Ultimatum Istri

1653 Words
"Fan, kamu jangan terlalu dekat dengan mahmud-mahmud ganjen itu. Nanti suami mereka cemburu atau salah paham, bakal timbul masalah besar. Ingat, kita orang baru di sini." Tristan mulai nyerocos saat baru tiba di rumah kira-kira jam setengah satu malam. Tampaknya dia mencium gelagat kurang baik dari para istri tetangga yang memang agak genit-genit gimana gitu. Atau mungkin mendapat bisikkan gaib nan jahat dari para penggosip yang tidak berbudi luhur. Semoga saja tidak termakan politik adu dombanya Mbak Winda si lambeh turah itu. "Aku selalu menjaga jarak dengan mereka. Tan. Lagian mana mungkin mereka mau sama aku. Hanya kamu satu-satunya wanita cantik di dunia ini yang mau jadi istri dari seorang lelaki miskin sepertiku," kilahku apa adanya. "Ya! saat ini kamu memang masih miskin. Tapi kegantengan kamu gak berubah, malah tambah oke. Belum ada saingannya di daerah sini. Makanya tak heran kalau mata mereka selalu jelalatan saat ngelihat kamu. Wanita mana yang tidak tergoda sama brondong seganteng kamu, Fan?" Tristan memegangi daguku lalu mencium bibirku dengan gemas. "Aku bukan brondong, Sayang. Aku ini suaminya Tristan Anggun Kristina. Wanita paling cantik dan shalihah yang saat ini sudah sah menjadi milikiku," ucapku setelah membalas ciumannya. "Hmmm, mereka tak akan peduli kamu milik siapa. Coba deh perhatiin saat mereka menatapmu, udah kaya orang kelaparan yang ngeliat nasi padang ditambah ayam bakar. Apalagi kamu sering aku tinggalin sendirian di rumah." Tristan tetap dengan prasangkanya. "Hmmm kenapa Sayangku jadi jutek and sensi gini cih? jangan-jangan cemburuan karena lagi ngidam nih, hehehe," godaku mengalihkan suasana hati Tristan yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja. "Wajarlah, aku kan istrimu. Aku tahu bagaimana aslinya kamu. Walau udah mantan, tapi tetap aja jiwa petualangmu akan bangkit lagi kalau ada niat dan kesempatan. Apalagi digodain kaya gitu!" timpal istriku seperti Bang Napi. "Iya Bang Napi, hehehe,” tanggapku santai. “Kenapa sih masih meragukan cinta dan kesetiaanku, Honey?" Mataku berkedip-kedip menggodanya. "Fan, aku itu tahu bagaimana gak berdayanya kamu saat sedang dilanda birahi. Kamu itu sangat gampang on, dan gak pernah puas kalau cuma dikasih liat doang!" Tristan terbelalak ngambek, namun justru terlihat makin cantik. "Oh my God! Sayang, kenapa jadi ketus begini? Apakah ada tanda-tanda atau gelagat kalau ini akan menjadi suami yang berselingkuh?" tanyaku mulai agak serius. "Belum sih, tapi…." Tristan tak melanjutkan ucapannya. "Sayang, aku sekarang udah jadi suamimu. Aku sudah sangat beryukur punya kamu walau keadaanku jauh di bawah standar keluargmu, jadi gak pernah tuh kepikiran buat ngekhianatin kamu!" Aku berusaha terus meyakinkannya, karena entah sudah berapa puluh kali mengucapkan kalimat itu. "Memang sih, tapi lingkungan di sini kan beda, Fan. Di kontrakan begini, pelakor itu kaya musuh dalam selimut. Seperti tak terlihat namun sebenarnya ada diantara kita. Kamu itu ‘Ayam Bakar’, alias ayah muda berbadan kekara, kamu pikir itu gak bikin para mahmud tak berakhlaq itu klepek-klepek?" Tristan merajuk. "Sayang, please jangan curiga terus dong, nanti malah kejadian bener loh. Tapi aku tetap senang kok dicemburin sana kamu. Asal jangan cemburu buta aja, hehehe." Aku tetap berusaha mencairkan ketegangan. "Aku gak cemburu buta. Tapi sudah ada selentingan yang masuk ke telingaku. Beberapa suami tetangga, mulai tidak suka dengan kehadiranmu di sini. Mereka ketakutan istri-istrinya tergoda sama kamu." Tristan bicara setengah berbisik. "Oh my God!" Aku hanya bisa bergumam sambil membelalakan mata dan speachless setelahnya. Ketika aku di rumah sedang sendirian, tak pernah berinteraksi secara khusus dengan istri-istri tetangga, kecuali ada hal yang mendesak. Namun mereka yang memang makin gencar menggoda, Tristan bahkan tidak tahu kalau teras depan menjadi ajang rumian tetangga saat dia kerja. Aku tidak mungkin mengusir mereka, walau jengkel dan sedikit terganggu karena keberisikannya. Tidak mau konfrontasi dengan tetangga lebih baik mengurung diri di kamar. Dan sikapku yang demikian pun masih saja dicurigai oleh para suami mereka. Ya, salam! Haruskah aku tidak ada di rumah saat Tristan sedang bekerja? Bukankah aku harus mulai membuka komunikasi dengan mereka yang bisa menjadi target pemasaranku? Di sisi lain aku memakluminya, Tristan mungkin capek dengan pekerjaannya, atau sedang galau karena perubahan status sosialnya. Biar bagaimanapun dia harus bersusaha keras untuk bisa beradaptasi dengan keadaannya yang sangat jauh berbeda dengan saat dia tinggal bersama orang tuanya. Riak-riak perdebatan seperti itu memang sudah lumrah terjadi dan biasanya berujung dengan pertengkaran kecil. Kalau menurutku semua bermuara pada hal sepele yang semestinya tidak perlu diperdebatkan. Tristan pernah juga cemburu pada Mama Elsa istrinya Pak Anwar sang pemilik kontrakan. “Fan, mulai sekarang kamu jangan pulang ke rumah kalau aku belum pulang ya. Kamu juga gak usah bantu-bantu Mama Elsa lagi,” ucap Tristan tiba-tiba, sepertinya dia bisa membaca isi kepalaku. Nasi goreng spesial yang disuguhkan istriku dan sedang aku kunyah pun nyaris saja menyembur dari mulutku. Untung saja tangan kananku refleks menutup mulutku. Dengan wajah melongo serta mata sedikit terbelalak aku bertanya padanya, "Why?" "Gak enak sama omongan tetangga. Mereka mulai curiga kedekatan kamu sama Mama Elsa ada apa-apapnya." Tristan menjawab tak acuh seraya mengunyah nasi gorangnya. "Oh s**t!" Aku makin terbelalak. "Dan kamu lebih percaya omongan orang lain?" Mataku makin membesar menatap wajah Tristan yang terlihat sangat anggun walau masih tersisa raut kelehan di sana. Tristan menggelengkan kepalanya pelan. “Gak terlalu percaya. Cuma demi menjaga kehormatan keluarga kita, sebaiknya jangan main api. Lebih baik jaga jarak atau kamu akan terbakarnya," ucapnya sesaat sebelum menyesap teh hangat yang dengan sangat spesial aku tambahkan sejumput gula pasir dan sekarung cinta untuknya. "Tan, aku gak pernah bermain api dengan Mama Elsa atau siapa pun. Kecuali kalau lagi masak mie rebus. Itu pun main apinya sendirian kok, hehehe." Aku mengklarifikasi dengan candaan agar pembicaraan di malam yang dingin ini tidak berubah menjadi kemarahan yang panas membara. "Saat ini mungkin belum, tapi lama kelamaan kalau terus bersama, siapa yang bisa menjamin? Lagian ikut dengan dia juga gak terlalu berpengaruh. Uang yang kamu terima pun tidak seberapa. Bahkan tak cukup buat sekedar membeli token listrik." Tristan bicara tanpa perasaan. "Asragfirallah! Kamu bicara apa, Tristan?" tanyaku sambil menenangkan degup jantung yang tersentak. "Ngomong apa adanya, Arfan." Tristan menjawab simpel. "Apakah kamu sudah tidak nyaman bersuamikan aku lelaki miskin?" Aku kehabisan akal dan pasrah sambil membentangkan kedua tanganku. Selera makan tengah malamku pun terbang entah kemana. "Arfan, Sayang. Kamu jangan salah paham. Karena aku ingin tetap jadi istrimu, gak mau kehilangan kamu, makanya aku melindungi keutuhan rumah tangga kita." Tristan menatapku serius, senyum manisnya kembali terbit di bibir indahnya. "Aku gak mau kamu diterpa gosip yang akan mengganggu ketenangan kita. Aku hanya jaga-jaga sebelum semuanya terjadi.” Tristan menjeda ucapannya, sementara aku masih terdiam. “Aku tidak mau kamu terjerat syahwat para tetangga yang mungkin sebenarnay mereka adalah pelakor yang sedang ancang-ancang ngerebut kamu dari aku!" tegas Tristan dengan kalimat yang sangat lugas. "Aku bisa aja gak membantu Mama Elsa, Tan. Apakah kamu berani bicara dengan beliau? Kalau aku sih gak enak hati. Bukan uang yang aku cari, tapi kamu juga kan tahu, Pak Haji dan Mama Elsa sangat baik sama kita.” “Ya, semua juga awalnya dari baik dulu, lama-lama menggigit, kok!” “Bukankah kamu sering bilang, kita seperti tidak punya orang tua atau saudara, untungnya ada Mama Elsa dan Pak Haji yang menganggap kita seperti anaknya.” “Aku hanya mengingatkan, agar kamu jangan sampai terlena oleh Mama Elsa.” “Memang menurut kamu, Mama Elsa telah membuat kamu cemburu?” “Gak terlalau sih?” “Dasar! Kalau pun mau cemburu, seharusnya aku yang cemburu sama kamu. Kamu kan deket banget sama Pak Haji. Berani gelendotan dan bermanja-manja segala. Aku gak pernah beitu sama Mama Elsa!” “Yeee, aku kan udah nganggap Pak Haji itu kaya papaku sendiri, usianya kan emang sama. Lagian kalau aku begitu itu di depan kamu juga.” “Apa bedanya denganku? Mereka sudah aku anggap orang tua sendiri.” “Fan, kalau kamu dengan Mama Elsa kan sering pergi bareng, nganter dia kemana-mana, jadinya aku gak tahu apa yang kalian lakukan di belakang sana.” “Tan, aku juga sering gak ada di rumah, kamu juga kerja di luar. Apakah aku juga harus mencurigai semua itu? Cemburu buta kamu sudah gak masuk akal!” Kami sama-sama terdiam. Selera makanku benar-benar hilang. Entah mengapa Tristan menjadi istri yang sangat menyebalkan. Sikap Mama Elma padaku masih sangat wajar dan bisa jadi dia memang kami tidak pernah berpikir macam-macam. "Fan, kamu emang gak pernah cemburu atau curiga sama aku?" Tristan melanjutkan pertanyaanya dengan nada yang sudah kembali normal. "Kenapa bertanya begitu?" Aku melongo menatapnya, "Beri alasan agar aku bisa cemburu buta pada kamu?" lanjutku. "Aku kan sering boncengan sama Bang Lino, hampir tiap hari malah. Aku juga kadang pulang terlambat seperti malam ini," ucap Tristan sambil merapikan piringnya yang sudah kosong. "Bukankah itu seizinku? Kamu selalu memberikan penjelasan yang rinci ketika terlambat pulang? Bahkankah Bang Lino juga menelpon aku jika kalian pulang terlambat. Apa yang harus aku curigai?” balasku dengan pertanyaan balik dan mungkin terdengar polos oleh istriku. "Jadi selama ini kamu gak pernah cemburu sama aku?" Wajah Tristan sedikit cemberut. "Tan, bukankah kamu yang selalu mengajarkan aku untuk tidak cemburu buta jika tak ada alasan yang jelas." Nada suaranku mulai sedikit terpancing. "Berarti kamu udah gak cinta dong sama aku?" Tristan balik bertanya dengan suara yang agak sedikit menyalak juga. "Apakah cinta itu wajib cemburu? Aku tidak cemburu bukan berarti tidak cinta. Tapi sangat percaya dengan cinta dan kesetiaanmu. Aku bukan Dilan yang tak percaya diri, makanya dia sering cemburu buta sama Milea, hehehehe." Aku mencoba menurunkan tensi bicarakku dengan menggodanya. Tristan tersenyum dan beringsut mendatangiku lalu memeluk dan mencium pipiku dengan mesra. "Makasih atas kepercayaannya, Sayang. Aku makin tenang ninggalin kamu di rumah sendirian. Aku tak rela kalau ada wanita lain yang coba-coba menggangu si Ambonmu ini,” bisik mesra Tristan sambil meremas benda yang menyerupai pisang ambon di balik celanaku. “Hmmm, dasar! Bilang aja pengen dikasih bonus malam ini!” balasku sambil mendorong dadanya pelan hingga istriku telentang di lantai. “Lima kali ya, Ambonku…” desahnya manja. “Siaaap Nyonyaaah…” Salah satu keuntungan berumah tangga, perdebatan dan pertengkaran bisa berakhir dengan desahan kenikmatan dan keringatan. ^*^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD