Buruh. Mereka ditempatkan diberbagai pabrik yang ada di sekitar Muara Angke. Sisanya? Sudah dikirim ke Bandung, beberapa kota di Jawa Tengah hingga Surabaya. Target utama mereka memang Pulau Jawa. Tapi tak dipungkiri juga, untuk berjaga-jaga tentu ada banyak kapal lainnya. Kapal-kapal lain bagaimana? Baru saja merapat. Misalnya yang di Batam datang dari Singapura. Mereka disebar ke Medan bahkan hingga Aceh.
"Kira-kira akan terlihat kapan hasilnya?"
"Kita akan rilis dulu vaksinnya. Ya harus sudah selesai bertepatan dengan membludaknya kasus HIV di sana."
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka adalah orang-orang penting. Uang sudah dikerahkan dan tentu harus menikmati hasilnya bukan?
Sementara itu di tempat lain, baru saja mendapatkan kabar perkumpulan para pengusaha dunia ternama itu. Ia mengangguk-angguk. Bukan urusannya sih. Tapi sisi kemanusiaannya tentu saja belum mati kan? Ia tak mungkin bisa diam saja kalau begini. Lantas harus bagaimana?
"Target mereka negara mana saja tadi?"
"India, Brazil, dan Indonesia."
Pas sekali. Karena ketiga negara itu berpendudukan paling banyak dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Sungguh cara yang sempurna untuk meraup keuntungan. Semakin banyak yang tertular, semakin besar uang yang akan didapat. Bukan kah begitu?
"Apa rencana kita bos?"
"Pantau saja. Jangan campuri dulu. Tapi sebarkan isu ini diam-diam. Jangan sampai terdengaroleh tim lain."
Ia mengangguk. Kerahasiaan dari tim lain sangat penting baginya. Dan karena ini, ia kerap dicap pengkhianat. Ia bukannya pengkhianat. Oke, ia memang seorang mafia. Tapi bukan berarti harus menjadikan sesama manusia sebagai kelinci percobaan. Itu adalah hal yang tak bisa dimaafkan.
Tak lama, anak buahnya tadi malah kembali. Padahal ia hendak pulang ke rumah. Ya bersiap untuk terbang lagi. Ada banyak urusan yang harus ia lakukan. Untuk sementara, ia akan memindahkan anaknya ke Australia. Anaknya harus bersekolah. Ia tak ingin jejaknya diikuti.
"Bagaimana kalau kita memberitahu geng Adhiyaksa itu?"
Ah. Para lelaki yang waktu itu bertemu dengannya? Sudah berapa tahun ya? Ia tak ingat. Pasalnya, ia sudah jarang ke Indonesia. Kalau pun mau mampir ke sana, ada saja penghalangnya. Padahal ia sungguh merindukan seseorang di sana. Apa kabarnya?
"Hanya sebarkan rumor. Sizanya biarkan mereka yang bergerak."
Ia mengangguk. Artinya mereka memamg tak akan nerbuat apa-apa. Dunia mafia ini kejam. Kalau ia mencampuri urusan mafia lain, urusannya bisa sampai ke cicit. Ia paling tak suka hal semacam itu.
Begitu selesai, ia kembali ke rumah dan mendapati anaknya sedang asyik menonton televisi.
"Bereskan barang-barangmu. Kita akan kembali ke Ausie."
"Kenapa harus ke sana, dad? Daddy tahu kalau aku malas sekolah."
Kepalanya dijitak dan ia jelas mengaduh. Kenapa harus dijitak?
"Sekolah yang benar!"
Ia mendengus. "Sungguh tidak adil. Padahal yang menyuruhku sekolah saja tidak sekolah."
Hahahahaa. Skakmat sekali. Walau ia berlari terbirit-b***t menuju ke kamarnya.
"Daddy gak ayik!" serunya. Ya walau tetap membereskan barang-barangnya. Hal semacam ini sudah biasa terjadi sih. Dalam dua jam sudah berangkat pula menuju helikopter yang sudah menunggu di halaman belakang. Jangan tanya seberapa luas istana ini. Mereka terbang menuju bandara. Lalu penerbangan dilanjutkan dengan pesawat pribadi hingga akhirnya tiba di Australia. Ia ke sana hanya untuk mengantar anaknya bersekolah. Lalu?
Kemellowan jelas terjadi. Ia selalu sedih kalau ahrus berpisah dengan anaknya. Tapi semenjak ia punya lebih banyak uang dalam dua tahun terakhir, ia ingin anaknya jauh lebih baik.
"Kamu tahu kan? Daddy tidak meminta kamu untuk menjadi pintar. Tapi.....," ia menunjuk helikopter yang menurunkan mereka di lapangan terbuka. Rumah mereka tak jauh dari sana. "Kamu harus meneruskan ini denganku. Menjadi seorang magia yang baik meski tidak ada istilah itu. Aku hanya ingin kamu belajar dengan baik soal bisnis nanti untuk kehidupan kita. Paham?"
Ia mengangguk. Ia tahu.
"Daddy akan ke Indonesia?"
Ia hanya bertanya. Karena mungkin beberapa bulan ke depan, ia tak akan bertemu daddy-nya ini. Ya kan sibik. Setelah beberapa tahun sebelumnya bahkan sejak ia kecil, hidup mereka sekarang sudah jauh lebih baik. Jadi....
"Belum tahu."
Ia mengeluarkan sebuah boneka kecil dari tasnya. Ia tercenung melihat itu.
"Ini dari uang saku daddy minggu kemarin. Aku belikan ini."
"Untuk daddy?"
Ia melotot. Ayahnya tertawa. Tentu saja tahu itu untuk siapa.
"Siapa tahu daddy berhasil menemui kak Echa."
Ya. Ia tak pernah tahu kabarnya hingga sekarang. Ayahnya juga.
"Belajar lah yang baik."
Baginya hanya butuh itu. Anaknya mengangguk. Ini pun cukup baginya. Ia menarik nafas dalam. Ia berusaha menahan keharuan yang memenuhi dadanya. Betapa anaknya sangat merindukan saudara kembarnya yang tak pernah ia lupakan. Meski ia tak pernah tahu lagi bagaimana rasanya punya saudara.
@@@
Amira jelas tampak khawayir karena ia ambruk begitu saja. Jujur saja, semenjak gahak menikah, ia memang agak kehilangan nafsu makannya. Ditambah lagi ya batinnya juga lelah menghadapi omongan orang. Memangnya enak apa ya dikatai begitu? Padahal ktu bukan dosa loh.
Kalau ia berpacaran lalu berzinah nah itu baru memalukan bukan? Baru ia harus merasa malu. Tapi dunia sekarang memang aneh sih. Yang berpacaran? Wah dengan bangga orangtuanya menceritakan kalau anaknya punya pacar. Kalau anaknya jomblo? Bah. Beramai-ramai diolok-olok. Padahal selagi jomblonya gak nerbuat maksiat, harusnya disemangati ya? Biar tetap di jalan yang lurus. Ya begitu lah dunia sekarang. Memang sungguh aneh.
"Gak apa-apa kok, kak," tutur Adam. "Dia belum makan sepertinya jadi lemas lalu pingsan," tambahnya lalu kembali merapikan alat-alat yang selalu ia bawa.
Beruntung memang karena ia selau siap siaga. Ya palingan memang hanya hal-hal mendasar untuk pertolongan pertama yang ia anggap paling penting.
Mira menghela nafas lega namun tak mau meninggalkan Khayra sendirian. Sementara bocah-bocah disuruh main di luar oleh Wirdan. Biar tak menganggu istirahatnya Khayra. Ya walau begitu, suara berisiknya tetap saja terdengar.
"Mungkin juga banyak bebsn."
Ia merasa begitu sih. Aura wajahnya berbeda dari yang kemarin ia lihat. Ya pertemuan di rumah sakit maksudnya. Karena kala itu, Khayra tampaknya jauh lebih baik sih. Apa yang terbebankan?
"Stres ya? Apa perlu menemui psikolog atau semacamnya?"
"Tergantung sih, kak. Nanti bicarakan saja."
"Kalau menghubungimu bagaimana?"
"Aku bukan spesialis jiwa, kak. Tapi aku rasa ada tambahan efek lelah juga. Jadi kurang istirahat."
Mira mengangguk-angguk. Ia tahu kalau Khayra mungkin terlalu menyibukan diri agar bisa melupakan urusan yang lalu. Ia seharusnya sudah bisa menduga sih kalau Khayra belum begitu membaik. Pasti urusan gagal menikah itu susah bukan? Ia juga tahu kalau itu tak mudah.
"Jadi kau mau balek? Tak mau menunggu dia bangun dulu?" Wirdan bertanya. Ia melirik istrinya yang memberi kode untuk menahan Adam. Tapi feeling-nya, Adam tak bisa ditahan. Ia sudah satu jam di sini kok. Tapi sayangnya Khayra malah pingsan. Tadi kan Khayra beristirahat dulu. Amira juga tak enak hati menganggunya. Karena instingnya mengatakan ya kalau Khayra pasti baru saja mengalami hal yang buruk kan? Rasanya juga tak mudah deh.
"Aku harus ke rumah sakit, bang. Kapan-kapan aku main ke sini lagi dengan membawa tim," tuturnya yang hanya diangguk pelan oleh Wirdan. Kecewa. Karena gagal lagi mempertemukan Khayra dan Adam untuk ke sekian kali.
Ya kalau ia membawa tim, urusan bisa lebih cepat. Kalau tadi kan jadinya tak semua anak bisa diperiksa. Ia kan banyak pekerjaan ya. Jadi tak bisa juga ditinggalkan begitu saja.
"O-oom!"
Gadis kecil setahun itu memanggil. Wirdan terkekeh mendengarnya. Jalannya masih tertatih tapi tetap memaksa diri. Tubuh kecil itu lincah menggapai Adam yang kemudian menggendongnya karena gemas.
"O-om pulang dulu ya? Nanti, o-om ke sini lagi buat main sama Mysha!" Tltuturnya yang dibalas celingukan oleh Mysha yang kini menatap ayahnya. Wirdan hanya terkekeh lalu mengambil alih Mysha.
"Ya udah. Hati-hati," pesan Wirdan yang diangguki oleh Adam. Lelaki itu pamit pada Mira lalu bergegas berjalan keluar dari rumah kecil ini. Kemudian menghilang dari pandangan Wirdan.
Wirdan menghela nafas. Kenapa cepat sekali pulangnya? Apa tak bisa menunggu dulu? Padahal tinggal sedikit lagi.
"Belum jodohnya kali, bang." tutur Mira sambil menyelimuti Khayra.
Ia juga tak mau memaksakan sih. Toh Khayra juga tak mau kan? Sementara Adam? Belum dimintai pendapat juga sih tentang perempuan yang pingsan tiba-tiba ini. Sungguh bukan ini yang mereka bayangkan. Karena tadinya Mira memang masih berharap. Ya kan siapa tahu berjodoh. Toh Adam itu lelaki yang baik kok.
Wirdan menghela nafas lalu mengambil duduk. Teringat masa lalunya. Saat dulu ia dijodohkan dengan Anggun namun gagal pula saat akan menikah. Tak sakit sih rasanya. Karena mungkin saat itu, ia sudah mencintai Mira. Namun ia tahu, Aisyah yang berupaya keras pasti sakit hati karena pada akhirnya mereka tak bisa bersatu. Tapi segala kegagalan itu bukan kah akan selalu ada rahasia dibaliknya? Tentang sebuah keindahan dan kebahagiaan dari-Nya. Ia selalu punya kebaikan yang terbaik untuk umat-Nya kan? Walau dengan segala jalan yang berliku.
Karena ternyata itu lah yang mengantarkannya bersatau dengan Mira. Tertukar pula jodoh mereka. Karena tadinya Mira hendak menikah dengan lelaki yang sekarang menjadi suami Anggun. Sungguh tak terduga ya? Ya memang tak terduga sih.
"Ah aku juga menyerah, sayang. Mungkin mereka bukan berjodoh. Jadi akan ada jalan masing-masing dari mereka untuk menggapai jodoh. Bukan dengan cara kita tapi dengan cara-Nya."
Mira mengangguk. Tersenyum tipis. Makin hari makin cinta karena suaminya ini. "Kalau mereka berjodoh bagaimana? Tapi bukan lewat kita?"
"Itu kehendak-Nya. Dia akan mempersatukan mereka dengan cara-Nya," tutur Wirdan lalu menatapnya penuh cinta. "Seperti kita, cinta. Indah bukan?"
Mira terkekeh kecil. Dalam hati, ia tak berhenti mengucap syukur. Wirdan benar. Setiap manusia akan mempunyai jalan yang berbeda untuk menggapai cinta dengan pasangan. Sekali pun terbentang jalan dan usaha yang keras oleh manusia. Nyatanya, rencana dan jalan-Nya lah yang lebih indah. Lebih indah dari apa yang manusia bayangkan.
Sementara Adam sama sekali tak tahu kalau ada maksud terselubung dari setiap ajakan Wirdan untuk datang ke panti kecil milik Khayra. Pun Allah yang seakan menutup segala kemungkinan agar dua insan ini bertemu. Namun percayalah akan kehendak-Nya. Dia tak hanya ingin mempertemukan Adam dengan Khayra tapi juga mempersatukan dalam cinta yang halal pada-Nya.
Terlepas dari setiap masa lalu manusia yang tak pernah luput dari keburukan. Tak ada bukan, masa lalu manusia yang bersih dari sebuah kekhilafan? Apalagi ketika ia ingin berubah menjadi lebih baik kepada-Nya? Tak salah kan? Sebab kita pun belum tentu lebih baik dari orang yang kita anggap buruk hanya karena masa lalunya.
Dengarlah, Allah tak pernah melihat keburukanmu selama masih ada kebaikan yang kau lakukan. Sudah banyak kisahnya bukan? Walau hanya melakukan kebaikan sebiji zarrah selama hidup di dunia, nyatanya mampu masuk surga?
Yah inilah hidup. Bisa jadi, orang yang kau anggap buruk malah lebih baik darimu. Dan kau merasa sombong akan dirimu yang menganggap lebih baik dari pada orang yang kau rendahkan. Padahal belum tentu. Dimata-Nya, siapa yang akan tahu?
Lantas bagaimana Khayra dimata Adam? Sejauh ini tak ada yang istimewa kecuali hanyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Ternyata dunia ini sempit sekali. Karena gadis itu masih berteman dekat dengan Mira. Satu kampus juga dengannya saat sarjana dulu. Taoi memang berbeda jurusan. Hal yang mengejutkan sih begitu Wirdan menyebut kalau Khayra juga orang Aceh. Ya kaget lah. Ia kan tak pernah bertemu sebelumnya. Ia rasa begitu. Karena pergaulannya cukup luas. Kalau Khayra? Ya sama. Tapi ia menghindari orang-orang yang mungkin akan menggunjing masa lalunya yang buruk. Bukan karena ia masih sakit hati. Tapi karena ia tak mau orang-orang berdosa karena membicarakannya. Jadi lebih haik ia yang tenggelam. Namun hal ini juga tak akan bisa kita hindari secara penuh. Ya kan?
Adam mengendarai motor. Sejujurnya ia juga tak nyaman kan? Karena bayabgan perempuan bermobil itu pun masih terlintas di dalam benaknya. Haaah. Kenapa harus bertemu lagi sih? Tapi jawabannya? Ia tentu tahu. Ia yang memikoh untuk kembali ke sini. Jelas tak mudah memang. Tapi yang namanya takdir kadang memang ada yang tak bisa ia hindari kan? Mau bagaimana lagi?
Ia menarik nafas dalam.
@@@
"Padahal dokter kemarin itu ganteng ya?"
"Lo suka begitu?"
"Gak gitu ih, kak. Kan cuma bilang."
"Gue gak suka kalo cowok."
Ya ada dua peeempuan yabg sangat sensitif dengan hal ini. Tapi yang satu lagi baru terlihat. Baru turun dari lantai dua sambil menghela nafas.
"Mira dan Wirdan bisa dihubungi gak ya kalau mereka gak lagi di sini?" tanyanya.
Ia baru saja muncul tapi sudah bertanya demikian.
"Kenapa, kak?"
Mata mereka tertuju pada Kinan. Perempuan berusia 34 tahun sekaligus mantan PSK.
"Adikku mau menumpang di sini."
"Gak nungkin di tempat kita kan? Atau dia juga--"
"Enggak. Kalian tahu yang pernah ku ceritakan?"
"Soal apa?"
"Adik perempuan yang melangkahiku menikah."
Aaaah. "Musuhin kakak ya?"
Ia mengangguk.
"Kok sekarang nyariin kakak sih?"
Ia menghela nafas. Padahal dulu, ia diejek terus loh. Apalagi setelah adiknya menikah. Sengaja sekali mengomporinya dengan berbagai kemesraan yang ia buat dengan suaminya tanpa memikirkan perasaan orang. Ya tanpa rasa malu juga. Karena sesworang yang sudah halal harusnya tak perlu sampai berciuman di depan orang lain kan? Apalagi sampai melakukannya di depan kakak kandung sendiri yang jomblo.
"Cerai sama suaminya."
"Kok bisa? Bukannya mesra banget ya dulu?"
Ia mengendikan bahu. Ia juga tak tahu alasannya. Yang jelas perempuan itu mau menumpang. Tapi ia bingung. Karena ia juga menumpang di sini. Bagaimana ia bisa membawa orang lain untuk menumpang di sini sekentara orang itu bukan pengidap HIV seperti mereka?
"Yang kakak bilang, niat menikah biar bisa kabur dari orangtua di rumah kan?"
Ia mengangguk.
"Ya kalo niatnya nikah begitu ya salah sih," sahut Allesya. Ia juga punya sepupu yang seumuran dengannya dan sudah menikah. Alasannya menikah ya sama.
Tika yang paling muda di sini dan masih 15 tahun ya hanya menyimak saja. Sementara yang lain tampak serius.
"Makanya gue belajar banyak hal," ujarnya. Ia rahu kalau hidupnya juga tak maulus. Malah jadi PSK demi uang. Kini malah terjebak di sini. Tak bisa lagi sembuh dari penyakit ini. Rasanya? Ya menyedihkan lah. Tapi mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan lain yang bisa ia ambil. "Kalau mau menikah, niatnya harus lurus ke Allah. Jangan yang lain. Jangan karena sekedar sudah punya calon dan bekerja lalu mikirnya ya nikah. Nikah itu harus karena sudah siap."
Ya betul. Meski mereka tidak bermimpi untuk menikah. Mereka tahu kalau divonis penyakit ini ya rasanya mengerikan. Tak ada yang mau. Bahkan dijauhi keluarga sendiri. Termasuk Kinan. Tapi ketika ada masalah, akhirnya malah datang padanya juga kan?
"Gue emang gak bener sih. Makanya dulu gue bilang dulu ke adik gue kalo jangan pacaran. Pacaran gak bakal bikin kita bisa kenal sama calon pasangan kita. Yang ada malah saling pencitraan. Ya gak sih?"
Ya memang.
"Ya setuju. Baru terbongkar busuknya waktu udah nikah. Ada yang bisa terima kekurangan dan ada yang gak bisa. Yang gak bisa akhirnya cekcok. Kalau gak kuat ya cerai. Hal umum. Banyak perceraian memang sekarang."
Ya benar. Kinan menarik nafas dalam. Meski jalan hidupnya salah, bukan berarti ia ingin keluarganya mengambil jalan yang sama. Karena ia tahu kalau ia salah, ia tak mau ada yang terluka. Ya kan?
"Terus ini gimana gue hubungi Mira sama Wirdan?"
Mereka tertawa. Jadi lupa deh kalau itu tujuan utamanya.
@@@
"Ayaaaah!"
Ada yang muncul. Anak tiga tahun. Anak satu-satunya. Ia terkekeh. Alih-alih membawanya keluar dari ruangan, ia malah mendudukannya di pangkuannya. Lalu? Mengajari apa yang sedang ia kerjakan di laptop. Semua adalah kode-kode rahasianya yang akan diserap dengan baik oleh anak 1 tahun yang jenius ini. Ya memang jenius. Usianya baru 1 tahun tapi caranya memanggil ayah dan ibu sudah sangat jelas.
Setelah satu jam, ia mengajaknya tidur di kamar. Ini sudah malam. Istrinya tak tahu kalau anak kecil ini kabur dari kamar dan menghampirinya. Setiap jari mungkin ia akan bingung karena ayahnya ini hanya berada di depan layar laptop. Ia menuntaskan pekerjaannya di sana.
"Tidur lah. Besok, ayah akan mengajakmu ke suatu tempat."
Ya. Ia hendak ke Jakarta untuk menemui seseorang sebelum orang itu berangakt untuk waktu yang lama dan tak ditentukan. Sementsra ia juga harus berpindah. Sudah tak bisa lagi kalau hanya menetap disuatu tempat. Mereka harus berpindah demi alasan keamanan.
Maka besok paginya tepat usai subuh mereka berangkat. Tentu saja berpisah dengan istrinya yang agak was-was karena anak satu tahun itu dibawa pergi lebih dulu oleh suaminya. Stok s**u sudah diamankan. Istrinya akan menyusul lewat jalur udara nanti. Jadi ya ketika mereka sampai di Jakarta, istrinya pasti sudah mendarat.
"Kamu hati-hati?"
Ia mengangguk. Tentu ia akan berhati-hati. Ini memang tak mudah. Walu perjalanan semacam ini baginya bukan lah hal yang tak biasa. Ini sesuatu yang sudah sangat sering dilakukan.
Mereka berpisah. Ia menggendong anaknya begitu erat dengan membawa ransel. Anaknya memakai jaket tebal yang sebenarnya didesain khusus. Karena itu adalah jaket anti peluru. Beruntung, anak ini tak rewel. Ia selalu takjub dengan apa yang dilihatnya. Hal yang paling menarik baginya adalah setiap melihat pidato dari para pejabat. Ia akan berseru bohong dan suka. Anak kecil itu sangat sensitif jadi pasti tahu yang benar-benar tulus bukan?
Sekitar enam jam dengan kereta, ia akhirnya tiba di Jakarta. Ia segera bergegas menaiki angkutan umum. Sengaja naik itu biar aman dari segaka CCTV. Naik kereta api saja sudah memakai identitas palsu. Hidupnya memang tak aman. Mau jadi BIN kalau tak tunduk dengan atasan juga bisa habis. Sepertinya sekarang. Ia bukan pengkhianat. Justru para atasannya lah yang pengkhianat. Mereka lah yang harusnya ditumpas. Meski pasti sulit. Ya kan?
Ia berpindah angkot hingga tiga kali. Baru akhirnya sampai di depan sebuah LSM yang sangat besar. Ia turun di sana sembari menggendong anaknya. Dengan cekatan masuk ke dalam.
Ia berdiri di samping gedung dan menelepon orang yang hendak ia temui. Mungkin untuk yang pertama dan terakhir. Ya mugkin. Ia kan tak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan.
"Mas!"
Wirdan muncul. Kemudian membawanya melalui pintu samping. Ia membawanya masuk ke euangan khusus. Bukan ruangannya yang biasa karena banyak CCTV. Untuk pertemuan ini, ia sudah menyiapkan sejak beberapa bulan sebelumnya untuk menyetel CCTV ke arah lain khusus dijalan yang hendak mereka lewati ini. Ya agar tak terdeteksi kan?
"Anak mas?"
Ia mengangguk dengan senyuman kecil. Anaknya pulas. Pasti lelah dengan perjalanan yang sangat panjang ini. Ia belum mendapatkan kabar dari istrinya. Tapi selagi tak ada telepon, itu artinya isteinya aman. Ya semoga saja benar begitu.
Mereka memasuki sebuah ruangan. Ia membaringkan anaknya di atas sofa. Wirdan menatap anak laki-laki itu.
"Aku yakin, dia akan kebih hebat dibandingkan denganku di masa depaj)n."
Wirdan terkekeh. Ya sudah pasti begitu mungkin?
"Mas ingin dia bergabung dengan BIN juga?"
"Kenyataannya akan begitu. Kamu tahu, mereka pasti akan mencari tahu darinya. Menjadikannya bagian dari mereka tentu jauh lebuh muda."
Ya memang.
"Lalu bagaimana perkembangannya, mas?"
"Aku masih belum tahu apakah mereka sudah bergerak atau belum. Tapi yang jelas, orang-orang kantorku berhasil membairkan beberapa kapal asing."
"Siapa dan apa yang ada di dalamnya?"
Ia menarik nafas dalam. Ia juga sedang mencari tahu soal itu.
@@@