Suara Tembakan

1034 Words
“Kita di pulau ini saingan sama monyet sepertinya!” ucap Kinan. “Salah! Yang benar kita sekarang yang jadi monyetnya. Karena hanya pisang yang bisa kita makan,” sahut Gadi. “Apa pun itu asal bisa mengganjal perut kita harus makan.” Gadi menceritakan kembali semua yang Kinan ketahui tentang pulau ini kepada Hylda dan Sukma, berharap agar mereka sama sama bisa mencari solusi. “Apakah kita berada di dimensi alam lain?” tanya Hylda. “Entahlah! Aku sendiri juga tidak tahu!” jawab Gadi. Lima menit kemudian pandangan mereka bertiga kompak tertuju pada Elizabeth yang sedang berdiri di antara mereka berempat. “Aku juga tidak tahu apa-apa!” ucap Elizabeth ketika melihat mereka menatap tajam padanya. “Benar juga, kalau dia tahu, dia gak akan mungkin berakhir di sini.” Hylda bergumam dengan duduk bersila. Pandangan Hylda seketika tertuju pada perut Gadi yang terlilit kain putih. “Pinggang Abang kenapa?” tanya Hylda penasaran. “Hanya tergores saja kemarin!” jawab mendekat Gadi. Melihat rok yang dikenakan Kinan sobek, Hylda menatap Gadi dan Kinan secara bergantian. “Kenapa gadis itu tahu, sedangkan aku tidak tahu sama sekali,” batin Hylda. Kinan beranjak keluar dari gua dan tangannya mengadah ke atas untuk menikmati tiap tetesan air hujan. “Langit ini sama dengan langit di tempat kita. Aku yakin kita tidak pindah dimensi.” “Maksud kamu kita masih di Indonesia?” Sukma bertanya penasaran. “Belum tahu, tapi ini yang pasti kita berada di bumi yang sama dengan orang tua kita.” “Dari mana kamu yakin?” Kinan hanya tersenyum, ia pun kembali menatap langit yang masih diselimuti awan gelap. “Kenapa kamu terus menatap hujan?” tanya Gadi dan mencoba berdiri di sampingnya. Kinan hanya tersenyum, kenangan yang terlupakan, membuat Kinan terus menatap hujan dengan harapan bisa mengingat kembali kenangan yang telah terkubur. Kinanti menurunkan tangan yang sedari tadi mengadah. Ia pun membalikan badan dan melangkah masuk. Tangan Kinan meraba-raba dinding goa. Ia mencari tahu adakah pintu lain yang berada di dinding goa. Namun, tiba-tiba saja Elizabeth memanggilnya untuk memperlihatkan sesuatu yang berada di luar goa. “Lihatlah keluar!” ucap Elizabeth. Gadi bersama yang lainnya pun menuju pintu goa dan menatap ke bawah. Mereka terkejut ketika mendapati beberapa makhluk berada di sungai. Mereka saling berperang satu sama lain. “Mereka sesama mayat hidup kenapa bisa bertengkar. Dan ini masih siang hari, bagaimana bisa mereka hidup?” tanya Hylda kebingungan. “Karena gelap tidak ada matahari. Hanya itu sementara aku bisa menjawab.” “Kita harus membunuhnya agar mereka tidak bisa naik.” Sukma menyahut. Sukma dengan kakinya yang masih sakit berusaha ingin turun melawan mereka. Namun, Gadi melarangnya. “Tidak perlu! Tempat ini paling aman, mereka tidak akan bisa naik ke sini,” ucap Gadi. “Dari mana Abang tahu, goa ini aman.” “Ada energi yang kuat di goa ini, sehingga membuat mereka takut. Tapi entahlah dari mana asalnya energi itu.” “Lihat mereka ada yang mengurai setelah mendapatkan sabitan dari lawannya!” seru Hylda yang tangannya gatal ingin ikut berkelahi. Selang beberapa jam hujan pun berhenti. Mereka masih berkelahi satu sama lain. Dor! Suara tembakan samar-samar terdengar membuat Gadi mengedarkan pandangannya ke hutan. Namun, karena rimbunnya pepohonan ia tak melihat siapa yang menembakkan pistol tersebut. Mata batin Gadi berkata lain. “Itu manusia hidup bukan mayat hidup,” batin Gadi. Tanpa memberitahu yang lain ia pun turun dari goa. “Kalian stay di sini. Jangan ikut!” perintah Gadi. “Bang Sukma jangan ikut turun, kakimu masih sakit!” ucap Hylda. Sukma sejenak terdiam, lalu berkata bahwa ia tidak masalah dengan kakinya dan bersama Hylda, mereka berdua turun meninggalkan Kinan. “Berhentilah! Kakimu masih terluka dan terkilir. Kalau kamu nekad turun hanya akan membuat masalah untuk komandan kalian.” “Kamu siapa? Berani-beraninya kamu ngajari kami!” seru Hylda. “Semalam, jika dia tidak menggendongmu dia tidak akan terluka parah seperti itu hingga pingsan.” Kinan yang tersulut emosi, membentak Hylda. Merasa kesal Hylda pun mendekat dan menampar wajah Kinan. “Jika dia tidak melindungimu malam itu, Bang Gadi gak akan terkena tusukan! Siapa yang jadi biang masalah di sini kalau bukan kamu! Pergi dari sini dan jangan kembali!” seru Hylda kesal. Kinan mengusap-usap wajahnya yang sakit akibat tamparan Hylda, gadis itu tak ingin memeperkeruh susana, dia pun segera turun untuk menyusul Gadi dan meninggalkan Hylda bersama Sukma. Melihat Kinan menuruni tangga, Sukma pun mengejar. “Kinan. Maafkan aku dan Hylda. Tolong jangan pergi!” “Lihat kakimu Mas. Istirahatlah dan jangan banyak gerak terlebih dahulu,” perintah Kinan. Sukma yang mulai memendam rasa terhadap Kinan hanya bisa menurut dan memohon kepada Kinan berkali-kali untuk tidak pergi. “Lihatlah Bang Gadi sudah melawan semua mayat hidup itu. Aku akan mencarikan kamu dan Bang Gadi obat agar bisa lekas sembuh.” Sekar berbicara dengan pandangan mata tertuju pada Hylda. “Aku akan mengantarmu, Kinan.” Kinan menolak karena menganggap Sukma hanya akan menjadi beban untuknya. “Aku akan cepat kembali, jika sendirian akan terasa lebih cepat. Kamu harus sembuh dulu jika ingin melindungiku.” Kinan melangkah menuruni anak tangga, dan Sukma pun kembali ke dalam gua dengan menyeret kakinya. “Kenapa sih Abang pakai melindungi dia, dah tau kaki Abang masih sakit.” Sukma hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaan Hylda. Namun, ia mengingatkan kepada Hylda untuk tidak berbuat kasar kepada Kinan. “Abang jatuh cinta ya sama, Kinan!” Sukma tidak menjawab dan hanya tersenyum sambil melangkah masuk. *** Gadi sudah mengetahui kelemahan para mayat hidup. Dengan menghancurkan kepala mereka, tubuh mayat hidup itu akan ikut mengurai. Suara tembakan tidak terdengar lagi. Hanya ada burung-burung yang berterbangan mencari tempat tinggal. Perlahan ia mencari keberadaan sumber suara tembakan yang tadi sempat ia dengarkan. Lagi-lagi Gadi melihat gundukan tanah yang berada di sekitarnya. Dari batu nisan yang menancap semua berlogo tengkorak. “Jangan-jangan mereka semua adalah para pembajak laut yang hidup kembali!” Gadi mencoba melihat satu per satu batu nisan hanya ada nama logo tengkorak, dan mata satu yang tertutup. Kini ia terdiam ketika melihat salah satu makam yang terbuka hanya ada peti kosong tanpa jasad. Kresek! Kresek! Suara seseorang menginjak dedaunan terdengar jelas di telinga Gadi. Ia pun segera bersembunyi dengan mencari pohon yang lebih rindang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD