Bab 6. Seharusnya Perpisahan

1352 Words
Menunggu cukup lama sampai anak buah Zavon membawa baju untuk keduanya. Zavon yang menutupi tubuhnya dengan bathrobe, sedangkan Vira tidak mau kalah. Dia memanfaatkan perlindungan selimut yang lebih besar untuk melindungi tubuhnya. Berjarak cukup jauh. Ini semua karena ketegasan dari seorang gadis yang baru lulus SMA kemarin saja. Tatapan Vira pada Zavon sangatlah tajam, tidak ada niatan untuk bersahabatan sama sekali. "Kita buat simple saja. Mari kita berteman." Ucap Zavon. Ia bangun dengan sangat cepat, mendekati Vira. Ia memberikan tangannya hendak menjabat tangan Vira. Apa yang terjadi? Gadis itu malah menatap tangan Zavon dengan tatapan yang aneh. Mendengus tidak suka, melengos ke arah lain. "Maksudnya aku di tolak, nih?. Sumpah, ini pertama kalinya." Batin Zavon. Gelagat Vira yang demikian membuat Zavon sedikit tersinggung. Baru kali ini ada perempuan yang menolaknya, padahal di kampus ataupun di dunia kerja dia menjadi idola bahkan sampai menjadi musuh semua pria sebayanya. "Ingat janjimu. Setelah ini tidak ada kepentingan lagi antara kita berdua. Aku pikir sudah sangat jelas yang kamu katakan kemarin?" Tanya Vira menohok kelabilan seorang Zavon. Zavon menatap tangannya yang mengudara sia-sia. Untuk pertama kalinya tangannnya tidak disambut dengan baik dan terhormat. "Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?" Tanya Zavon. Ia kembali duduk, dengan rasa malu yang tertinggal dalam dirinya. Ia malu dengan perlakuan Vira yang sederhana, namun menyenggol harga dirinya. "Tepati saja janjimu. Setelah ini kita tidak usah bertemu. Baik Juna ataupun kamu, tidak ada hubungannya denganku lagi. Masalah kemarin, aku berterimakasih karena sudah mau menemaniku seharian penuh. Maafkan juga Juna karena sudah membuatmu marah. Semoga tidak ada dendam diantara kalian berdua." Ucap Vira. Bagaimana pun kecewanya pada mantan pacarnya itu, perasaannya tidak akan mungkin luntur dalam satu malam saja. Kasih sayang dan kenangan selama beberapa tahun pacaran dengan Juna masih tersimpan dengan rapih dalam memorinya. "Baru kali ini akan bertemu dengan perempuan yang bodoh." Gumam Zavon pelan. Ia memainkan cincin bermotif serigala di ibu jarinya. "Aku mendengar mu." Ujar Vira. Tok... Tok.... "Aku yang akan membukanya. Itu sarapan dan baju untuk kita berdua." Ujar Zavon. Dengan malas Zavon menghampiri pintu. Sesekali ia berbalik hanya untuk melihat Vira yang juga curi-curi pandang padanya. Ceklek. Dan benar saja. Seorang pria membawa makanan dan beberapa baju untuk Zavon. Pria itu sangat diketahui olehnya. "Jangan adukan hal ini pada papa. Aku akan pulang secepatnya." Ujar Zavon, mengambil barang-barang yang dibawa pria itu. "Maaf, tuan muda. Tapi, hal ini sudah diketahui oleh tuan. Saya tidak bisa menjamin Anda baik-baik saja ketika pulang nanti." Ujar pria itu, membuat Zavon tidak mau berharap lebih. "Baiklah. Mungkin hari ini aku akan pulang telat. Aku mau mengantarnya dulu." Pria itu mencoba untuk melihat Vira, karena ini adalah pertama kalinya Zavon melakukan hal ini. Baru saja kepalanya masuk, Zavon langsung mengeluarkannya paksa. Ia bahkan sampai mendorong pria itu. Itu karena Vira hanya memakai selimut yang akan membuat pikiran siapapun berubah menjadi negatif. "Apakah tuan melakukan 'itu' dengannya?" Tanyanya. Ia bahkan sengaja mengejek Zavon dengan kedua jari telunjuknya. "Hey!" Bentak Zavon, membuat pria itu kaget. Zavon salah tingkah. Ia menahan gejolak rasa yang ia rasakan. Menahan rasa panas pada pipinya. "Aku tidak melakukan apapun padanya. Ingat itu!" Ucapnya, menekan setiap kata yang ia ucapkan. Bam! Zavon langsung menutup pintu dengan paksa. Ia tidak lagi membuat pria itu kaget, melainkan Vira yang sekarang kaget dengan kelakuannya. Bahkan perempuan itu sampai mengelus dadanya sabar. "Ini baju dan sarapan untuk kita berdua. Setelah ini aku akan mengantarmu pulang." Kata Zavon. Satu per satu makanan dikeluarkan dari salah satu tas yang dibawa oleh Zavon. Vira menatap tajam setiap makanan itu, sedikit hati-hati dengannya. "Aku tidak akan meracunimu. Kalaupun aku ingin melakukannya, aku tidak akan repot-repot membelikan baju untukmu." Ujar Zavon, fokus mengeluarkan satu per satu makanan. "Mungkin saja kamu mau membuatku mati dalam keadaan cantik." Ujar Vira terlalu percaya diri. "Tanpa merias diri pun kamu sudah cantik." Gumam Zavon pelan. "Kenapa?" Tanya Vira. Zavon menggeleng. Ia mempersilahkan Vira untuk lebih dulu makan, menggunakan dalih kalau ia tidak terbiasa sarapan terlalu pagi. Padahal, ia menggunakan waktu ini sepenuhnya untuk memperhatikan Vira makan. "Padahal kamu perempuan biasa, tidak ada kelebihan sedikitpun dibandingkan dengan banyak perempuan yang selama ini aku temui. Tapi kenapa aku harus terpesona padamu, Vira?. Aish! Perasaan ini membuatku kesal bukan main." Kata Zavon dalam hatinya. Ia terus saja memperhatikan Vira menyuap satu per satu makanan yang tadi dibawanya. Bahkan beberapa kali tanpa sadar membuatnya tertawa ketika melihat pipi Vira yang mengembang karena terlalu banyak di isi. "Kamu beneran gak makan? Aku habiskan baru tahu rasa!" Ujar Vira. Zavon menggeleng, "makanlah yang banyak. Nanti aku akan sarapan di rumah. Aku gak terbiasa sarapan sepagi ini." Ujarnya pura-pura menolak, padahal cacing-cacing di perutnya sudah berdemo sejak tadi. "Melihatmu seperti ini saja sudah membuatku kenyang." Katanya lagi dalam hati. "Kalau kamu suka, aku bisa mengirimkan mu makanan ini lagi ke rumahmu." Tawar Zavon. "Tidak. Kita sudah tidak punya hubungan apapun lagi." Tolak Vira telak. "s**t!" *** "What?!. Aku tidak salah lihat kan?" Tanya Vira. Matanya melotot melihat label harga bajunya. Zavon berlari keluar dari kamar mandi, terburu-buru keluar sesaat setelah mendengar Vira histeris. Ia bahkan belum sempat mengancingkan kemejanya. "Kenapa?" Tanya Zavon. "Ini beneran harganya 5 juta? Untuk satu baju ini aja?" Tanya Vira, memberikan label harga itu pada Zavon. "Jadi kamu berteriak histeris karena masalah harga?" Tanya Zavon memastikan. Dengan polosnya Vira mengangguk, membuat Zavon menghela nafas lega. Ia kembali ke kamar mandi, tidak menjawab pertanyaan Vira sebelumnya. "Hey! Kamu belum menjawab pertanyaanku!" Teriak Vira. "Pakai saja!" Balas Zavon, ikut berteriak. "Aish, kenapa mahal sekali?. Tapi, aku tidak heran sih. Mama Cinta juga sering membawakan baju yang serupa dengan ini. Tapi, tetap saja ini terlalu kemahalan untukku." Gumam Vira, memperhatikan dirinya dari atas sampai ke bawah, lagi. "Cantik juga aku, ya? Tapi kenapa dia malah menjadikanku sebagai bahan taruhan?" *** "Mau mampir makan dulu?" "Gak!" "Eh, ada toko es krim. Kamu mau gak?" "Gak!" "Hari ini aku ulang tahun, mau gak kabulin perminta--" "GAK!" Rasanya Zavon kehabisan stok untuk membujuk Vira ikut dengannya. Zavon hanya ingin berlama-lama dengan Vira, tidak lebih. Tapi, setiap ajakan demi ajakan yang ia tawarkan, tidak di gubris dengan baik oleh Vira. "Aku boleh dapat kontak kamu, gak?" Tanya Zavon. Mobilnya sudah berhenti di sebuah gang. Sesuai dengan arahan Vira, ini adalah gang menuju rumahnya. Tapi, Zavon masih mau membuat Vira berlama-lama dengannya. Rasanya belum cukup sama sekali. "Buat apa?" Tanya Vira. "Untuk menghubungimu. Sesekali saat aku tidak sibuk, aku akan menghubungi. Sekedar menanyakan kabar, tidak lebih." Alibi Zavon. "Begini, ya. Kamu dengarkan dengan baik-baik." Kata Vira. Zavon menurut. Ia memperbaiki letak duduknya, memperhatikan dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Vira. "Sesaat setelah aku turun dari mobilmu, kita sudah menjadi orang asing. Lupakan tentang taruhan dari pria b******k itu, lupakan tentang kejadian semalam. Lupakan tentang kebersamaan kita kemarin. Oke?" Zavon menggeleng. Vira jengah, tidak mau meladeni Zavon lagi. Ia keluar dari mobil, berjalan begitu cepat memasuki gang perumahan itu. Zavon menyusulnya, memanggil namanya. Tapi, tidak sekalipun Vira menggubrisnya. Terus saja berjalan tanpa memperdulikan Zavon sama sekali. "Vira, begini. Sepertinya kita harus membuat perjanjian sedikit." Ujar Zavon. Langkah Vira berhenti. Ia mematung, dan itu adalah kesempatan Zavon untuk menjelaskan semuanya pada Vira. "Begini, sepertinya ada kesalahpahaman kem--" "Jangan bilang kalau nenek sudah meninggalkan Vira?" Tanyanya, tak bertenaga. Matanya membulat, seperti sedang melihat hantu. Sontak, Zavon melihat ke arah yang sama dengan Vira. Ia ikutan melongo melihat begitu banyak orang di depan rumah. Bahkan ada bendera kuning di depan rumahnya. Salah seorang ibu-ibu berlari menghampiri mereka, lebih tepatnya ke arah Vira. "Vira, nenekmu meninggal, nak." *** "Kamu dimana? Aku ke rumahmu, kosong melompong. Tidak ada orang di sini. Aku pikir kamu sudah pulang. Papa mau bicarain masalah anniv--" "Pa, maaf. Nanti Zavon hubungi papa lagi. Hari ini Zavon tidak pulang. Nenek teman Zavon meninggal dan tidak mungkin meninggalnya begitu saja. Nanti aku sendiri yang ke rumah, papa tunggu Zavon saja." Sela Zavon. "Nenek siapa yang mening--" Tut... "Maaf, pa. Aku tidak mungkin meninggalkan Vira sendirian kali ini. Aku juga hampir pernah merasakannya." Gumam Zavon. Ia kembali masuk ke dalam, menenangkan Vira yang meraung melihat neneknya yang sudah tiada. "Ini seharusnya menjadi perpisahan kami. Tapi, sepertinya Tuhan ingin aku dan Vira bertemu lagi." ujar Zavon dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD