Rencana Baru

1289 Words
Akhirnya siang ini Ibu Kharisma sudah kembali ke sekolah. Sebenarnya ada guru lain yang bisa saja membantu Lukas dan Luna untuk melakukan observasi. Tetapi, Lukas hanya mau dengan Ibu Kharisma karena kebetulan Ibu Kharisma lah satu-satunya yang Lukas kenal. Bukannya Lukas memilih-milih guru, tetapi Lukas merasa tidak enak saja ketika ia sudah memiliki janji dengan Ibu Kharisma tetapi ia malah bersama guru lain. Mungkin Ibu Kharisma tidak merasa keberatan, tetapi berbeda lagi dengan Lukas. Lukas dan Luna sudah kembali ke sekolah. Dengan satpam yang sama, ia kembali menyapa petugas itu. "Ayo, Lun." Lukas sudah melepas sabuk pengamannya. Kemudian ada satu hal yang mereka lupakan yang sangat penting dalam observasi kali ini, yaitu tentang bukti observasi di mana mereka harus memakai jas almamater kampus. "Lukas, kenapa kita nggak bawa jas almamater?" tanya Luna dengan panik. Lukas pun baru menyadari hal tersebut. Laki-laki itu menepuk jidatnya. "Ya Allah, Luna. Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" "Kan aku baru ingat sekarang, Lukas." "Jadi gimana, Lun?" tanya Lukas untuk keputusan selanjutnya. "Mau gimana lagi, dosen kita tercinta itu kan nyuruh kudu banget pakai jas almamater waktu observasi." "Pulang dulu nih ambil jas?" tanya Lukas memastikan dan Luna hanya mengangguk saja. Sebelum tancap gas, Lukas kembali menghubungi Ibu Kharisma. Rupanya, sebelum ia menghubunginya, beliau sudah duluan mengiriminya pesan. Setelah Lukas membaca pesan tersebut, laki-laki itu langsung mengembuskan napasnya panjang-panjang. "Kenapa, Lukas?" tanya Luna yang penasaran dengan apa yang baru saja dibaca oleh Lukas. "Kata Bu Kharisma, satu jam lagi beliau ada rapat di sekolah. Kalau mau sekarang beliau siap, tapi kalo diundur besok siang jam satu, ya kata beliau nggak papa." Lukas menerangkan pada Luna tentang pesan yang ia terima dari Ibu Kharisma. "Tapi bukannya besok pagi kita harus balik ke Malang?" Lukas hanya mengangguk, karena sejatinya ia juga sedang berpikir. "Kalo kita pulang dulu ke rumah ambil jas almamater, total perjalanan pulang pergi bisa setengah jam, Lun. Belum lagi kalau ada macet." "Kalau kita observasinya besok jam satu, berarti kita pulang agak sorean dong?" tanya Luna kemudian dan Lukas kembali mengangguk. "Sampai Malang malam dong?" Ia lanjut bertanya dan Lukas kembali mengangguk saja. "Yaudah deh, Lukas. Nggak papa. Tapi kamu bakal capek nggak, habis observasi terus nyetir sampai Malang?" tanya Luna khawatir dengan kesehatan laki-laki itu. Lukas tersenyum. "Kan ada kamu yang buat jadi alarm obat aku." Kemudian ia mengacak puncak kepala Luna.  "Aku serius, Lukas. Nyetir malam-malam bukannya lebih berisiko ya? Walau sebagai penumpang emang lebih enak pas malam, tapi gimana. Kamu yakin?" Luna masih saja tidak yakin jika mereka akan melakukan perjalanan sampai malam hari. Lukas mengembuskan napasnya sejenak. Ia berpikir bahwa yang dikatakan Luna sebenarnya ada benarnya juga karena dirinya juga sering kurang fokus jika menyetir malam-malam. "Gimana kalau kita tambah sehari di sini, Lun?" Lukas memberi Luna tawaran lain. Setidaknya dengan perjalanan ke Malang ketika pagi hari mereka berdua masih dalam keadaan segar dan yang pasti bisa mengurangi risiko. "Boleh," jawab Luna tanpa berpikir panjang. Laki-lali itu langsung saja tersenyum karena dengan begitu berarti banyak waktu yang bisa mereka berdua habiskan. "Kamu yakin, Lun?" Lukas bertanya untuk memastikan. Luna mengangguk. "Nggak papa. Aku nanti juga izin lagi sama orang tua aku, Lukas." "Asyik!" "Asyik kenapa, Lukas?" Lukas jadi kikuk. "Hah? Enggak kok, Lun. Asyik aja aku bisa lebih lama sama kamu." Lukas pun tidak berniat untuk mengada-ada. Bersama Luna, Lukas tidak perlu berbohong untuk berbicara, karena berkata jujur sebenarnya lebih menyenangkan apalagi yang diajak bicara Lukas adalah Luna si gadis yang cukup polos tapi menggemaskan. "Emang kamu ada rencana mau ninggalin aku setelah kita balik ke Malang?" tanya Luna dengan nada yang terdengar menyedihkan. Ekspresinya pun berubah sedih. "Katanya mau jadi temen aku, kok malah mau ninggalin aku?" tanyanya tidak terima. "Loh, bukan gitu, Lun. Aku cuma takut aja nanti kalo udah di Malang, semuanya bakal balik kayak sedia kala. Kamu punya Nisa dan Desi, sedangkan aku sama teman-teman nongkrong aku di kantin. Akhirnya kita nggak jadi saling sapa kalo lagi papasan." Yang dikatakan Lukas ada benarnya. Memang Luna dan dua sahabatnya seperti mempunyai dunia sendiri jika sudah bersama-sama. Tetapi, dalam hati kecil Luna dirinya juga tidak mau jika sampai semua itu terjadi dan keakrabannya dengan Lukas hanya sebatas ketika melakukan tugas observasi ini. Luna ingin pertemanannya dan persahabatannya dengan Lukas masih terus berlanjut sampai kapanpun, karena Luna sudah terlanjur nyaman bersahabat dengan Lukas. "Lukas, jangan sampai kayak gitu. Aku udah nyaman sahabatan sama kamu. Kamu udah bikin aku ngerubah stigma negatif tentang diri kamu. Kamu itu baik, ramah, nggak cuek nggak dingin kayak yang aku pikirin sebelum kita jauh lebih kenal." Lukas tersenyum mendengar penuturan dari Luna. "Lun, makasih ya udah mau jadi teman aku." Luna mengangguk. "Iya. Pokoknya kita kudu temenan sampai kapanpun. Janji?" Luna mengangkat jari kelingkingnya. Tetapi, Lukas tak kunjung mengaitkannya. Akhirnya, Luna mengangkat paksa tangan Lukas dan mengaitkan jari kelingking Lukas dengan jari kelingkingnya. Lukas pun terkekeh. "Kita udah pernah janji kan, Lun?" "Iya tau. Aku cuma nggak mau kamu lupa sama janji kita." "Iya, nggak bakal lupa, Luna." Lagi-lagi, kebiasaan Lukas adalah mengacak puncak kepala Luna. "Yaudah. Ayo cari bakso." "Udah lapar lagi?" tanya Lukas. Luma sedikit membulatkan matanya. "Emang kita udah makam siang?" "Yang tadi?" Yang dimaksud Lukas adalah makanan cepat saji nugget dan kentang goreng. "Yang itu cuma camilan, Lukas." Lukas menuruti saja keinginan Luna. Mumpung mereka masih ada di Solo, Lukas akan membawa Luna untuk makan bakso khas Wonogiri yang memang terkenal sangat enak di mana-mana bahkan sampai ibu kota.  Keduanya sudah dalam perjalanan menuju warung bakso yang dimaksud Lukas. Warung tersebut tidak jauh-jauh dari sekolahnya dulu semasa SMA yang tidak jauh juga dari sekolah ini. Tetapi, sayang sekali warung bakso tersebut telah tutup dan sepertinya warung tersebut pindah tempat karena ada keterangan yang tertempel di sana.  "Yah, bakso kesukaan aku tutup, Lun," kata Lukas dengan nada kecewa. Padahal terakhir kali dirinya datang ke sini semuanya masih baik-baik saja dan tidak ada tanda-tanda warung bakso akan tutup. Wajar saja sebenarnya, karena terakhir kali datang ke sini yaitu sekitar tiga sampai empat bulan yang lalu. "Yaudah, Lukas. Cari bakso lain aja," kata Luna yang sepertinya tidak peduli dengan warung bakso langganan Lukas yang sudah tutup. Saat ini yang ada di pikirannya hanya ia ingin cepat-cepat untuk bisa makan bakso Solo yang kuah kaldunya memang berasa berbeda dengan bakso Malang yang biasa ia beli di pedagang keliling yang melewati kostnya. "Tapi aku pengennya di sini, Lun." Lukas tetap ingin memperkenalkan bakso kesukaannya pada Luna. Ia bisa saja membeli bakso di warung lain, tetapi menurut Lukas juga dirinya ingin membuktikan bahwa bakso Wonogiri ini jauh lebih enak dari bakso Malang dan pendatang harus mencoba bakso khas daerah ini. "Kamu keburu laper nggak, Lun?" tanya Lukas. Luna mengangguk sambil meremas perutnya. Sebenarnya perempuan itu belum terllau lapar, tetapi jika diajak makan bakso, ia akan berbaris paling depan. "Aku udah laper banget, Lukas." "Halah, Luna. Jangan lebay!" Luna pun melepaskan cengekramannya pada perutnya sendiri. Ia meringis menatap Lukas yang sepertinya masih kesal karena bakso kesukaannya sudah tutup.  "Kita ke mini market dulu buat beli roti, kamu makan sambil perjalanan ke Wonogiri, kita perlu banget cobain bakso ini, Luna." "Lukas, kalau emnag kita bakal makan bakso, yaudah nggak usah mampir ke mini market buat beli pengganjal perut. Aku juga bisa kok nahan lapar," kata Luna yang ia merasa jika Lukas terlalu memikirkan perutnya padahala dirinya sendiri juga butuh makan.  "Yakin, Lun?" tanya Lukas sekali lagi. "Tempatnya rada jauh. Sekitar satu jam perjalanan." Luna terkejut. "Mau makan bakso kok jauh banget?" tanyanya tidak percaya. "Ya gimana, Lun. Tapi dijamin kamu nggak bakal nyesel buat makan bakso ini." Setelah diyakinkan oleh Lukas, akhirnya Luna menyetujui untuk ikut Lukas mencari bakso langganannya yang pindah cabang di rumahnya sendiri yaitu ada di daerah dekat dengan objek wisata Waduk Gajah Mungkur yang ad di Kabupaten Wonogiri, cukup jauh dari kediaman Lukas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD