Hari berganti malam, ruangan tempat Fahmi di sekap kini telah gelap gulita. Tidak ada cahaya dan tidak ada yang datang untuk melihat keadaannya. Dua hari dua malam tersekap, tanpa makanan dan air membuat pemuda itu semakin lemah.
Fahmi terbaring tidak berdaya, tak ada kekuatan baginya bahkan untuk membuka mata.
'Mereka benar-benar kejam,' batinnya, tenggorokannya pun kering.
Tap
Tap
Terdengar langkah kaki mendekat, setelah itu, seseorang muncul membukakan pintu.
Ceklek.
Juragan Broto datang bersama dengan kedua anak buahnya. Lelaki itu menyeringai dengan senyuman licik.
Klik, lampu dinyalakan, seketika ruangan menjadi terang. Fahmi berusaha membuka mata.
"Wah, ternyata tawanan kita sudah terkapar," ucapnya lelaki tua itu.
Sang juragan berjongkok dan menusuk tubuh Fahmi dengan tongkatnya, lelaki itu bertingkah seolah Fahmi adalah kotoran yang siap untuk disingkirkan.
"Aku berharap kau mendapatkan pelajaran. Dengar, aku cukup mahir untuk membunuh orang. Tak ada yang curiga karena biasanya korban mati kelaparan dan tak berdaya sama sepertimu, ha ha haa," Tawa Sang Juragan dan anak buahnya menggelegar. Mereka sangat bersenang-senang melihat Fahmi terkulai di lantai.
"Aku tahu kau masih sadar, aku akan berbaik hati dan memberi kesempatan untuk terakhir kalinya. Katakan dimana Fizah dan kau akan bebas."
Fahmi tak menggubris, dia tak ingin membuat juragan itu naik pitam.
"Lebih baik katakan atau kau akan menyesal," ucapnya sombong.
Fahmi membuka mata perlahan, tenggorokannya sangat kering hingga dia kesusahan untuk bicara.
"W-walau ku katakan kau takan bisa kesana," ucapnya lemah.
Juragan Broto bangkit dan memukulkan tongkatnya di lantai
Bug.
"Tak ada tempat yang tak bisa ku datangi. Aku orang sugi, kau hanya orang kampung. Jangan bermimpi untuk memiliki Fizah," Juragan Broto mundur dan duduk penuh kuasa di atas kursi.
Lelaki tua itu memberikan kode kepada dua anak buahnya untuk menghajar Fahmi.
Pemuda itu sangat sadar dengan apa yang di lakukan Sang Jurangan.
'Sungguh tak beradab, aku sudah lemah begini. Tapi mereka masih tidak berhenti untuk menyiksaku,' batinnya
Kedua orang itu mendekat dan siap untuk menghajar.
Tiba-tiba suara lolongan serigala menggema ke seluruh ruangan. Seolah serigala itu berada di balik bangunan rumah.
"Auw ... auw ... auw ....," Suara serigala mengeram melolong panjang membuat orang-orang yang mendengarnya bergidik.
"Juragan, suara apa itu juragan," Kedua Preman yang akan menghajar Fahmi kini ketakutan.
"Bodoh! Apa kalian tidak dengar, itu cuma suara serigala. Serigala itu adanya di gunung." Gertaknya
Fahmi bisa melihat bagaimana Juragan itu gemetar
"Kau, tahu?" ucap Fahmi
Tatapan Sang Juragan yang memindai isi ruangan menoleh kearah pemuda itu.
"Aku adalah penduduk kampung gunung serigala dan Hafizah berada disana, dia aman dan di lindungi. Dan seperti cerita yang tersebar, para leluhur akan datang jika mengetahui warganya dalam keadaan bahaya. Dia datang untuk membebaskan aku dari sini,"
"PEMBOHONG!" Juragan Broto geram melihat Fahmi.
"Kampung itu tak pernah ada. Kampung itu hanya mitos. Kau mencoba menipuku, hah. Itu tidak akan berhasil,"
Bug, tangan lemah itu menggebrak meja.
Fahmi tersenyum, meski tubuhnya sudah sangat tak berdaya.
"Kalau begitu, kau lihat saja apa yang terjadi di luar, buktikan bahwa ucapanku salah," tantangnya.
Kedua Preman itu saling bertatapan, mereka ketakutan mendengar suara serigala yang semakin mendekat.
"Kalian, cepat periksa!" titah sang Juragan memberi kode kepada anak buahnya.
"Tapi, J-Juragan." Anak buahnya ketakutan hingga bicara pun terbata-bata.
"Pergi!" Sentaknya dengan mata melotot.
Kedua Preman itu gemetar dan berusaha menelan salivanya,
"B-baik, Juragan,"
Perlahan tapi pasti, mereka pun mendekati pintu. Keringat bercucuran di kening kedua penjahat itu. Gemetar tangan salah satu dari mereka yang meraih handel pintu dan membukanya.
Ceklek.
Sesuai ucapan Fahmi, seekor serigala hitam berada di sana dengan tatapan beringas bersiap untuk mencabik-cabik lawannya.
Serigala hitam itu mengeram. Memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. Dengan sekali cakar kedua preman yang ada di hadapannya jatuh bersimbah darah.
Juragan yang melihat hal itu, lantas berdiri ingin kabur tapi sayang langkahnya di hadang sang serigala hitam yang begitu emosi.
"Ampun, aku mohon ampuni aku. Biarkan aku hidup, aku janji tidak akan menganggu Fizah lagi. Aku tidak menginginkannya lagi," ucapnya tersungkur bersujud memohon di lantai.
Fahmi menatap sang serigala. Dalam hati kecilnya dia merasa lega.
"Tidak semudah itu," ucap Fahmi membidik lawan bicaranya.
Pemuda itu merasa bersemangat setelah melihat sang adik datang untuk membantu.
"Ku dengar kau sering menyesengsara kan warga. Memberi pinjaman dengan bunga yang lumayan, membawa anak gadis mereka sebagai pemuas napsu. Sepertinya kedatangan kami adalah doa dari orang-orang yang sudah kau zolimi."
Mendengar ucapan Fahmi, Sang Serigala murka dan bersiap untuk menerkam lelaki itu.
"Tahan!" Fahmi berusaha menghentikannya.
"Biarkan dia hidup," Serigala itu nampak kecewa mendengar ucapan Fahmi.
"Terimakasih," Juragan Broto lalu mendekat dan membuka semua ikatan yang melilit tubuh Fahmi
"Kau harus mengembalikan semua harta rampasan mu. Bebaskan mereka dari bunga yang mencekik, jika kau tak menuruti ucapanku. Serigala itu akan senang mengunjungimu jika kau ingkar,"
Wajah sang Juragan berubah pias, dia pun mengangguk dengan cepat.
"Aku berjanji, aku akan melakukan semua perintah mu."
"Bagus, tolong sampaikan juga pada keluarga Hafizah. Aku akan menikahi keponakannya, suka atau tidak. Aku tidak peduli," Fahmi bangkit dan menggapai tas ranselnya. Lelaki itu sangat lemah dan berusaha menaiki sang Serigala.
Dia begitu lemah, rasanya perjuangannya hanya tinggal sedikit lagi.
Serigala hitam itu sangat khawatir melihat keadaan Fahmi, emosinya tersulut dan ingin sekali menerkam lelaki tua yang telah menyiksa saudaranya.
"Germm," Tatapan Serigala itu sangat menakutkan.
Juragan itu sampai menyembunyikan wajahnya karena takut melihat gigi-gigi tajam yang dimiliki sang serigala.
"Ayo, pergi," bisik Fahmi.
Serigala hitam itu bergegas dan meninggalkan tempat itu, beberapa warga melihat mereka dan wujud Ryan. Tapi, Ryan tidak risih maupun peduli.
Dipikirannya saat ini hanyalah menyelematkan Fahmi, Ryan berlari sekencang mungkin.
Mereka meninggalkan kampung Fizah, dengan cepat melewati perbatasan. Ryan bersiap untuk berbelok menuju kampung gunung serigala tapi Fahmi menghentikannya.
"Di sini saja, Yan." Ryan berhenti dan menurunkan Fahmi dengan hati-hati. Pemuda itu kembali ke wujudnya sebagai manusia.
"Ada apa, Bang? apa kau baik-baik, saja?" Ryan cemas takut terjadi sesuatu.
"Tentu saja aku baik. Aku ini Abangmu. Kita cari penginapan di luar. Ini bukan waktu yang tepat untuk pulang Ibu akan cemas melihat keadaanku."
"Tapi, Bang?" Ryan tidak setuju dengan ucapan Fahmi.
"Tolonglah, Yan. Jangan ajak aku berdebat kali ini."
Ryan tidak bisa menolak keinginannya.
"Baiklah, apa kau masih bisa berjalan?"
"Aku hanya butuh air."
Ryan mencari air dari ransel yang dibawa oleh Fahmi lalu menyerahkannya. Pemuda itu meminumnya dengan cepat.
Gleg gleg gleg
"Pelan-pelan, jangan sampai kau tersedak."
"Aku hampir mati disana. Kenapa kau bisa tahu aku ada di kampung itu?" tanya Fahmi, pemuda itu senang karena Ryan datang tepat pada waktunya. Tidak ada lagi kemarahan di hatinya. Semuanya seolah sirna saat melihat kepedulian Ryan yang rela menerobos desa demi dirinya.
Permusuhan diantara mereka menguar seketika.
"Aku mengunjungi ibu. Ibu bilang kau ke kampung Fizah sendirian. Aku meminta alamatnya. Tapi, Fizah tak mau memberikan. Tepatnya dia tak mau keluar memberikan alamat rumahnya. Sepertinya dia menghindari aku,"
Fahmi tersenyum mendengar cerita Ryan.
"Jangan salahkan dia. Dia adalah Calon Kakak Ipar mu," Fahmi bertumpu pada bahu lelaki itu.
"Apa dia sudah tahu siapa dirimu?" Ryan tidak ingin Fahmi patah hati seperti dirinya.
"Ya dan dia menerimaku,"
"Tidak mungkin," Ryan menggeleng tidak percaya.
"Tidak ada yang tidak mungkin, kau hanya perlu bicara dengan Nina. Percayalah jika Nina jodohmu dia akan menerimamu," ucap Fahmi menasehati.
"Cerewet kau, Bang." Ryan kesal mendengarnya.
"Beneran, Yan."
Ryan hanya diam. Nasibnya tidak se mujur nasib Abangnya.
"Sudahlah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari penginapan di kampung berbeda. Setelah kondisimu pulih, kita akan langsung pulang."
Fahmi mengangguk setuju.
Setelah bertanya pada penduduk setempat, mereka akhirnya menemukan penginapan.
Mereka menyewa satu kamar. Dan hal pertama yang di minta oleh Fahmi adalah pesan makanan.
Naasnya, tidak ada makanan yang tersedia di penginapan itu.
"Kau istrahatlah, Bang. Biar aku yang carikan makanannya," ucap Ryan pamit untuk keluar.
"Baiklah, hati-hati."
Menunggu Ryan kembali, terasa sangat lama bagi Fahmi.
Lelaki itu terbaring di atas kasur.
"Setidaknya, aku tidak mati di tempat mengerikan itu," Fahmi bergidik membayangkan apa yang baru saja di laluinya.
Tak lama Ryan datang dengan dua nasi bungkus.
"Aku hanya bisa dapat ini, Bang." Ryan menyerahkan makanan itu.
"Tidak apa-apa, ayo makan bersama."
Fahmi menikmati makanannya dengan lahap sedang Ryan kini tengah melamun.
"Kok lama, Yan. Lalu itu untuk apa, kenapa pake penutup wajah, segala?" tanya Fahmi.
Ryan melepaskan syalnya.
"Bang, tadi saat aku antri beli nasi aku ketemu dengan Nina."
Fahmi terkejut. Lelaki itu menghentikan suapannya.
"Terus?"
"Dia bersama seseorang," ucapnya lemah.
Ryan begitu sedih membuat Fahmi menyadari satu hal.
"Laki-laki?"
Adiknya mengangguk.
"Makanlah dan istrahat, besok kita luruskan masalahmu."
"Tapi, Bang, ...." ucapannya terpotong saat Fahmi melotot ke arahnya.
"Aku ini, Abangmu."
Ryan mengalah dan menghabiskan makanannya