Pangandaran, September 2017
Suara debur ombak, angin yang berembus kencang, dan derai tawa terdengar di sepanjang pesisir pantai Pangandaran. Ada banyak pemandangan menakjubkan yang begitu sedap dipandang. Bukan hanya pemandangan yang disuguhkan alam saja, tetapi pemandangan kegiatan manusia yang ada di sekitar sana juga tampak hangat dipandang, khususnya untuk gadis bersurai hitam sebahu yang tersenyum lebar tanpa henti.
“Haruskah kita tinggal lebih lama? Sepertinya kau suka di sini,” komentar seseorang, membuat atensi gadis itu seketika teralihkan.
“Dan membiarkanmu dipecat dari restoran, begitu?” komentar gadis itu sambil memicing, melirik pria sipit yang tersenyum jenaka menatapnya.
“Bastian tidak akan memecat koki sehebat diriku, kau tahu,” balas si pria, balas memicing jenaka.
Si gadis semakin memicing sebal. “Ya-ya, dirimu mungkin tidak, tapi aku iya.”
Mata si pria membulat, memasang ekspresi tak percaya yang jelas dibuat-buat. “Bastian berani memecat chef yang sangat cekatan dan cantik ini? Kalau iya, aku akan memenggal kepalanya. Bisa-bisanya dia memecat seseorang yang menemaninya dari nol dalam membangun restoran itu.”
Kemudian gelak tawa si gadis mengudara. “Hentikan, Bas. Kau benar-benar gila!” tukasnya, memukul lengan atas Bastian, pria tampan di sisinya. Atasan, rekan, sahabat, sekaligus kekasihnya.
“Memang, aku sudah gila. Bisa-bisanya aku tidak ingin lengkungan sabit di bibirmu hilang,” gumam Bastian, tersenyum lebar hingga sudut-sudut matanya mengkerut.
“Kau begitu mencintaiku?”
“Tentu saja, kau pikir?”
“Lebih mencintaiku atau mesin penggiling daging yang kau beli bulan lalu?”
“Kau memintaku membandingkan dirimu dengan mesin penggiling daging, Reyn?”
“Kau memarahiku terakhir kali karena mesin sialan itu tidak berfungsi, Bas.”
Bastian terkekeh geli dibuatnya. “Jadi kau masih kesal padaku karena masalah itu?” tanyanya seraya mencubit pipi Reyna gemas.
Reyna melepaskan tangan Bastian dari wajahnya. “Jelas saja aku masih kesal. Kau memelototiku dengan tajam hari itu, Bas. Kupikir mungkin bola matamu akan lepas dari tempatnya.”
“Maafkan aku,” bisik Bastian. Dia melingkarkan tangannya di perut ramping Reyna dan menjatuhkan kepalanya di bahu gadis itu. Sementara matanya menatap lurus hamparan laut Pangandara yang berwarna biru.
Reyna sendiri tersenyum kecil. Pelukan Bastian selalu membuat dirinya nyaman. Tentu, sebab hanya lelaki itu satu-satunya orang yang akan memeluknya di dunia ini. Yang lain? Tidak ada. Dunia adalah musuh terjahat untuknya, bahkan keluarganya pun tak lebih baik. Maka ketika sosok Bastian hadir, Reyna teramat bersyukur. Ternyata, Tuhan masih memiliki belas kasih untuknya.
“Bastian Bagaskara, ini tempat umum, tolong tangannya diperhatikan.”
“Memang kenapa? Apa memeluk seseorang yang aku sayangi harus selalu di ruang tertutup?”
“Bas!” peringat Reyna.
Alih-alih melepaskan, Bastian justru semakin mengeratkan pelukannya. “Lebih baik aku memelukmu di tempat umum, dengan begitu aku akan sadar batasanku.”
“Jika tidak?” Reyna mendelik.
“Aku mungkin sudah khilaf melakukan hal lain selain sekadar peluk, Reyn. Aku pria normal.”
“Astaga, mantan buaya ini,” cibir Reyna seraya menyipratkan pasir yang dia ambil ke arah pacarnya.
“Reyn!” pekik Bastian. Akhirnya pemuda itu melepaskan pelukannya.
Reyna terbahak menatap Bastian, kemudian lekas berdiri begitu menangkap signal bahwa pria itu akan membalasnya. Segera dia berlari, menjauh sebelum Bastian benar-benar menangkapnya.
“Berhenti, Reyn. Kamu akan mendapatkan balasannya!” teriak Bastian dari belakang.
Reyna tergelak. Kaki-kaki rampingnya bergerak cepat menuju ke arah mulut pantai. Dia menjerit saat sosok Bastian begitu dekat dan hampir menggapainya.
“Ampun, Bas. Serius.”
Reyna mengangkat tangan di depan d**a. Tapi Bastian tidak mengindahkan perkataannya, lelaki itu bergerak cepat menangkap tubuh Reyna, memeluk perut ramping gadis itu dan mengangkatnya seraya berputar hingga Reyna memekik keras.
“Bastiaaan!”
“Aku akan menerbangkanmu. Siap-siap, ya!”
“Aku baru selesai keramas, Bas—yak!”
Terlambat. Bastian melemparkan Reyna beserta tubuh dirinya sendiri ke air, kemudian tergelak saat jeritan Reyna terdengar.
“Bastian gila! Aku baru keramas, hiks.”
Reyna terduduk dan menatap Bastian kesal. Tidak bercanda, Reyna benar-benar nyaris menangis di hadapan Bastian saat itu. Tapi ...
“Reyn, ombak!” pekik Bastian, menoleh ke sisi kiri mereka.
Benar, sebuah ombak terbentuk di sana. Mereka melaju semakin mendekat ke bibir pantai di mana orang-orang lain yang tengah menikmati air menunggu kedatangan mereka, tapi tidak dengan Reyna dan Bastian.
Bastian meraih tangan Reyna cepat-cepat, hendak melarikan diri sebelum ombak benar-benar menerjang keduanya. Tapi ... byur! Terlambat. Tubuh keduanya lebih dulu terterjang ombak setinggi pinggang, membuat tubuh mereka oleng hingga terseret kuat agak ke tengah. Semuanya basah kuyup. Rambut Reyna yang tadinya hanya basah sebagian, kini benar-benar tak terselamatkan berkat dirinya yang sempat jatuh masuk ke air.
“Reyn? Reyna?”
Reyna bangkit sambil terbatuk-batuk setelah ombak sudah menjauh kembali ke tengah. Sementara Bastian yang hanya terseret tanpa jatuh, segera menghampirinya dengan cemas.
“Bas,” lirih Reyna. Dia menatap Bastian nanar. Kemudian ... "HAHAHA!” gelak tawa gadis itu terdengar, membuat Bastian yang tadinya memasang wajah cemas seketika tersenyum lebar.
“Kau basah kuyup,” ucap Bastian, mengusap rambut Reyna prihatin.
“Kau belum,” balas Reyna. Sementara Bastian bingung dengan pernyataannya, Reyna menatap Bastian penuh arti. Ketika sadar apa yang direncanakan kekasihnya, Bastian hendak berlari, tetapi gagal sebab Reyna lebih dulu memeluk tubuhnya, menahan pria itu kembali ke daratan.
Ombak kembali menerjang tubuh keduanya. Kali ini, ombak yang datang lebih kuat dari sebelumnya sehingga tubuh keduanya terhuyung dan jatuh dengan posisi saling berpelukan. Suara tawa bahagia keduanya terdengar kencang, mengalahkan suara angin dan juga debur ombak yang kembali ke tengah sana. Saat itu adalah saat-saat paling menyenangkan yang tidak akan pernah mereka lupakan.
***
Tangan kokoh itu masih setia naik turun mengusap surai hitam Reyna dengan sayang. Meskipun malam kian larut, meskipun obrolan mereka sudah melebar ke mana-mana, meskipun waktu sudah berlalu begitu lamanya. Seolah keduanya tak pernah cukup. Seolah kebersamaan yang dihabiskan hampir setiap hari tidak pernah membuat keduanya merasa jengah satu sama lain.
“Tiga hari di sini rasanya seperti tiga menit,” keluh Reyna sambil membenarkan posisi rebahannya hingga kini telentang dan bisa menatap wajah Bastian dengan leluasa. “Haruskah hari jadi kita tahun depan dirayakan di sini lagi?”
“Kenapa harus di sini lagi?” tanya Bastian. Dia menyimpan buku resep yang sedang dia baca di sisi sofa, lantas menatap Reyna dengan seulas senyum tipis yang terpatri. “Bagaimana dengan di pelaminan saja?”
Reyna mendelik pada laki-laki itu, kemudian memutuskan untuk duduk, mensejajarkan tinggi mereka. “Memang kau siap jadi suami dari perempuan galak sepertiku? Kau sudah siap kena omel setiap hari?”
Bastian semakin mengembangkan senyumnya. “Mengapa tidak?” jawabnya, membingkai wajah mungil Reyna dengan kedua tangannya, lantas mengecup kening gadis itu dengan sayang.
“Jangan membuatku berharap, Bas. Serius.”
Bastian terkekeh kecil. “Apa kau benar-benar tidak bisa mempercayaiku meskipun kita sudah hampir lima tahun berpacaran, Reyn?”
“Iya. Masalahnya kau masih sering tebar pesona sekalipun di hadapanku, Bastian!” Reyna membuang muka dengan jenaka.
“Aku hanya tebar pesona saat kau di sisiku, Reyna, demi Tuhan!”
“Lalu?” Reyna mendelik, kembali menoleh pada Bastian yang menatap lurus padanya.
“Menikah denganku,” ucap Bastian lirih, tetapi cukup untuk Reyna dengar.
Saat itu, seperti biasanya, Reyna selalu suka tenggelam di balik permata teduh milik Bastian. Permata indah yang tidak pernah bosan dia pandangi. Permata yang selalu menatap hangat ketika dunia begitu kejam dan jahat mempermainkannya. Permata yang membuatnya jatuh hati untuk pertama kali pada seseorang. Permata satu-satunya yang memberikan tatapan penuh cinta yang tidak pernah dia dapatkan dari yang lainnya.
“Bastian,” ucap Reyna, menggenggam tangan Bastian. “Aku gadis yang tidak memiliki apa-apa. Kau tahu lebih dari siapa pun, bahwa keluargaku pun tidak pernah menganggapku ada. Aku tak kasat mata bagi mereka. Aku tidak memiliki teman dan tidak memiliki apa pun yang bisa aku atau kau banggakan. Sementara kau ... kau memiliki segalanya, Bas. Kau utuh.”
Bastian menatap netra Reyna dalam-dalam. Menyelami isi hati gadis yang sudah mengisi hatinya sejak ribuan hari lalu. Gadis yang membuatnya berhenti mencari. Gadis yang membuat dirinya merasa sangat cukup. Gadis satu-satunya yang dia inginkan di dunia ini.
“Apa selama ini aku peduli akan semua itu? Tidak. Aku mencintaimu, mencintai dirimu. Bukan mencintaimu yang siapanya siapa, atau mencintaimu yang memiliki apa. Aku sungguh hanya mencintaimu, dan hanya butuh kamu, itu saja. Aku tidak peduli hal lainnya. Kau saja cukup, Reyna Shireen.”
Bulir-bulir bening mulai menggenang di pelupuk mata Reyna. Sampai ketika dia berkedip, cairan itu menetes, mengalir membasahi pipi putihnya.
“Bas ....”
“Menikah denganku, Reyna.”
Reyna membekap mulut dengan sebelah tangan, benar-benar merasa bahagia bahwa seseorang akhirnya menginginkannya. Tidak ada hal penting apa pun yang dia inginkan lagi di dunia ini. Dia hanya butuh Bastian, orang yang mencintai dan dicintainya.
“Ya, Bas. Aku mau menikah denganmu.”
***