang ingat scene ini? "Iish. Ya udah!" Ia hendak mengambil sepedanya tapi tentu saja diteriaki Ardan. Hahaha. "Eeeh jalan kaki soonooo! Enak aja lu bawa-bawa sepeda gue!" Tentu saja Dina mencebik. Hahaha. Ia sebal karena Ardan bisa bermain sementara ia tak punya teman. Hahaha. Ya kan Farras tak ada. Biasanya kan Farras tuh. Rain? Kalau hari biasa begini sih jarang ke sini. Paling ya sabtu sama minggu. Jumat deh paling cepat. "AWAAAS YAAA LOOO! GUE LAPORIN KE MAMA!" Ia mengancam. Yang diancam ya sebodo amat. Hahaha. Tak perduli. Dina mencak-mencak. Bagaimana ia bisa memancingnya coba? Ia dongkol sekali. Membodohi Ardan rasanya malah sudah tak mempan. "Besok jadi ke LSM Wirdan lagi?" Itu bukan Aisha. Tentu saja Marshall. Sore begini kan persiapan ke masjid. Ia hendak menyiapkan banyak hal untuk orang solat magrib di sana. "Insya Allah. Gak bisa nganter ya?" "Ya. Ada pertemuan. Gak enak aku. Kamu bawa aja motornya. Aku bisa pakai sepeda. Toh deket." Ia tersenyum kecil. Tentu saja senang dengan pasangan hidup yang begini. Memang ada pelangi juga untuknya. Ia masih tersenyum hingga saat melihat Aisha berjalan cepat di seberang jalan sana. Pasti mau menyusul dua anaknya di lapangan kan? Belum apa-apa, ia sudah terkekeh. Meski tahu ya Aisha pernah ada hubungan dengan suaminya, ia tak sekalipun cemburu. Ya ia kan tahu bagaimana isi hati Aisha. Tak perlu dijabarkan lebih detil juga. "Abang lihat deh itu," ia menunjuk Aisha. Marshall ikut terkekeh. "Mau ku hitung gak?" Keduanya tertawa. Maksud Marshall adalah waktu yang tepat untuk Aisha berteriak. Maka...... "Tiga......dua.........satu...." "ARDAAAAAAAAAN! DINAAAAAAAA!" Keduanya terpingkal di teras rumah. Ini hiburan sehari-hari. Kalau Aisha kan selalu berteriak hingga melengking seperti itu. Kalau Icha? Nah kalau yang itu teriakannya agak lembut. Biasanya yang dipanggil dulu itu anak sulungnya. Itu juga panggilannya amat lembut meski yaaa volumenya tetap tinggi sih. Tapi tidak memekikan telinga seperti ini.... "ARDAAAAAAAAAAAAAAAAN!" Pasangan suami-istri itu benar-benar terpingkal. Hal yang sungguh benar-benar lucu. @@@ "Aku yakin, kali ini usaha ku sukses sayang!" Mira mencibir. Ia sudah pesimis dulu. Wong Khayra sudah menolak kok. Tapi suaminya ini keras kepala. Ya karena hal tak terduga terjadi hari ini di mana Khaura akan datang dan begitu pula dengan Adam. Ya semoga keduanya menepati janji. Katanya kan siang menjelang sore akan sampao di rumah. Mira sengaja menyiapkan makanan dadakan untuk keduanya. Ya kalau-kalau bertemu. "Tapi kalo dipikir-pikir, aelain karena Khayra menghindari banyak anak-anak Aceh di sini....selain itu karena apa ya?" Wirdan tampak berpikir. "Adam kayaknya banyak gak aktif di organisasi. Sekalinya ad ayang aktif mungkin Khayra gak ikut. Adam juga jarang sih kumpul sama anak-anak Aceh. Tuh orang emang sok sibuk dari dulu." Mira tertawa. "Mungkin sibuk pengabdian kali." Ya karena dokter sih. Wirdan memaklumi. Ia juga tahu kok. "Belum datang juga," tukasnya. Entah sudah berapa kali ia melihat rekaman CCTV. Ya saking tak sabarnya. Rasa pesimis sudah muncul lebih dulu. "Paling gagal lagi. Adam kan sibuk. Coba hitung, sudah berapa kali Adam gagal diajak ke sini sama abang?" ia kekeuh dengan pendapatnya. "Yang waktu di LSM kan datang sayang." Ya juga sih. Ia mengangguk pelan. Malah Khayra yang tak jadi datang lalu menolak pula dikenalkan. Kali ini? Mereka tak akan mengenalkan atau apapun sih. Maksudnya, ingin bersikap sewajarnya tapi mata akan mengamati. Apakah Adam tertarik? Dan bagaimana juga dengan Khayra? Akan kah berubah pikiran? "Tuh, sepertinya Khayra." Mereka mendengar suara motor. Walau itu bisa juga si Adam. Mira segera beranjak. Ya benar kata suaminya. Itu memang Khayra. "Katanya ada yang mau buru-buru keliling ke luar negeri lagi." Khayra menyinyir. Ya memang. Meski hingga sekarang belum dipersiapkan. Masih menunggu beberapa berkas juga sih. Walau ya sudah tak terdaftaf sebagai kewarganegaraan di sini. Susah sih kalau mau berbisnis sukses di sini. Nyatanya mereka banyak berhadapan dengan orang-orang yang seharusnya melindungi namun yang ada ternyata malah diancam. Mira tergelak. Wirdan hanya berdiri di dekat pintu. Ia menatap kedua perempuan itu. Kalau bertemu masih belum berubah. Masih heboh. Ya dibandingkan dengan yang lain, Khayra yang masih paling dekat degannya. Eeh ada kakak iparnya sih yang juga sahabat terbaik mereka. Tapi ia tahu kalau mungkin ada jarak dengan Khayra. Meski Khayra sudah mengikhlaskan. Toh sudah lama berlalu juga. "Dari pada berdiri doang terus ngeliatin kayak gini nih, mending abang bantuin Ra bawa jilbab-jilbab ini deh. Belum lagi nih jajanan." Ia menunjuk dua plastik besar yang susah payah ia tenteng. Ya memang yang dibawanya cukup banyak. Kan anak asuhan mereka juga banyak tuh di rumah sebelah yang sengaja dibuat untuk menampung anak-anak itu. Kalau katanya Mira hanya sementara. Karena mereka memang sedang membangun tempatnya. Belum selesai sehingga mereka ditampung dulu dengan mengontrak rumah sebelah. "Jilbabmu kenapa basah begitu, Ra?" Mira menangkap basah-basah yang tidak merata di khimar yang dipakai Khayra. Ia baru melihat itu begitu mereka sudah masuk ke dalam rumah. Khayra? Tentu saja tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu berjalan menuju pintu yang menembus ke rumah samping dari rumah ini. Anak-anak langsung berteriak. Tentu saja sudah memanggilnya. Heboh setiap Khayra ke sini karena tahu kalau Khayra selalu membawa makanan. Ini bahkan dengan kerudung pula. "Ra?" Mira memanggil sambil melangkah susah payah menyusul gadis itu. Ia butuh jawaban. Ia menyadari kalau matanya Khayra itu agak sembap. Sejujurnya ya Khayra menangis di sepanjang jalan. Hanya bisa mengelap air mata dengan kerudung yang ia kenakan. Ia tak bisa menahan diri. Selalu sakit hati kalau ada yang bilang perawan tua. Ya siapa yang tidak tersinggung sih? Tak ada satu pun orang kok yang mau berada di posisinya. Di usia segini dan masih sendiri. Ia hanya berpikir mungkin memang belu dipertemukan saja yang terbaik. Bukan kah ia tak mau ngoyo juga? Ya memamg belum ada niatsn untuk menikah dalam waktu dekat sih. Ia ingin menikmati waktu dan memperbaiki diri. Sementara itu, Wirdan sibuk menelepon Adam dengan kedua tangan membawa masuk dua plastik besar berisi jilbab itu. Namun tak diangkat. Apa nyasar ya? Karena Adam belum pernah ke sini. Ia sengaja menyuruh Adam ke sini untuk sekalian mengecek kesehatan anak-anak di sini. "Raaaa iih! Kan dipanggil juga!" Mira jadi jengkel. Kalau bukan karena kehamilannya, ia pasti sudah menarik kerudungnya. Hahaha. Ia kan mau tahu, gadis itu kenapa lagi? Ada yang menganggu kah? Atau mungkin ada yang digelisahkan? "Gak apa-apa kok. Tadi ketumpahan minuman." Ia berbohong. Tenru saja Mira tahu kalau ada yang disembunyikan. Meski ya sekarang ia sibuk membersihkan khimarnya dengan air kran. Sayangnya, Mira terlalu peka untuk dibohongi. Tapi wanita itu diam saja. Ia sangat mengenal Khayra yang lebih baik mati dari pada membagi sakitnya. Ia juga percaya jika gadis tangguh itu bisa bertahan. Walau kesal juga, terkadang sebagai sahabat, ia merasa tidak selalu ada untuk Khayra. Sementara gadis itu telah melakukan banyak hal untuknya. Ia sadar sih. Meski dunia mereka sekarang berbeda tapi ia masih Mira yang sama kok. Ia masih bisa diganggu kapan saja Khahra mau menghubunginya. Ia akan berusaha untuk selalu ada. "Aku tidur bentar ya.l? Permainannya masih sejam lagi kan?" Mira hanya mengangguk.Membiarkan gadis itu dengan pikirannya. Walau terkadang ia ingin tahu. Tentang Khayra dan kisahnya. "Kau istirahat saja. Biar abang yang mengurus anak-anak itu." Ia mengangguk lagi. Ia ingin rehat sebentar untuk menenangkan hatinya. Kini memang sedang tak tenang. Tak bisa berpikir juga. @@@ "Iiih kan Keera maunya ke rumah opa Adhi." "Nanti lah. Gak tahu apa, papa baru pulang?" Papanya tentu saja mengonel. Ia mencebikan bibirnya. Dongkol. Sekolah tak begitu menyenangkan karena sedari TK, ia hanya dibuntuti lelaki yang tinggalnya tak begitu jauh dari rumahnya. Siapa? "Keera!" Tuh kan. Muncul pula dengan adik lelakinya yang juga seumuran dengan adik lelakinya. "Ayo main bola!" "Ih gak mau lah. Cewek kok diajak main bola?" "Kan biasanya juga gitu." "Ogaaah yaaaa!" "Ya udah." Itu cowok pergi. Ia sudah kenal sejak TK sih. Kalau bertetangga? Ya sejak orangtuanya masih tinggal di apartemen. Karena Verrald dan kedua orangnya juga tinggal di apartemen sebelum tinggal di komplek ini. S hakeera menghela nafas. Ia menyandarkan tubuhnya. Masih teringat dengan cowok ganteng kemarin yang selama ini tak ia sadari. Eeh selama ini kan ia malas tuh datang ke rumah opa Adhi. Eeh sekalinya datang malah bertemu cowok ganteng. Siapa namanya? Ando. Keren kan. Kesannya sungguh cool begitu. Ia jadi makin suka. Anak kecil seusia enam tahun sepertinya sudah tahu siapa yang disuka? Sudah tahu suka-sukaan? Hahahaa. Makanya ia merusuhi papanya untuk datang ke sana lagi. Tapi kan Tio tak punya kepentingan juga untuk ke sana. Lantas buat apa coba? Ya tak ada. "Ih pakai celananya!" Adinya yang baru berusia 4 tahun berlari dari kamar mandi. Kaos dalamnya sih ada. Tapi sisanya tak ada. Hahaha. "Mamaaa! Ray kabur ke deoan!" Bukannya menangkap, ia malah berteriak. Mamanya menghela nafas lantas segera berlari menuju ke depan rumah. Yang membuat kaget ya, anak lelakinya itu berlari keluar dari gerang. Cepat sekali berlarinya. Ya panik lah mengejar. Dari kejauhan sana, sebuah mobil hendak melintas. Jihan refleks berteriak agar mobil itu berhenti. Apakah berhasil? Ya. Mobil itu memang berhenti tepat disaat anaknya sudah menyebrangi jalan. Si pengendara buru-buru keluar saking khawatirnya. Tentu saja takut menabrak. Yang hendak ditabrak sudah ditangkap Jihan. Ia menghela nafas lega. Jelas was-was. Hampir saja. Ketika hendak berbalik, sebuah motor baru saja mengerem. Kaget karena mendadak ada yang menyeberangi jalan padahal ia sudah sangat dekat. Keduanya sama-sama kaget. Si pengendara motor buru-buru menahan dengan segala kekuatan yang bisa ia kerahkan. "Maaf...kena?" Si pengendara mobil menggelengkan kepala. Hal yang sungguh tak terduga. Karena pengendara mobil itu adalah Airin. Lantas pengendara motor itu? Ya, Adam. Hal yang membsut keduanya terpaku. Airin sudah lama tak mengendarai mobilnya. Tapi ia mengemudikannya agak ngebut. Kenapa? Karena ia selalu seperti sedang dikejar-kejar seseorang. Ini trauma yang berusaha ia sembuhkan. Namun memang butuh waktu. Adam terpaku karena melihat wajah tak asing itu. Padahal belum lama ini ia melihatnya. Sekarang kenapa ia harus melihatnya lagi? Tapi setidaknya, ia harus banyak bersyukur. Karena Airin buru-buru masuk ke dalam mobilnya. Itu refleks. Bukannya ingin mengacaukan hubungan silaturahmi. Tapi ia memang tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Adam. Ia tentu tak enak hati. @@@ "Kau lama kali!" Wirdan langsung menepuk bahunya begitu ia tiba di halaman rumahnya. Ya rumah ini sangat besar. Ia takjub sih dengan kerja keras Wirdan yang sangat luar biasa. Lelaki itu melakukan apa saja agar bisa berada di titik ini. Usaha kerasnya benar-benar indah kan ya? Ia terkekeh. Tadi sih sudaj berusaha datang cepat. Namun ada sesuatu yang tak terduga terjadi hingga ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Ya usai kejadian tak sengaja bertemu dengan Airin di jalan yang juga tak terduga. Ya ia tahu sih kalau Airin juga tinggal di lingkungan ini juga. Tapi pintu gerbang yang dekat dengan rumahnya Airin itu bukan yang ia lewati tadi. Ia tahu persis. Namun ternyata takdir Tuhan berbeda ya? Kalau Dia sudah berkehendak untuk mempertemukan maka ia juga tak bisa apa-apa. Senuanya memang bergantung apa yang Allah mau. Manusia? Ya hanya mengikuti. Memangnya bisa apa? Tak bisa juga kan? "Mau makan dulu, Dam?" Mira tentu saja menawarkan makanan. Ia menolak secara halus. Maksudnya sih nanti saja. Ia belum lapar-lapar amat. Sekarang justru butuh pengalihan. Ia butuh keramaian untuk menghilangka hal itu. "Anak-anak di rumah sebelah. Ya mau disebut panti tapi bentuknya rumah mewah begini." Wirdan mengajaknya berjalan menuju rumah sebelah. Mereka masuk dari pintu yang sudah terhubung dengan rumah sebelah. Pintu yang sama di mana Khayra masuk tadi. "Aku juga mau deh, bang. Gak bisa apa jadi anak angkarltnya juga?" Hahaha. Ia tergiur hidup nyaman. Tentu saja kepalanya dijitak. Tentu saja Wirdan menoyornya. Ia tertawa. Sudah lama tak seprrtini ini dengan Wirdan. Ia adalah intelektual yang sangat berhasil hingga saat ini. Belum ada yang bisa menyainginya. Sementara Amira mengintip. Ya mengira-ngira Adam akan di mana. Tapi suaminya malah mengajaknya berkeliling. Ya Adam senang karena ini cukuo baru. Anak-anak yang tinggal juga senang. Ia mengobrol sebentar dengan Wirdan sebelum akhirnya mengjibur anak-anak. Eeh gak sih. Ia mengecek kesehatah mereka. Apapun hasilnya harus bisa diterima. Wirdan membairkan Adam membuka harapan baru. Ya barangkali Adam dan Khayra hanya untuk dipertemukan. Tiak lebih. Sebelum memulai pemeriksaan, ia memulai untuk penyuluhan sederhana dengan barang-barang yang sengaja ia bawa. Namanya juga Adam. Meski tak tahu kapan akan dihubungi tapo rasanya memang menyenangjan seperti ini. "Ra masih tidur?" Amira mengangguk. Gadis itu sangat teliti jadi biar kan saja. Toh nanti juga pulas. "Ada masalah?" "Kayaknya. Tapi dia gak mau cerita. Biarin aja lah." Ya namanya juga Mira. Soal kerudung basah karena tangis tapi ia tak bisa menjawabnya. Ya kan takut. Mana sedang hamilmbesar seperti ini. Tapi ia masih sanggung menkani suaminya ke mana pun. Ya kan sudah janjinya begitu. Setengah jam kemudian..... Riuh tawa itu terdengar ribur sekali sejhngga meski Khayra. Awalnya tertutup rapat, tapi semakin riuh itu terdengar, matanya terbuka lebar. Lalu beranjak dan disambut dunia yang seakan berputar di kepalanya. Ia diam sesaat. Lalu bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Mencuci muka dan mengganti khimarnya yang basah tadi dengan satu jilbab yang dibawanya. Kemudian keluar dan keheningan menyapanya. Padahal, keriuhan tadi mengganggu sekali. Namun kini, malah sepi di ruang keluarga, tempat biasanya anak-anak berkumpul dan saling bercanda. "Yang giginya ompong siapa?!" Suara cool itu bersorak. Anak-anak heboh saling menunjuk lalu tertawa-tawa saling meledek. Mira hanya mampu menatap semuanya dari bangku teras. Sebab Wirdan tak ingin istrinya yang sedang hamil besar itu lelah hanya karena tertawa. Lucu memang. Tapi ia bersyukur sekali karena mendapat suami yang perhatian sekali itu. Sementara anak perempuannya yang aktif itu ikut terbahak bersama dokter tampan yang mengajar anak-anak jalanan sore ini. "Malu gak kalau gak punya gigi?!" Anak-anak bersorak lagi. Lebih heboh dari yang tadi. Sementara Khayra berjalan pelan. Kepalanya masih pusing tapi ia memaksa berjalan. Tangannya meraba-raba tembok dan riuhnya suara anak-anak makin terdengar jelas. Mira yang mendengar jelas langkah kaki langsung menoleh ke belakang dan heboh memberi kode pada suaminya yang ikut fokus menatap dokter tampan itu dengan anaknya yang tak bisa diam. "Ra! Ra! Kesini!" Wirdan langsung memanggil. Lelaki itu senang bukan main saat melihat kemunculan Khayra. Gadis itu nampak bingung. Matanya masih menerawang menatap kehadiran orang asing ditengah-tengah mereka. "Itu siapa, Mir?" Alih-alih mendekati Wirdan, Khayra malah menghentikan langkahnya di dekat Mira. Lalu ambruk begitu saja diiringi suara Mira yang memekik. Gadis itu jatuh tepat di depan matanya. "Abaaaaang!" keduanya langsung berlar. lihaf ini aku. Meski sikap ini tak bertanggung jawab dan rasnya lelah menjsdi banyak. Tapi setidaknya ini pun cukup kok. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD