Tengkorak

1082 Words
Hylda merasa lelah , energinya seperti terkuras setelah berjalan panjang. “Bang kita istirahat dulu!” pinta Hylda. Setelah mereka berhenti Sukma dan Hylda baru menyadari jika Gadi terpisah. "Ke mana sih Bang Gadi ini?" keluh Hylda, merasa kesal karena sebagai komandan, Gadi selalu bertindak sendirian tanpa berkonsultasi dengan mereka. "Sudah, jangan marah-marah. Bang Gadi mungkin sedang mencari sesuatu makanya dia pergi sendirian," jawab Sukma, berusaha menenangkan. "Aku cuma khawatir, Bang. Kita di sini cuma bertiga, dan kita bahkan gak tahu tempat ini di mana!" "Sepertinya perhatianmu ini bukan perhatian seorang sersan pada komandannya," canda Sukma. "Ngaco, Bang Sukma ini!" balas Hylda. Dalam perjalanan, mereka mendengar suara keributan dari arah tenggara. Mereka segera bersembunyi di balik pohon dan mengintai. Dari sana, mereka melihat Gadi yang tengah bertarung melawan makhluk tanpa daging. Gadi terlihat kelelahan, serangan demi serangan telah ia lancarkan, namun makhluk-makhluk itu tetap bertahan. Makhluk tanpa daging itu mendekat dan mencekik leher Gadi, membuatnya menendang tulang rusuknya hingga terbelah. Meski begitu, makhluk itu masih mampu bergerak dan terus menyerang Gadi. "Hancurkan kepalanya, Ndan!" teriak Sukma, sengaja membiarkan komandannya melawan sendirian. Gadi melirik ke arah Sukma yang bersembunyi, dan makhluk itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menutup mata Gadi. Melihat itu, Hylda tak tahan lagi dan langsung maju menyerang, namun tendangannya meleset dan justru mengenai punggung Gadi. Tendangan itu melepaskan cengkeraman makhluk tersebut, tapi buntutnya, pinggang Gadi malah terkilir. "Maaf, Ndan. Tadi terlalu bersemangat!" ujar Hylda, mendekati Gadi. Sukma, sementara itu, mencoba menghadapi makhluk tanpa daging tersebut dengan kedua tangannya dan berhasil menghancurkan kepala makhluk itu. "Sengaja ya kamu! Bukannya bantuin, malah asyik ngintip," ucap Gadi sambil memukul kepala Sukma pelan. Suara binatang malam semakin menambah suasana mencekam. Mereka bertiga kelelahan dan mulai kehilangan arah menuju gua yang tadi siang mereka sambangi. Gadi berjalan sambil memegangi pinggang yang masih terasa nyeri. Hylda menawarkan bantuan, tetapi Gadi menolak. "Bang, maaf ya?" Hylda kembali meminta maaf. "Di mana Elisabet? Kenapa gak muncul saat dibutuhkan?" gerutu Gadi. "Bang Gadi, itu kayak suara ombak. Jangan-jangan kita mendekati pantai lagi," ujar Sukma. Mereka bertiga terdiam, mendengarkan suara ombak yang menghantam karang. Gadi kemudian memerintahkan Sukma dan Hylda untuk beristirahat. "Kita istirahat dulu, tunggu pagi," perintah Gadi. Mereka bersandar di pohon. Gadi dan Hylda tertidur, sementara Sukma berjaga bergantian. Tiba-tiba, Gadi terbangun dari mimpinya. "Kinanti...," ucapnya pelan, membuat Hylda di sampingnya kebingungan. "Kinanti, siapa?" gumam Hylda, bertanya dalam hati. Sukma yang mendengar hanya menatap Gadi dengan prihatin. “Sudah lima tahun, Bang. Kenapa gak coba lupakan dia dan cari pengganti?” saran Sukma. Gadi hanya terdiam, memandang langit pagi yang mulai cerah. "Yuk, kita jalan lagi, siapa tahu ada penduduk di sini," ajaknya. Di tepi pantai, Sukma mengusulkan untuk mencari ikan. "Bang, gimana kalau kita cari ikan buat sarapan?" "Masa iya kamu lupa kemarin banyak mayat di pantai," jawab Hylda dengan wajah masam. "Ada mayat atau gak, yang penting kita makan," kata Gadi mengajak mereka. Tiba-tiba terdengar suara tembakan, membuat mereka berhenti dan bersiap siaga. “Bang, itu manusia atau hantu, sih?” tanya Hylda, was-was. "Mana ada hantu bawa pistol!" jawab Sukma. "Tapi tengkorak aja bisa bawa belati semalam," sahut Hylda. Suasana hening. Mereka melihat gundukan-gundukan tak beraturan di sekitar mereka. "Itu makam atau bukan, ya?" tanya Sukma. "Bongkar aja kalau gak percaya," ujar Gadi. "Abang ini! Masa iya cewek secantik aku suruh gali kuburan," gerutu Hylda, membuat mereka tertawa di tengah ketegangan. Sukma tertawa mendengar protes Hylda, namun tetap merasa sedikit khawatir melihat banyaknya makam tanpa nama yang tersebar di sekitar mereka. Tanda-tanda ini terasa mengerikan, seolah-olah mereka telah memasuki wilayah yang tak seharusnya mereka jamah. Gadi menatap kedua rekannya, lalu berkata dengan nada rendah namun tegas, “Kita gak di sini buat gali makam. Fokus pada tugas kita. Tapi... hati-hati, siapa tahu masih ada yang mengintai.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan waspada, sambil mencari jejak atau tanda-tanda kehidupan yang mungkin bisa membantu mereka keluar dari hutan ini. Suara ombak terdengar semakin jelas, tetapi juga diiringi dengan suara lain yang lebih aneh, seperti langkah kaki yang berat dan bergema. Tak lama kemudian, mereka melihat sosok yang tertatih-tatih di kejauhan. Sosok itu semakin dekat dan tampaklah seorang pria tua dengan pakaian compang-camping, wajahnya tertutup lumpur dan matanya tampak kosong. Sukma melangkah mendekati pria itu dengan hati-hati, lalu mencoba menyapanya, “Pak, maaf mengganggu, kami tersesat. Apakah Anda tahu jalan keluar dari hutan ini?” Pria itu menatap Sukma dengan tatapan hampa, lalu perlahan berbicara dengan suara serak, “Kalian bukan orang pertama yang datang ke sini... tapi tak ada yang kembali.” Gadi dan Hylda saling berpandangan, merasakan firasat buruk. Hylda mendekat dan mencoba bertanya lagi, “Maksud Bapak apa? Siapa yang tidak kembali?” Pria tua itu tak menjawab, melainkan menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan suara lebih pelan, “Kalian harus pergi sebelum matahari terbenam. Tempat ini bukan untuk manusia.” Pria itu kemudian berbalik, tertatih-tatih menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan. Gadi menarik napas dalam, merasa semakin tertekan dengan segala hal yang mereka temui di sini. “Kita harus segera keluar sebelum gelap,” kata Gadi, suaranya tegas tapi mengandung rasa cemas yang tak biasa. Sukma mengangguk, tapi dalam hatinya masih terbayang apa yang dikatakan pria tua tadi. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan lebih cepat, mencari jalan keluar dari hutan tersebut. Sepanjang perjalanan, Hylda tetap memegang erat senjatanya, berjaga-jaga jika ada ancaman lain yang muncul. Namun, pikirannya masih tertuju pada Gadi—perkataannya dalam mimpi tentang Kinanti, wanita yang tampaknya pernah sangat berarti bagi komandan mereka. Sementara itu, Gadi terus memimpin di depan, mencoba fokus pada tujuan. Namun, di kepalanya, bayangan Kinanti terus membayang, mengusik ketenangannya. Kenangan bersama Kinanti terasa begitu hidup, hampir seperti Kinanti hadir di sampingnya. Dalam batin, ia berjanji akan melewati hutan ini dan keluar dengan selamat, seolah itu menjadi pembuktian bagi kenangan yang belum ia relakan sepenuhnya. Sukma yang memperhatikan tatapan kosong Gadi berbisik pelan pada Hylda, “Mungkin, selama ini Bang Gadi belum benar-benar bisa lepas dari masa lalunya. Bisa jadi, Kinanti itu yang membuatnya terus ingin maju meski terlihat terluka.” Hylda mengangguk setuju, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang campur aduk. Diam-diam, ia berharap suatu saat nanti, ia bisa mengenal sisi lain dari pria yang selama ini ia hormati sebagai komandan. Dan mungkin, suatu saat, bisa menjadi seseorang yang akan membantunya melupakan masa lalunya. Langkah mereka semakin cepat seiring cahaya matahari mulai memudar di ufuk barat. Mereka tahu, malam ini mungkin akan jadi malam yang panjang, tapi di dalam hati mereka, terpatri satu tekad: keluar hidup-hidup dari tempat ini, membawa pulang kenangan dan harapan baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD