"Maaf, nak, ibu mau tanya, kamu siapanya Vira?" Tanya salah satu ibu-ibu yang berada di rumah Vira.
Zavon menatap Vira yang masih meraung, menangisi neneknya. Mendengar suara tangis Vira, membuatnya ikut sedih mendengarnya. Seharusnya Zavon tidak seperti ini. Ini adalah hal yang baru baginya, dan semua penyebabnya adalah Vira.
"Saya teman Vira, Bu." Jawab Zavon.
"Oalah. Kalau boleh tahu, kamu tahu tidak kenapa Vira tidak pulang semalam?" Tanya ibu itu lagi.
Ibu itu tidak tahu kalau Vira juga sedang mendapatkan bencana dalam dirinya. Menjadi taruhan pacar sendiri, bukankah bisa dianggap sebagai bencana batin? Rasanya sangat menyakitkan. Ia juga tidak tahu kalau semalaman Zavon berjuang untuk tetap menjaga Vira yang terus memancingnya, meski ia kelepasan dengan meninggalkan jejak di leher Vira.
"Vira bekerja, Bu. Jadi semalaman tidak pulang. Dia bekerja untuk pendaftaran kuliahnya." Jawab Zavon berbohong.
Ibu itu mengangguk, sedikit membuat Zavon merasa lega meski tidak sepenuhnya bisa tenang. Kebohongan yang ia katakan sekarang, pada akhirnya pasti akan terbongkar jua.
"Oalah. Coba saja dia ada ada di rumahnya tadi malam. Neneknya meninggal karena serangan jantung. Banyak maling yang datang ke rumahnya dan mengambil barang-barang berharga miliknya." Jelasnya.
Zavon hanya mendengarkan. Dia tidak bisa berkomentar sedikitpun terkait masalah ini. Kata andai untuk kejadian yang sudah berlalu, hanya akan tetap menjadi kata andai. Waktu terlalu egois untuk tidak kembali seperti sedia kala.
"Kini Vira sendirian. Dia tidak punya orangtua, ataupun nenek kakek yang akan mengurusnya. Malang sekali anak itu." Ujarnya.
"Ada aku, Vira. Ada aku yang akan selalu ada di samping mu. Mungkin." Ujar Zavon dalam hati.
"Ah, bukan!" Ucap ibu itu lagi, dengan suara hampir berteriak. Beberapa orang menoleh ke arahnya dan Zavon.
"Dia punya orangtua angkat. Mereka sangat kaya. Apa mereka tidak tahu kalau nenek Vira sudah meninggal?" Tanya ibu lagi, semakin membuat Zavon tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa tersenyum canggung pada ibu itu.
"Semoga Vira diberikan ketabahan ya, Bu." Ucap Zavon, berlalu dari ibu itu.
Zavon mendekati Vira. Ia belum berani untuk mengatakan apapun, hanya duduk di sampingnya saja. Seperti pasangan, baju keduanya pun selaras. Couple. Tapi, siapa yang akan memperhatikan hal itu disaat genting seperti ini?. Ini bukan suatu hal yang harus diperhatikan dengan sangat detailnya.
"Sabar, Vira. Ini adalah kehendak Tuhan. Kamu harus tabah, ikhlaskan semuanya." Bisik Zavon.
Ucapan Zavon tidak di gubris sama sekali oleh Vira. Perempuan itu terus saja menangis dan menangis, seakan-akan dengan cara ini lah ia bisa mengembalikan nyawa neneknya.
Percuma. Tidak akan ada yang kembali. Sudah pergi dan sangat mustahil untuk kembali.
"Nenek..."
"Kenapa nenek tinggalkan Vira? Padahal Vira belum kasih tahu nenek kalau Vira udah lulus SMA."
"Nenek..."
"Vira, sabarlah." Ujar Zavon. Ia merangkul Vira, dan membisikkan kata-kata agar gadis itu bisa tenang.
"Nenek..."
"Vira!"
Zavon histeris karena Vira yang pingsan dalam rangkulannya. Ia langsung mengangkat tubuh gadis itu, bertanya pada salah satu orang terkait dimana kamar Vira berada.
Dengan sangat hati-hati dia membaringkan tubuh gadis itu. Matanya yang sembab, bahkan rambutnya yang ikutan basah oleh air matanya.
"Kamu gadis yang kuat, Vira." Gumam Zavon.
***
Cukup lama Zavon meninggalkan rumah Vira. Ia ke hotel terdekat untuk mengganti bajunya. Ada beberapa anak buahnya yang masih tetap mengikutinya. Zavon akan bebas dari penjagaan mereka ketika sedang kuliah. Bukan dalam artinya bebas mau melakukan apa saja, namun jarak penjagaan mereka yang relatif jauh dibandingkan biasanya.
"Tuan, ibu Cinta ingin berbicara dengan Anda." Ucap salah satu, memberikan ponselnya kepada Zavon yang sedang menatap luar dari jendela besar di depannya.
"Kalian katakan saja kalau aku sedang tidur." Jawab Zavon begitu saja. Ia tidak tahu kalau sekarang apa yang dia katakan terdengar sangat jelas oleh Cinta.
"Apa kamu bilang?!" Bentak Cinta dari sana.
"Sayang, sabar. Biarkan Zavon mengurus urusannya sendiri. Ini di luar kerjaan dan kuliah, biarkan dia mengurus pribadinya."
Sayup-sayup terdengar ucapan dari Dante, yang membujuk istrinya untuk tetap tenang. Di dunia kerja, Dante mungkin akan terlihat garang, tegas dan keras. Namun, itu semua tidak berlaku bagi Cinta. Pria itu sangat nurut dengan istrinya.
Terpaksa, Zavon mengambil ponsel itu. "Ma, Zavon pulang nanti malam. Zavon tidak pulang hari ini. Zavon juga udah izin sama papa. Please, satu kali ini aja. Lagipula Zavon udah punya rumah. Seharusnya Zavon tidak perlu izin terus kalau ke luar." Ucap Zavon, terdengar sedikit lemah.
"Papamu memang sudah mengatakannya pada mama, tapi mama butuh kejelasan. Nenek siapa yang meninggal sampai kamu bela-belain tidak pulang. Jangan bilang kalau kamu sebenarnya punya pacar?" Curiga Cinta pada putranya.
Zavon gelagapan. Ia bingung mau menjawab mamanya dengan apa. Satu sisi, dia masih sedih. Turut berduka atas meninggalnya keluarga Vira, satu sisi lagi dia sedikit senang bisa tetap ada di samping perempuan itu, terlepas seharusnya itu merupakan perpisahan dan pertemuan terakhir.
Melihat kasus seperti ini, secara tidak langsung Zavon sudah terikat dengan Vira.
"Tidak ada hubungan khusus, ma. Hanya teman." Jawab Zavon.
"Ma, nanti Zavon hubungi. Zavon harus ikut ke pemakaman."
"Oke. Mama sama papa juga mau ke pemakaman seseorang."
Zavon tidak merespon mamanya lagi, hanya mematikan panggilan itu secara sepihak sesaat setelah melihat waktu dari jam yang menempel di pergelangan tangannya.
***
Zavon terus memperhatikan Vira dari posisinya saat ini yang cukup jauh dari gadis itu. Vira tidak bisa berhenti menangis, sedangkan banyak orang yang sudah berusaha untuk menenangkannya. Berakhir percuma.
Zavon ingin juga di dekat Vira, tapi ia tidak bisa. Tidak ada hubungan pasti yang membuatnya bisa melakukan hal itu. Akan tetapi setidaknya ia sudah berusaha untuk menjauhkan Juna dari Vira. Saat Juna datang ke pemakaman, Zavon langsung mengusirnya. Terdengar memaksa memang, hanya saja dia berhasil melakukannya.
Suara ponsel Zavon terdengar begitu nyaring sehingga membuatnya mau tidak mau menjauh dari kerumuman itu.
"Halo, pak. Saya mau mengingatkan kalau dua hari lagi adalah jadwal pemotretan untuk produk terbaru kita. Saya harap bapak bisa meluangkan waktu untuk hal ini mengingat bapak tidak masuk kerja hari ini." Ucap orang itu mengingatkan Zavon.
Zavon berjalan keluar dari area pemakaman. Memperbaiki kacamata hitamnya di tengah panas terik matahari yang menyinari hari duka ini. Di belakangnya sudah ada dua pria yang terus mengikutinya.
"Bisakah pemotretannya di tunda?" Tanya Zavon.
"Sepertinya tidak bisa, pak. Jadwal sudah kami atur sedemikian rupa dengan yang lainnya, termasuk di dalamnya adalah jadwal kuliah dan meeting Anda dengan pihak lain. Terlebih, kami juga sudah membooking beberapa hal yang sudah di perlukan dan setuju untuk dilakukan pada hari itu." Jelasnya.
Zavon tidak menjawab. Dia masuk ke dalam mobilnya, di ikuti oleh dua pria itu di kursi penumpang.
"Baiklah." Putus Zavon.
Ia memutuskan panggilan itu, menatap ke arah pemakaman cukup lama. Menghela nafas kasar.
"Tuan, apa sebaiknya kita pulang saja?" Tanya salah satu.
Zavon berbalik, menatap mereka kesal. "Kenapa kalian terus mengikutiku? Kalian tidak lelah? Bisakah mulai dari sekarang jangan mengikuti ku lagi?" Tanya Zavon.
"Maaf, kami tidak bisa."
"Sial!" Kesal Zavon.
Ia menyalakan mobilnya, meninggalkan area pemakaman. Tanpa di sadari olehnya, ada sebuah mobil yang baru saja tiba, menggantikan posisi mobilnya yang sebelumnya terparkir cantik di sana.