Gemericik air sungai yang mengalir pelan di sela-sela batu seolah mengundang kedamaian di tengah kecamuk perasaan mereka. Gadi dan Sukma menuruni jalan setapak yang licin, menelusuri setiap jejak langkah demi mencari keberadaan Hylda. Di sepanjang jalan, mata Gadi terpaku pada pohon pisang yang tumbuh liar di tepi sungai. Pisang-pisang yang sudah matang jatuh berserakan di tanah, sebagian mulai membusuk—menandakan tempat ini tak pernah terjamah manusia.
“Hylda!” seru Sukma, diikuti oleh panggilan Gadi yang bergema di antara pepohonan.
“Sini, Bang!” Suara Hylda terdengar samar, membuat keduanya semakin bingung mencari arah.
“Kamu di mana?” Sukma berteriak, berusaha mendengar jawabannya. Tiba-tiba, Gadi tersentak ketika Elisabet muncul tanpa suara di sampingnya, membuat Gadi mendesis kesal.
“Ini hantu muncul tanpa aba-aba,” gumam Gadi.
“Kenapa, Bang?” tanya Sukma, bingung.
“Ini, hantunya enggak ngerti tata krama,” Gadi mendengus, menahan tawa.
Elisabet tersenyum lembut. "Maaf, I didn’t mean to scare you. Temanmu ada di balik air terjun,” jawabnya sambil menunjuk ke arah jatuhan air yang deras.
Gadi menghela napas, menyerah. “Sukma, kamu ambil pisang yang kecil saja, aku bawa yang besar. Buat nanti kita makan bareng Hylda,” ujarnya sambil memetik beberapa tandan pisang dari pohon.
Elisabet terus mengikuti di belakang, membuat Gadi kesal. "Don't follow me!" ucapnya tegas, tetapi Elisabet hanya tersenyum.
“Aku mau mandi di sungai, ngerti nggak?” ujar Gadi. Namun, hantu gadis itu tetap keras kepala, mengikuti tiap langkahnya, tanpa berniat pergi.
“Bang, serius mau mandi?” tanya Sukma saat mereka sampai di sungai.
“Iya, tapi ini... hantunya ganggu terus!” Gadi menatap Elisabet, yang hanya tersenyum usil sambil memperhatikan Gadi dari jauh.
Sukma, yang tak bisa melihat hantu tersebut, hanya tertawa. "Ah, Bang. Aku nggak bisa lihat apa-apa kok, ngapain malu?"
Sukma langsung melepas pakaiannya dan nyebur ke dalam air. Gadi, yang tak habis pikir, akhirnya memutuskan untuk mencoba mengabaikan Elisabet. Dia membuka kancing seragamnya satu per satu, melepaskan bajunya, tapi Elisabet malah memandangnya dengan senyum genit, matanya mencuri-curi pandang ke arah tubuh Gadi.
“Sudahlah, Bang, sini nyebur!” Sukma mengajak sambil tertawa.
“Cucikan bajuku sekalian!” ujar Gadi sambil menyerahkan bajunya pada Sukma, yang mulai mencuci sambil tertawa geli melihat wajah Gadi yang kebingungan.
Gadi akhirnya mengumpulkan nyali untuk menyusul Sukma mandi di sungai, berharap kali ini Elisabet membiarkannya. Namun saat dia nyaris masuk ke air, Elisabet malah duduk di bebatuan dekat mereka, menatapnya dengan mata berbinar. Gadi tak tahan lagi, akhirnya hanya mencelupkan kakinya ke sungai, mencoba menikmati dinginnya air tanpa benar-benar basah seluruhnya.
Setelah beberapa lama, Sukma menyelesaikan cuciannya dan naik untuk menjemur pakaian. “Gimana, Bang? Hantunya masih ada?” tanyanya sambil tersenyum usil.
“Masih,” desis Gadi, melirik Elisabet yang duduk sambil menahan tawa. "Ah, pokoknya ganggu!”
Malam mulai menjelang saat mereka kembali ke gua. Gadi dan Sukma sudah berpakaian, pisang yang mereka bawa tadi kini sudah di tangan Hylda, yang terlihat lapar setelah menunggu lama. Di dalam gua yang mulai diselimuti kegelapan, Hylda terlihat tertidur pulas di sudut, sementara Gadi memilih berjaga-jaga di mulut gua. Malam itu, dingin terasa menusuk, udara berat seakan membawa energi yang tak biasa.
“Kenapa energinya tiba-tiba berat banget, ya?” gumam Gadi, merasakan hawa aneh yang seolah menyelubungi dirinya.
Merasa tidak nyaman, dia berdiri untuk mencari udara segar di luar. Namun, Elisabet tiba-tiba muncul dan melarangnya. "Jangan keluar setelah gelap," ucapnya pelan, penuh peringatan. Tapi Gadi tak menggubris, rasa penasarannya terlalu besar untuk diabaikan.
Belum jauh melangkah, suara tembakan meledak di udara, mengejutkan Hylda dan Sukma yang terbangun dengan wajah panik. Tanpa menunggu, keduanya langsung keluar untuk mencari Gadi.
“Bang Sukma, gimana kalau kita nggak nemu Bang Gadi?” bisik Hylda dengan suara gemetar.
“Kamu tunggu di gua saja,” ujar Sukma mencoba tenang. “Kalau Bang Gadi balik, dia nggak perlu bingung mencari kita.”
Namun, Hylda menolak. “Enggak Bang, aku ikut!”
Mereka terus berlari dalam kegelapan, sampai akhirnya mereka melihat sosok tengkorak yang menjulang di balik pepohonan. Sukma tertegun melihat makhluk itu, seolah-olah kematian berjalan dalam wujud nyata.
“Bang… itu apa?” bisik Hylda ketakutan.
Sosok tengkorak itu berjalan cepat, belati terhunus di tangan kerangka kasarnya. Tanpa pikir panjang, Sukma menghindar dengan lincah, membuat belati itu nyaris menebas udara. Dia lalu menendang tengkorak tersebut, hingga tubuhnya terpecah menjadi kepingan tulang yang berserakan di tanah.
Namun, sebelum mereka sempat merasa lega, tengkorak itu kembali menyatu perlahan, tegak berdiri seperti semula, menghadang mereka dengan tatapan kosong yang mengerikan.
“Kamu mau dihajar lagi?!” teriak Hylda, memberanikan diri. Dengan jurus taekwondo andalannya, dia melayangkan tendangan keras, membuat kepala tengkorak itu terlempar dan hancur.
Tanpa ragu, Sukma memungut kepala tengkorak itu dan menghancurkannya hingga serpihannya tersebar. Kali ini, mereka benar-benar berharap, tengkorak itu tak bisa kembali lagi.
Di kejauhan, suara langkah Gadi terdengar diiringi suara tawa kecil dari Elisabet yang misterius. Namun untuk malam ini, mereka bertiga berharap bisa terlelap tanpa gangguan lebih lanjut di dalam gua, meski bayangan makhluk-makhluk aneh itu masih terpatri jelas dalam pikiran mereka.
Malam yang semakin gelap terasa begitu mencekam, meski keheningan sesaat kembali menyelimuti gua tempat mereka beristirahat. Gadi dan Sukma akhirnya berbaring di sudut yang berbeda dari Hylda, sementara Elisabet—hantu yang terus mengganggu Gadi—duduk diam di pintu gua, seolah-olah sedang berjaga. Gadi merasa risih dan bingung, tak tahu apakah dia harus bersyukur atau merasa terganggu dengan kehadiran hantu itu.
Ketika Gadi akhirnya menutup mata, ia merasa udara di sekitarnya kembali terasa berat, bahkan lebih dari sebelumnya. Tiba-tiba, terdengar derap langkah pelan di luar gua. Gadi tersentak, membuka mata, dan melihat bayangan hitam yang berdiri di ambang pintu, hampir menutupi Elisabet. Bayangan itu memiliki sosok tinggi dengan aura yang lebih gelap dan mengerikan dibandingkan sosok tengkorak yang sebelumnya mereka hadapi.
Gadi beringsut mendekati Sukma dan membangunkannya secara perlahan. “Sukma, ada sesuatu di luar,” bisiknya tegang.
Sukma terbangun dengan ekspresi waspada. “Lagi? Makhluk apa lagi ini?”
Elisabet berdiri dan menatap bayangan hitam itu dengan mata yang tajam, seperti mengenal sosok tersebut. Suaranya berbisik lirih, namun penuh ketakutan. “Dia... dia bukan dari dunia kalian atau dunia kami. Dia adalah penjaga batas antara kehidupan dan kematian.”
Gadi dan Sukma saling berpandangan, merasa kehadiran makhluk ini jauh lebih berbahaya. Gadi mencoba mengambil keputusan cepat. “Kita harus keluar dari sini sebelum makhluk itu mendekat.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, bayangan itu mengeluarkan suara gemuruh, seperti bisikan ribuan suara yang bercampur menjadi satu. “Kalian tak akan pergi… Ini batas terakhirmu!”
Tanpa menunggu lama, Sukma langsung meraih tangan Hylda yang masih setengah tertidur. Mereka bertiga berlari keluar dari gua, meskipun terasa bahwa setiap langkah mereka seperti berat terhenti oleh kekuatan tak kasat mata. Elisabet terus mengikuti dari belakang, wajahnya terlihat penuh kekhawatiran.
Saat mereka keluar dari gua, mereka mendapati diri mereka di tengah hutan yang gelap gulita, hanya diterangi sinar bulan yang samar-samar. Di tengah kegelapan itu, mereka melihat bayangan hitam terus mengekor, tak berhenti mengikuti.
Hylda mulai merasa panik. “Bang Gadi, apa kita akan selamat?”
Gadi menggenggam erat tangan Hylda. “Selama kita masih bergerak, kita akan baik-baik saja. Jangan berhenti!”
Mereka berlari menyusuri hutan hingga mereka menemukan sungai yang dalam dan deras. Di seberang sungai itu, tampak cahaya samar, mungkin dari rumah penduduk atau tempat yang bisa memberikan perlindungan sementara.
“Elisabet, bisakah kamu menahan dia sedikit?” tanya Gadi, berharap hantu itu bisa membantu.
Elisabet mengangguk ragu, kemudian berdiri menghadang makhluk tersebut di tepi sungai. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Kalian harus pergi… sekarang!”
Sambil berpegangan, Gadi, Sukma, dan Hylda berlari menyeberangi sungai, tubuh mereka tenggelam dalam arus yang dingin dan kuat. Sementara itu, Elisabet memandang makhluk hitam itu, lalu dengan suara rendah, ia berkata, “Kamu tak punya hak membawa mereka. Ini bukan waktunya!”
Makhluk itu tertawa dengan suara yang menggema, seperti gema ribuan jiwa yang terperangkap dalam kegelapan. “Kau hanyalah arwah yang tersesat, Elisabet. Mereka adalah milikku!”
Dengan kekuatan terakhirnya, Elisabet berteriak, “Pergi!” Cahaya samar dari tubuh Elisabet berkobar, membuat makhluk itu mundur sejenak, cukup untuk memberi waktu bagi Gadi dan yang lain menyeberang.
Di seberang sungai, mereka terengah-engah, basah kuyup dan kelelahan. Namun, mereka masih sempat melihat Elisabet yang berdiri di tepi sungai, tersenyum tenang sebelum akhirnya menghilang, meninggalkan hening yang menyejukkan.
Gadi menyeka keringat dari dahinya, napasnya tersengal. “Kita… berhasil?”
Sukma menepuk bahu Gadi, meskipun wajahnya masih pucat. “Entahlah, Bang. Tapi untuk malam ini, kita aman. Terima kasih untuk Elisabet.”
Hylda menatap hutan yang sunyi, tersenyum kecil dengan mata berkaca-kaca. Meskipun mereka telah meninggalkan sesuatu yang tak terlihat, mereka tahu bahwa malam ini, mereka telah mendapatkan teman di dunia yang tak kasat mata.