Tercipta Untuknya

1563 Words
Khayra masih memikirkan lelaki itu meski sudah sampai di rumah. Ya hanya memikirkan sih. Tapi tetap saja agak menganggu. Walau ya ia berusaha untuk tak memedulikan. Haaaah. Memang masa lalu adalah masa lalu. Namun entah kenapa, ia masih takut dengan masa lalu itu sendiri. Ia berusaha tegar dan kuat. Tapi tampaknya itu hanya tameng. Ia tak tahu harus bagaimana kalau masa lalu itu harus diungkit. Ia memang terlalu takut untuk menghadapinya sih. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia sampai tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun setidaknya, suara telepon yang berdering membuat pikirannya sedikit teralihkan. Siapa? Amira. "Assalammualaikum, Miraaa. Udah sampai mana?" Perempuan itu tertawa sambil menjawab salamnya. Katanya masih dalam perjalanan bahlan di atas kapal. Masih ada sinyal kah? Atau kapalnya memang belum berangkat? Ah ya sudah lah. Perempuan itu bosan juga makanya ia menelepon. Ya walau tak begitu lama sih. Setidaknya cukup menghibur Khayra yang tadinya sedang pusing. Berkat telepon dari Mira, ia jadi teringat harus melakukan sesuatu sih. Makanya ia bergerak menuju kamar mandi lalu membantu ibunya sebentar untuk masak makan malam. Hanya mereka berdua yang tersisa di rumah ini. Ia juga yang menghidupi ibunya. Kenapa? "Kamu harus ngerti lah gimana keadaan kakakmu ini, Ra. Kita ini sudah menikah. Buat bulanan aja masih pas-pasan. Yang mau dihidupi kan banyak tuh. Ada ponakanmu yang masuk sekolah berbarengan. Lagi pula kan kamu masih sendiri juga. Belum tahu toh nikahnya kapan? Jadi kamu tanggung aja ummi kan gak susah. Lagi pula masih ada uang pensiunan ayah kok." Itu kakak perempuan. Kakak ipar. Ia berbicara dengan kakak lelakinya yang tertua dan menjadi suaminya sangat susah. Meski sudah tahu sedari awal sih kalau kakak iparnya yang pertama itu memang begitu. Ya pelit dan ah sudah lah. Ia juga tak akan mengemis kok. Sebenarnya kehidupan mereka justru enak sekali. Tidak seperti omongannya. Kakaknya kan kerja di perpajakan. Ya tahu lah gajinya berapa. Jadi gak mungkin pas-pasan meski tinggal di Jakarta. Apalagi ia juga tahu kok kalau kakak laki-lakinya itu baru naik jabatan lagi. Perbedaan usia mereka kan memang cukup jauh. Sudah hampir da puluh tahun kakaknya kerja di sana. Bawanya juga mobil kok. Tapi ah untuk apa ia balas lagi sih? Bahkan sejak menikah, ia tahu kok kalau kakaknya sudah tak pernah memberikan uang. Kakak kedua? Ya ia mewajarkan karena memang hanya bergantung pada ruko kecilnya. Istrinya juga hanya penjahit biasa. Syukur-syukur kalau ada pesanan. Mereka juga masih tinggal di rumah kontrakan sampai sekarang. Jadi ia memaklumi. Yang ketiga? Ini yang biasanya selalu mengurusnya. Baik kok. Tapi pekerjaannya per proyek. Namanya juga buruh ya. Kalau ada uang ya pasti dikasih meski gak seberapa. Walau ya terkadang malah ibunya masih menanggung hidup mereka. Ia tahu sih. Kakak iparnya kan malas tuh. Karena tiap Khayra ke rumahnya sekitar jam dua siang begitu, rumahnya masih awut-awutan. Ya saking berantakannya. Berkebalikan dengan rumah kakak keduanya yang justru konclong. Tapi sayangnya, anak malah gak terurus. Yang paling benar hidupnya memang kakak pertamanya. Tapi dapat istri yang yah seperti itu. Ia tahu sih gak mungkin kakak pertamanya gak kasih uang. Pasti uangnya dikasih tapi karena sistem keuangan diurus oleh istribya ya tahu lah yang hanya kecipratan uang itu pasti keluarga istrinya kan? "Jangan terlalu dipikirkan. Rezeki kan Allah yang atur." Ibunya ini tahu saja isi pikirannya. "Toh kita juga cukup kok. Gaji kamu di TK itu juga lumayan kan? Meski jurusannya bukan untuk itu." Ia terkekeh. Terkadang ada penyesalan karena ia tak memperjuangkan lagi hasil tes CPNS waktu itu. Tapi ya sudah lah. Mungkin memang bukan rezekinya. Ya mau bagaimana sih? Ia juga tak mau memaksa kok. Allah pasti tahu yang terbaik kan? "Belum ada lagi cowok yang mau taaruf sama kamu?" Khayra menghela nafas. "Aku bahkan gak mikirin itu, Um." "Gak ada salahnya dicoba lagi. Setiap manusia pasti punya salah. Ya kalau ada lelaki yang gak bisa terima itu, ummi bisa bilang wajar. Dia mungkin memang ingin yang lebih baik. Tapi ya kalau kita berprasangka baik, bisa jadi memang jalannya harus begitu karena Allah mau kasih yang jauh lebih baik buat kamu." "Amiin....." Umminya tertawa. Ia juga sih. Tapi ia tak mau terburu-buru kali ini. Ia ingin mengalir apa adanya. Ingin fokus pada hidupnya tanpa harus dipusingkan dengan berbagai pertanyaan orang lain. Walau ya pasti menyakitkan. "Dibawa sabar aja. Kita gak pernah tahu betapa dahsyat-Nya takdir yang Allah buat untuk kita." Ya. Walau dalam hati, ia terap pesimis sih. Makanya ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Berhenti mencari untuk kedamaian diri. Berusaha kuat meski ya ada pastinya pikiran putus asa itu. Hingga ia bingung ia harus bagaima a lagi. Allah, benar kah ada lelaki yang tercipta untuknya. Si gadis biasa dengan masa lalu yang pahit? Yang mau menerima segala kekurangannya? Ada kah,m Karena jujur saja, ia tak mau hidup di dunia ini sendirian.... @@@ Adam masih melihat si bocah yang bermain bola itu. Ia tampak luwes. Bola selalu dilempar ke arahnya bahkan sudah dua kali membuat gol. Si penjaga gawang yang notabene-nya jauh lebih besar dibandingkan dengannya malah kewalahan menjaga gawang. Siapa yang menjaga gawang? Wohoooo tentu saja Ardan. Hahahaha. Ia selalu tertipu dengan gerakan bocah empat tahun yang melempar bola ke mana-mana tapi ujung-ujungnya tetap ia yang menendang ke arah gawang. Adam tersenyum tipis. Ia pikir itu benar-benar anak Airin sih. Maksudnya, bukan hanya sekedar fisik. Tapi gayanya. Ya Airin mungkin tak main bola. Tapi ia bisa melihatnya dari dalam tubuh lelaki itu. Ya seolah melihat Airin di sana. Meski masih ada rasa sakit namun ia belajar mengijhlaskan kok. Toh sudah cukup lama juga kan? Tak ada alasan baginya untuk mengelak dari takdir yang pahit untuk dikenang itu. Ia memencet bel. Menunggu gerbang dibuka. Tak ada satpam meski ada posnya di dekat gerbang. Ia tahu sih kalau kebanyakan rumah mewah di sini jarang yang ada satpamnya. Karena sistem keamanannya lumayan bagus. Ya aman juga sih. Kakau ia yang menikah dengan Airin, ia mungkin tak akan bisa membawanya tinggal di sini. Ya lihat saja motor bututnya. Hahahaha. Ia dokter spesialis yang kere begitu? Gak sebenarnya. Memang banyak uangnya tapi ia salurkan untuk beasiswa anak-anak di kampungnya. Jadi ya ia hidup dengan sederhana. Niatnya sedari awal memang untuk itu. Ya agar yang bisa beesekolah tinggi itu tidak habya ia sih. Kalau Airin? Akankah bisa hidup dengan sangat sederhana dengannya? Ia bahkan baru terpikir sekarang. Mungkin tak bisa. Ya karena ia akan mengasihani perempuan itu. Ia akan merasa bersalah sebab Airin tak pernah hidup susah bahkan sejak dari dalam kandungan. Mungkin itu juga ya alasan kenapa mereka tak begitu cocok bersama? Ketika Airin menikah dengan lelaki lain, hidupnya jauh lebih aman dan tentram. Ya enak lah. Rumahnya pun besar. Suaminya punya titel pebisnis. Ia menarik nafas dalam. Begitu menokeh kagi ke arah pagar malah terkaget dengan kehadiran seorang perempuan yang tampaknya pembantu di rumah ini. "Dari tadi saya panggil loh, mas." "Eh-oh maaf, bu." Ia tak tahu karena matanya sibuk memihat anaknya Airin di sana. Pikirannya juga melayang pada kehidupan mereka. Ia akui memang kalau ia belum bisa berpindah hati. Entah sampai kapan. Gara-gara ini, ia jadi melewatkan banyak hal. Menyedihkan? Ya begitu lah. Ia dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Ya rumah yang sangat besar. Kalau ada yang bilang dokter itu kaya ya mungkin benar. Meski tergantung juga bagaimana kerja kerasnya. Karena banyak juga dokter yang harus pontang-panting berpindah-pindah tempat kerja dalam satu hari karena memang tak cukup uangnya kalau hanya mengandalkan satu institusi. Ia tahu sih itu dialami oleh kebanyakan dokter umum dan beberapa dokter spesialis juga yang mungkin kurang beruntung dengan gajinya. "Siapa?" "Saya, Adam, Prof." Ia memperkenalkan dirinya. Ya Adam yang juga seorang dokter. Hari ini datang untuk memberikan undangan eeh malah diberikan wejangan yang sangat banyak tentang kehidupan dan pekerjaan. Entah berapa lama ia di sana. Mengobrol dengan si profesor ternyata menyenangkan. Ia baru berpamitan ketika mendengar suara azan magrib. Ya ternyata sudah magrib ya? Satu-satunya masjid yang menjadi tujuannya ya masjid di samping taman itu. Tak begitu jauh darinya. Jadi ia hanya mengemudikan motor sebentar. Ia memarkirkan motornya. Disaat itu, ia melihat si anak Airin itu muncul dengan sarung dan baju koko. Ya ada kopiahnya dan tampak ganteng. Datang bersama opanya. Bukan ayahnya karena ya mungkin sibuk? Adam juga tak tahu. Namun ya namanya juga pengusaha. Ia harusnya tak berada di sini ya? Hahaha. Karena pasti dikenali kan? Bahkan sewaktu mengambil wudhu pun sudah ditegur Fadlan. Ia tersenyum kecil. Ya usai wudhu mau tak mau memang harus menegurnya. Beruntung memang tak ada suaminya Airin. Hahaha. "Lama tak melihatmu, Dam. Terakhir katnya di Amerika." Ia tersenyum kecil. Ya tentu saja tak akam ada kabar lanjutan darinya di dalam keluarga besar ini. Meski ia seolah reuni di sini. Hahahaha. Ketika hendak berjalan menuju parkiran usai solat, ia mendengar suara bocah memanggil-manggil om. Apakah ia yang dimaksud? Jadi ia menoleh ke belakang dan ya benar. Itu si anaknya Airin. Kenapa kah? "Opa bilang kalo O-om itu dokter ya?" Oooh. Mau bertanya toh. Ia terkekeh. Ia mengangguk dan tentu saja mengiyakan pertanyaannya. Benar kan tebakannya? Bocah yang satu ini benar-benar seperti ibunya. Apalagi ketika bertanya soal apa yang dilakukan seorang dokter ketika mengoperasi pasiennya. Namun alih-alih menjawab, ia malah melempar tanya balik. "Kamu mau jadi dokter?" Belum sempat dijawab, boxah itu sudah harus kabur karena? Yang dipanggil Opanya tuh. Disuruh mengaji. Hahaha. Ia tersenyum kecil. Lagi-lagi terpikir hal lain. Kalau ia yang menikah dengan Airin, apakah anaknya akan seperti itu? Ia tak yakin. Karena ia sadar ya memang begini lah ketentuan-Nya yang terbaik dan ia tak bisa mengelak itu. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD