Chapter 44 Keadaan Hafizah.

1832 Words
Zean merasakan peri di hatinya, setelah kepergian Ryan beberapa hari. Dia selalu berdoa untuk keselamatan lelaki itu. Malam-malam dilaluinya dengan mengingat kebersamaan mereka, tapi saat orang yang di rindukannya pulang, Zean merasa bodoh karena mengharapkan cinta dan hati lelaki yang tidak menganggapnya sama sekali. Kret. Pintu kamar terbuka, airmata yang lolos segera di sekanya, wanita itu duduk menghadap ke jendela. Dia tidak siap untuk bertemu dengan Ryan dalam keadaan rapuh seperti sekarang. “Aku kembali," ucap lelaki itu dan berjalan mendekat. Suasana menjadi canggung, Zean tidak menoleh ataupun menjawab ucapan suaminya. “Maaf jika membuatmu cemas, kami tidak bisa pulang karena terjebak di tempat yang aneh.” Ryan membagikan pengalamannya, dia berharap Zean mau mengobrol dengannya. “Kau tahu, kami hampir mati di lembah. Tempatnya indah dan begitu banyak makanan dan buah, kata Bang Fahmi aku dan Juna seperti orang bodoh yang terus tertawa karena memakan buah yang ada di sana.” Lagi Zean tidak peduli dengan apa yang Ryan sampaikan. “Kami di ikat semalaman karena terus bertingkah konyol." Ryan merasa lemas. Lelaki itu mengembuskan napas lelah. "Zeana apa kau marah padaku?” Pertanyaan itu makin menghancurkan perasaan Zean. “Aku memikirkan mu sepanjang waktu, aku bisa jelaskan tentang malam itu jika …,” Zeana berdiri, dia tak sanggup mendengarnya. Wanita itu tak nyaman dan ingin segera pergi. “A-aku akan memeriksa luka Fizah.” Bergetar bibir itu berucap. Zeana berjalan keluar tetapi Ryan tak mengizinkannya pergi. Dia memegang erat tangan istrinya dan menariknya dalam pelukan. Pintu yang tadinya terbuka kembali tertutup. Zean terkejut dan berusaha melepaskan diri. “Apa yang kau lakukan?” Deru napas Ryan terdengar memburu, pemuda itu terpejam dan menenggelamkan wajahnya di leher jenjang milik istrinya. “Aku suamimu dan aku sedang terluka. Kenapa kau memikirkan dia yang sedang di urus oleh pelayan,” ucapnya serak. Zean menegang, tubuhnya gemetar dan jantungnya ber degub tak karuan. “Tolong lepaskan, sebaiknya kau mandi dan keluar menyusul kami. A-aku dan ibu akan menyiapkan obat untukmu.” Ryan tersenyum dalam hati. Sikap Zeana membuatnya hatinya berbunga-bunga. “Kamar mandinya di sana, ayo masuk dan mandikan aku.” Zean terbelalak dengan wajah pucat. Ryan tidak tahan untuk menggodanya. “Aku bercanda, baiklah aku akan mandi dan keluar menyusulmu.” Pemuda itu bersikap manis dan mencium kening wanitanya. Zeana mematung dengan pipi bersemu merah. Hal itu sangat lucu bagi Ryan. Tanpa ingin membuang kesempatan, Ryan segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. “Itu tadi apa? Kenapa aku mau saja di perlakukan seperti itu.” Zeana kesal, hati dan pikirannya tidak berjalan seiras, saat rasa kecewa mendera. Tubuhnya bahkan tidak menolak lebih keras saat Ryan mendekapnya. ** Zeana berjalan keluar, dia tak sengaja mendengar pembicaraan Raz dengan datuknya. “Raja dan Fahmi harus melawan Rogiles sendirian demi menyelamatkan gadis itu juga demi kedamaian negeri kita. Hanya mereka yang bisa, walau resikonya begitu besar," ucap Raz. “Aku tahu, kita bisa saja kehilangan mereka dalam pertempuran, apalagi ilmu bela diri keduanya sangat tidak bisa di andalkan.” Zeana tertunduk mendengarnya, dia tahu hari itu pasti akan datang. Zeana berjalan keluar menuju taman, Fizah tampak tenang dan di jaga oleh Bu Laksmi. “Zean, kau di sini. Duduklah Nak.” Hubungan antara Zean dan Bu Laksmi semakin dekat. "Iya, Bu." Bu Laksmi sedang menyuapi Hafizah, dia mencoba berulang kali tapi wanita itu tidak juga membuka mulut. “Ibu takut dia akan sakit jika begini terus.” "Mungkin menunya harus di ganti, Bu," usulnya. "Ya, mungkin saja." Juna dan Malik bergabung di meja mereka. Ibunda Zeana datang membawa empat gelas ramuan yang di percaya mampu menyembuhkan luka dari dalam. “Dimana Ryan dan Fahmi?” Bu Laksmi celingak-celinguk mencari anak-anaknya. “Mereka menemui Tuan Raz,” ucap Malik dan menyambar ramuan miliknya. Zean tertegun sejenak. Dia memikirkan untuk bicara secara pribadi dengan suaminya nanti. Dalam sekali tarikan napas, Malik menghabiskan minuman dalam gelas. Cairan hijau kental yang baru di peras terasa sangat pahit di tenggorokan. “Uhuk uhuuk, ibu apa kau tidak menambahkan gula?” Sang ibunda hanya tersenyum. “Tahan, setelah tiga menit kau boleh meminum madu yang ada di sampingmu.” Malik merinding, bulu kuduknya berdiri dan rasa pahit naik ke ubun ubun. Juna yang menatapnya merasa ngeri. “Juna minuman mu jangan hanya di lihat, Nak.” “Aku bisa menahan rasa sakitnya,” ucap Juna berkilah. Sang ibunda begitu tegas, hanya lirikan mata yang dia berikan dan Juna langsung meneguk minumannya dengan wajah meringis. Urat-urat di leher pemuda itu terlihat menonjol. Juna menahan diri untuk tidak memuntahkan cairan itu. “Bu, berikan madunya. Kasihan dia,” ucap Malik. Juna tak tahan lagi dan Zean mengasihaninya. Pemuda itu menghabiskan madu yang tersisa. “Kalian adalah lelaki-lelaki tangguh, terimakasih sudah menemani Fahmi dan Ryan.” Malik dan Juna tersenyum tulus pada Bu Laksmi. “Sudah jadi tugas kami, Bu. Mereka juga adalah sahabat kami.” Bu Laksmi menatap ibunda Zean. Makin ke sini dia semakin percaya jika manusia serigala tidak sekejam itu. Walau semasa hidup suaminya. Dia tak pernah mengetahui tentang jati dirinya. Bu Laksmi bersyukur karena sang suami di kenal sebagai pria yang baik. Ryan dan Fahmi datang menghampiri, luka di lengan Ryan begitu menonjol mencuri perhatian Zean. “Minuman mu,” ucap Juna dan menyerahkan segelas ramuan untuk Ryan. “Terimakasih.” Lelaki itu langsung mengambil tempat di samping istrinya, Fahmi duduk di samping Fizah yang diam sedari tadi. “Tuan Raz bicara apa?” tanya Malik memulai obrolan. Ryan dan Fahmi saling menatap. “Tidak ada, beliau hanya meminta kami untuk latihan bersama pasukan mulai hari ini,” ucap Ryan dan meneguk ramuan itu. Rasa pahit membuat lidahnya keluh. Merasa kasihan, Zeana spontan mendekatkan gelas yang berisi madu. “Zeana menyiapkan ramuan itu khusus untukmu,” goda Juna. Sang kakak tentu saja langsung melotot. Dia ingin berkata jujur tapi sang ibunda memegang bahunya. “Benarkah, terimakasih istriku.” Ryan meminumnya dan menahan rasa pahit itu. “Minumlah madunya, Nak. Madu dapat menetralkan kembali indra perasaan.” Sang ibu mertua menawarkan. “Aku merasa ramuannya begitu manis, Bu. Senyum Zeana sudah cukup untukku.” “Aiih,” Juna dan Malik gemas melihat tingkah Ryan. “Ehmm.” Fahmi tersenyum dan melirik ibunya. Semua orang sangat senang dengan hubungan mereka. “Cinta memang mengalahkan semua rasa, aduh. Beruntung Ka Zean mendapatkan suami yang pengertian.” Juna terus menggoda membuatnya mendapatkan lirikan tajam dari sang kakak. “Bagaimana dengan Fizah?” Fokus Ryan dan Fahmi kini pada wanita itu. Zean kembali menatap suaminya. Rasa cemburu terpatri kuat di hatinya. “Dia belum makan dari tadi, juga tidak bicara dan tidak melakukan apapun. Ibu jadi khawatir melihatnya.” Fahmi mengenggam tangan Hafizah, seperti omongan ibunya barusan wanita itu tak merespon. “Aku akan membawanya masuk, Ryan mungkin Abang butuh bantuan.” Netra Zeana membesar mendengar ucapan Fahmi. “Baik, Bang.” Ryan bangkit dan Zeana reflek memegang tangan suaminya. Dia tidak mengizinkan Ryan pergi. Apa yang dilakukan Zeana membuat semua orang terkejut termasuk Ryan. “Aku hanya meminjamnya sebentar Zean. Percayalah dia akan kembali dengan utuh,” ucap Fahmi. "Bang." Ryan menatapnya. "Oke, aku duluan." Fahmi berjalan duluan. Zeana melepas tangan suaminya dengan berat hati. “Bagaimana jika aku yang membantumu?” ucap Malik. Pemuda itu sangat menjaga hati saudarinya. “Tidak, biar kami saja. Ryan dan Fizah sudah seperti keluarga. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi di dalam sana.” Ryan tidak mengerti dengan ucapan Fahmi, tetapi dia percaya sepenuhnya pada abangnya. “Bu, tunggulah di sini bersama Zean.” "Baiklah, sana bantu abangmu." Mereka membawa Fizah masuk, Ryan menuntun wanita itu dan Fahmi meminta pelayan menyiapkan sesuatu. “Kasihan juga jika Fizah tidak bisa makan sesuatu, dia bisa saja sakit,” ucap Juna. Malik memperingatkan adiknya agar berhenti bicara. “Ibu yakin, Fahmi dan Ryan memiliki solusi untuk itu. Kalian tenang saja.” Ibunda Zeana mencairkan suasana. “Bagaimana kalau tidak?” ucap Bu Laksmi merasa tak yakin. Zeana menghela napas panjang. “Aku akan memeriksanya untuk ibu.” Hati Zeana tak tenang, dia tak bisa tinggal diam. Zeana memutuskan untuk menyusul mereka. “Eh!” Malik dan Juna akan menghentikannya. “Biarkan saja, biar Zeana membantu mereka,” ucap sang ibunda, ** Pesanan yang di bawa pelayan menjadi alasan Zeana untuk mengetuk pintu kamar Fahmi. Tok tok tok. Ryan datang membukanya, alangkah terkejutnya dia saat melihat istrinya berdiri di depan pintu. Pandangan keduanya beradu. Zeana tidak ingin di tolak dan dia pun menerobos masuk. Zeana hampir menjatuhkan daging yang dia bawa saat melihat rupa Hafizah. “Kau, kenapa kau di sini?” Fahmi menatapnya dengan seksama. Wanita itu sangat keras kepala baginya. Penutup mata Fizah terlepas dan itu membuatnya berubah menjadi buas, taring-taringnya tampak tajam dan dia sangat lapar. “Awas!” teriak Fahmi. Fizah melompat ke arah Zean saat melihat daging segar yang dia bawah. Zean yang tidak siap saat Fizah menyerangnya membuat wanita itu hanya mematung. Fahmi dan Ryan bergegas menolong. Kekuatan Fizah sangat kuat, dia hanya fokus ke makanan dan menyerang siapa saja yang dia anggapnya akan merebut makanan itu. Ryan tak bisa menyakiti Fizah dan dia juga tak bisa melihat istrinya terluka, pemuda itu memilih merebut nampan yang di bawah istrinya. Hal itu sontak saja membuat dirinya mendapatkan cakaran. Slet, slet slet. “Achh,” Ryan menahan rasa sakitnya. Zeana tepat berada dibelakang punggung lelaki itu. Darah segar menetes dan Fahmi memeluk Fizah dari belakang. “Suap kan dagingnya,” ucap Fahmi. Ryan yang mendengar itu segera menjejalkan daging dengan potongan besar di mulut Fizah. Wanita itu lantas memakan makanannya dengan lahap. “Kau tidak apa-apa?” Fahmi menyentuh luka Ryan. “Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir.” Zeana kini mengerti kenapa Fahmi hanya meminta Ryan untuk menemani. Wanita itu gemetar dan masih tak percaya. “Maafkan aku, aku hanya, … .” Ryan tersenyum menahan perih di tangannya. “Tidak apa-apa, aku senang kau tidak terluka.” Fahmi hanya bisa menggeleng. Zeana tak cukup mengenal karakter adiknya. Dia tidak seperti Hafizah yang percaya penuh pada pasangannya. “Hanya dengan cara ini dia bisa makan. Jadi, jika Bang Fahmi memintaku datang. Ku harap kau mau menunggu di luar.” Zeana mengangguk tanpa sadar. Wajah bersalahnya membuat Ryan semakin luluh. Fizah akan sangat di luar kendali saat dia sedang lapar. Fahmi terus memberinya makanan, memandanginya dengan jarak dekat. “Fizah ini aku, apa kau tidak mengenaliku?” Fizah terus makan dan mengabaikan Fahmi. Ryan dan Zeana menatap mereka. “Lihat, bagaimana Bang Fahmi mencintainya. Hafizah menerima dirinya apa adanya. Mempercayai cintanya dan memilih tinggal bersama kami. Aku mengasihinya karena ibu sudah menganggap Fizah seperti putrinya, jadi jangan pernah berpikir jika kau dan dia sama.” Zean terdiam mengartikan ucapan suaminya, ungkapan tadi membuatnya bingung. Setelah selesai makan, dengan cepat Fahmi menutup kembali mata Hafizah. Potongan daging yang ada di tangannya jatuh begitu saja. Fizah menjadi lemah dan jatuh di pelukan Fahmi. “Aku rasa sekarang kau tidak lagi membutuhkan bantuan," ucap Ryan. Lelaki itu membawa Zeana keluar. Pemandangan tadi membuat Ryan dan Fahmi merasa sangat sedih. Mereka tidak hentinya merasa sangat bersalah pada Hafizah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD