Rumah kontrakan Pak Haji Anwarudin suaminya Mama Elsa memang sangat nyaman, karena pemiliknya sangat baik. Pak Haji sudah kuanggap pengganti bapakku yang telah tiada. Keduanya teramat sayang pada kami. Makanya sangat aneh jika Tristan tiba-tiba cemburu pada Mama Elsa.
Setiap ada kesempatan aku dan Pak Haji biasa ngobrol di kebun atau di saung kolam ikan yang lokasinya tak jauh dari kontrakan. Apapun selalu menjadi seru saat kami diskusikan. Dari mulai tetangga yang menggiurkan samai yang menjengkelkan, harga ikan mas yang flluktiatif, sampai nama-nama bakal calon Presiden Indonesia 2038.
Pak Haji mengaku masa mudanya dilewati dengan menyandang status playboy cap onta yang paling banyak menaklukan gadis, janda maupun bini orang. aku teramat percaya karena jika dilihat dari tampang dan gaya bicaranya memang sangat layak menjadi sang casanova gaek.
Seperti pagi menjelang siang kali ini. Aku dan Pak Haji sudah sejak tadi berdiskusi tentang Pak Jokowi yang sangat sederhana namun sangat dicintai rakyatnya hingga lebih dari 80%.
Diskusi kami makin hangat ditemani kopi, rokok dan talas goreng buatan Tristan. Pak Haji selalu senang menikmati sajian yang disuguhkan Tristan, walau kadang aku yang memasaknya. Menurutnya serasa dilayani oleh anak bungsunya yang saat ini sedang kuliah di Mesir.
Obrolan seru kami, terpaksa berhenti karena ada teriakan-teriakan dua wanita yang lumayan keras. Dan sepertinya kegaduhan itu berasal dari rumah kontrakanku. Aku menduga Tristan sedang ribut dengan seseorang, mungkin Mbak Winda.
“Siapa itu yang ribut, Fan?” tanya Pak Haji kaget.
“Sepertinya suara istti saya, Pak Haji!” jawabku sambil bangkit dari duduk dan berpamitan. Lalu bergegas setengah berlari menuju rumah yang berjarak kurang lebih dua puluh meter dari saung kebun tempat kami diskusi.
Kedua daun telingaku berdiri tegak untuk memastikan suara keributan yang ternyata memang terjadi di rumahku. Dan seketika itu pula tubuhku mendadak tegang saat tiba di halaman dapur. Beruntung hampir semua tetangga sedang tidak ada. Sudah biasa ketika liburan mereka selalu jalan-jalan ke pusat kota.
Degup jantung kian bertalu-talu, napas turun naik tak beraturan karena sangat kenal dengan suara seseorang yang sedang beradu mulut dengan istriku.
"Mama sudah tidak mau lagi ngeliat si Arfan, titik!" Suara Tante Melia meninggi. Apa yang paling aku takutkan sepertinya akan benar-benar terjadi.
"Ma, kami ini anak dan menantu Mama. Saat ini hidup kami memang seadanya. Tapi kami tidak pernah merepotkan kalian? Kami sudah bahagia dan hidup mandiri di sini. Masalah buat kalian apa?" sanggah Tristan pada mamanya.
"Kamu pikir mama dan papa tidak malu jadi gunjingan semua orang. Mereka menuduh kami orang tua yang tidak bertanggung jawab pada anaknya." Tante Melia menangkis ucapan anaknya.
"Bukankah sekarang ada Arfan yang bertanggung jawab atas diriku? Dan bukankah kalian mengatakan sudah lepas tanggung jawab sejak saat mengusir kami?" Tristan tak mau mengalah.
"Semua orang tahu bagaimana sengsaranya kamu sjak menikah dengan lelaki tak berguna itu. Kamu pikir kami bisa tidur nyenyak atau lepas tanggung jawab melihat keadaan kamu seperti ini?" Suara Tante Melia tak kalah garangnya.
"Astagfirullah, Ma! Saat ini kami memang sengsara, tapi kami bahagia. Bisa mandiri tanpa merepotkan siapapun. Kami bahkan tinggal di tempat yang jauh, gak ada tetangga mama yang tahu!" Tristan tetap bertahan.
“Tapi banyak kenalan dan tetangga mama yang tahu kalau sekarang kamu jadi pelayar di BFC. Apa itu tidak memalukan kami sebagai orang tuamu, Tristan?”
“Ma, tolong hargai aku. Kerja jadi pelayan di BFC itu halal. Aku sangat menikmati pekerjaan dan bangga menjadi bagian mereka. BFC restoran cepat saji yang cukup bonafid terkenal dimana-mana. Malunya di mana?” Tristan terus melawan.
"Menurut kamu baik-baik saja, tapi kenyataannya kami yang jadi korban, Tristan!"
"Korban apaan?" Tristan sepertinya masih bingung dengan pernyataan mamanya.
"Korban perasaan! Semua orang menggunjingkan kami. Kamu belum puas mempermalukan orang tua? Mereka hanya tahu kamu sekarang hidup miskin, sampai harus jadi jongos restoran, sementara kami hidup makmur.”
"Ma, mengapa baru sekarang mama memikirkan itu? Bukankah…”
"Tristan, waktu itu kami sangat emosi karena benci sama si Arfan. Sekarang kami tidak peduli dengan nasib dia. Yang kami pedulikan nasib kamu. Mama ingin kamu segera tinggalkan lelaki sialan itu dan kembali pulang.”
"Ma! Aku tidak mungkin meninggalkan Arfan. Dia suamiku yang sah. Kalau kalian ingin aku pulang, maka harus menerima Arfan sebagai suamiku sekaligus menantu kalian!”
“Tidak bisa! Si Arfan beda derajatnya dengan keluarga kita, Tristan. Dia orang gak jelas, gelandangan tak punya masa depan, sedangkan kita, keluarga kaya raya yang terhormat. Jangan kamu rendahkan martabat keluarga kita!”
“Aku tidak bisa. Aku sudah sangat bahagia hidup bersama dengan Arfan, Ma!”
"Omong kosong! Sejak kapan kamu bahagia tinggal di rumah yang seperti kandang kambing ini! Si Arfan tidak mungkin menjadi bagian keluarga kita, TITIK!"
"Astagfirullah, Ma!" Tristan menyela.
"Kamu jangan memaksakan diri jadi istri lelaki yang tidak mampu memberi kamu nafkah yang layak. Si Arfan itu tidak ubahnya sepotong kayu lapuk yang tidak ada gunanya sama sekali!"
“MAMA!" teriak istriku.
"Memang kenyataannya begitu! Tak ada yang bisa dibanggakan dari orang kampung yang hanya anak janda msikin tukang pijat. Untuk apa kamu berkorban demi lelaki yang tidak berguna itu?” Suara Tante Melia melengking.
Sebenarnya aku ingin menghambur masuk ke dalam rumah untuk membela istriku dari serangan mamanya. Namun teringat pesan Tristan yang selalu melarangku menemui mamanya agar tidak terjadi pertengkaran yang lebih hebat.
Aku hanya bisa menarik napas panjang. Berusaha menahan emosi yang hampir meledak tak terkendali. Haruskah aku bongkar siapa sesungguhnya Tante Melia? Ah sepertinya aku masih butuh waktu yang tepat.
"Tristan, mama sudah capek berdebat dengan kamu. Mulai sekarang kamu gak usah terlalu berlebihan ngebela si Arfan. Minggu ini juga kalian harus cerai. Mama dan Papa sudah menyiapkan jodoh yang terbaik buat kamu!"
"TIDAK!" Istriku menolak keras, “Aku membenci Haykal, dia bukan lelaki jantan, Ma!” tangkis istriku.
"Tidak ada penolakan. Bukan dengan Haykal. Tapi dengan Om Rafael. Dia akan membawamu dalam kehidupannya yang makmur dengan segala fasilitas mewahnya. Dia bahkan mengizinkan kamu melanjuntukan lagi kuliah. walau statusnya sudah menjadi istrinya.”
“Hah, Om Rafael? Mama sudah gila? Tidak! Tidak! Tidaaaaaak!!" Tristan kembali menolak. "Aku tetap istrinya Arfan, dan akan ikut kemanapun dia membawaku!"
"Boleh! Tapi kembalikan semua uang yang pernah kami keluarkan untuk membiayai seluruh hidup kamu dari mulai lahir hingga hari ini.”
"Astagfirullah, Mama!" Suara istriku kembali tercekat. Aku yakin dia menutup mulutnya dengan tangan dan matanya pasti terbelalak tak percaya dengan ucapan mamanya yang mengungkit hal tersebut.
"Mampu gak si Arfan mengembalikan semua uang itu? Kalau tidak mampu, segera ceraikan dia dan kamu menikah dengan Om Rafael." Aku menduga Tante Melia bicara sambil memonyongkan bibirnya.
"Ma, Om Rafael itu sudah punya keluarga. Bagaimana dengan istri dan anak-anaknya?" protes Tristan.
"Hahaha, Om Rafael itu pengusaha sukses. Jangankan beristri dua, beristri sepuluh pun pasti sanggup menafkahinya. Bahkan lebih dari cukup. Apa lagi yang kamu risaukan, Tristan?"
Om Rafael, siapa lagi dia? Sepertinya Tristan sangat mengenalnya. Terus lelaki yang dulu dijodohkan dengan Tristan kemana? Apakah dia sudah menikah dengan sesama pria di Belanda sana?
"Ma, beri kami kesempatan untuk membuktikan bahwa kami mampu hidup layak!" Tristan terus bertahan.
"Cukup Tristan! Tidak ada lagi kesempatan buat si Arfan. Sudah lebih dari lima bulan mama dan Papa memberikan kesempatan pada kalian. Tapi apa hasilnya? Hidupmu semakin susah dan miskin. Orang tua mana yang rela melihat anaknya menderita seperti ini?" Tante Melia makin merasa berada di atas angin.
"Tapi aku bahagia hidup dengan Arfan, Ma. Dan kami sedang berusaha untuk lebih baik dari sekarang!"
"Berusaha apa? menjadi lebih baik gimana? Sudahlah Tristan, pokoknya minggu ini, mama ingin kamu pulang dengan status janda. Bersiaplah untuk melanjutkan kuliah dan menikah dengan Om Rafael. Ini kesempatan emas, selagi kamu belum punya anak dari lelaki sialan itu."
"TIDAK!"
"CUKUP TRISTAN! Gak usah berdebat dengan mama! Mau dibikin hidup enak malah gak mau, aneh sekali kamu ini! Mama tunggu keputusanmu dalam dua atau tiga hari ini. Kalau tidak, lihat saja, apa yang bisa dilakukan Papamu pada lelaki sialan itu!” bentak Tante Melia yang tak lama kemudian kudengar suara pintu dibanting. Tampaknya dia langsung pergi dan pulang.
Aku yang masih terhipnotis di halaman belakang, seketika terperanjat dan menghambur masuk lewat pintu dapur. Tristan menghambur memelukku dan aku pun membalasnya.
“Fan, kamu udah denger semua ya? Jangan dianggap omongan mama yang lagi kalap begitu, ya," ucap Tristan sambil menumpahkan tangisnya di dadaku.
"Sabar, Sayang. Ini sudah takdir kita. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Turuti lah kehendak orang tuamu. Yakinlah suatu saat kita akan bersama lagi," hiburku sambil menyeka air mata yang bercucuran di pipinya. Benar-benar tak tahu harus bersikap seperti apa.
"Fan, jangan ceraikan aku. Aku gak mau pisah dengan kamu, Sayang!" Tristan kembali merajuk, tak rela dengan keputusanku yang mungkin dia pikir sangat lemah ini.
"Sayang, percayalah. Ini semua demi kebahagiaan kita. Aku rela melepasmu dan jangan pernah menangis lagi. Yakinlah kesucian dan kesetiaan cinta kita akan tetap terjaga. Kelak kita akan kembali bersama dan bahagia untuk selamanya."
“Tapi aku tak akan pernah rela berpisah denganmu, Faaaan!”
“Aku sangat paham Sayang. Mari kita bicara dengan kepala dan hati yang dingin. Percayalah, tak ada setitik pun niat dalam hatiku untuk berpiah denganmu.”
Aku membimbing Tristan masuk kamar untuk bicara empat mata dalam keadaan tenang.
Hati siapa yang tak akan terluka. Ketika kami menolak untuk menikah, aku bahkan diancam akan dibunuh atau dimasukan penjara oleh Papanya Tristan. Namun setelah kami sama-sama menikmati manis madunya asmara, justru dipaksa harus berpisah dengan ancaman yang kurasa tidak akan jauh berbeda.
Sungguh tak adil rasanya dunia ini kepada kami.