Sekolah Rekomendasi Lukas

1204 Words
“Mau makan apa?” tanya Lukas pada Luna yang hanya diam saja. Luna pikir Lukas itu dingin, tetapi ia cukup ramah karena sudah mengajaknya makan siang di kantin dan bahkan menanyai dirinya ingin makan apa. Tetapi, sayangnya Luna sedang tidak berselera makan. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena mendengar kabar bahwa Bu Ikah sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari ke depan. “Kamu aja yang makan, Kas. Aku nggak selera,” kata Luna. Ia memilih duduk di bangku paling dekat dengan saat ia berdiri sekarang ini. Lukas hanya bisa memandang Luna yang sudah duduk dan meletakkan kepalanya di atas meja. Padahal, Luna tidak pernah tahu bahwa bisa saja meja tersebut kotor karena tumpahan kuah bakso atau minuman. Lukas memutuskan untuk segera memesan saja tanpa menawari Luna lagi. Tidak lama, Lukas sudah kembali dengan satu nampan oenuh makanan dan minuman. Ia meletakkannya di atas meja lalu duduk di sebelah Luna, padahal ia bisa saja duduk di depan Luna. Satu per satu Lukas memindahkan makanan dan minuman itu ke hadapan Luna. Ada satu porsi gado-gado yang ia berikan pada Luna dan segelas es teh manis, tidak lupa juga sebotol air mineral dingin. “Makan, Lun,” kata Lukas mempersilakan Luna untuk menikmati apa yang sudah dipesan laki-laki itu. Luna mengangkat kepalanya. Ia mengamati makanan yang ada di hadapannya dan juga makanan yang ada di hadapan Lukas. “Kok kamu pesenin aku gado-gado?” tanya Luna yang akhirnya tertarik juga dengan makanan itu. Lukas yang sedang mengunyah baksonya itu perlu beberapa detik untuk menelannya sebelum menjawab pertanyaan dari Luna. “Nggak papa. Setau gue gado-gado di sini enak, jadi gue pesenin buat lo, siapa tahu lo suka,” ucapnya dengan lancar. “Makan gih,” lanjutnya sebelum akhirnya satu bola-bola bakso masuk ke dalam mulutnya. ‘Tapi gado-gado di sini harganya mahal, Lukas. Bahkan hampir dua kali lipat dari bakso yang kamu makan.” “Emang iya. Terus kenapa?” Luna mengembuskan napasnya, lelah, karena begitu saja Lukas tidak mengerti apa yang ia maksud. “Jajan gado-gado di kantin bikin boros. Harusnya di belakang g**g aja. Lebih banyak dan lebih murah, Lukas.” Lukas meletakkan sendok dan garpunya. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya menghadap Luna yang masih belum mau menyentuh makanannya. “Luna ...,” ucapnya sambil menatap perempuan itu. pipinya menggembung karena masih ada satu bakso yang ada di dalam mulutnya. “Makan.” Luna malah menggeleng. “Nggak mau, Lukas.” “Lah, kenapa?” tanyanya setelah berhasil mengosongkan mulutnya. “Lo alergi kacang?” Luna menggeleng lagi. “Bukan gitu. Gue nggak nafus makan, Lukas.” “Ck.” Lukas sampai berdecak, membuat Luna menjadi takut. “Maaf, Lukas. Kamu jangan pasang wajah galak kayak gitu, aku takut!” Perkataan Luna memang jarang sekali ia saring. Ia lebih suka mengatakan apa adanya saja dari pada harus menahan sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Bahu Lukas merosot. Ia tidak paham lagi dengan sifat Luna yang ternyata sepolos dan apa adanya seperti ini. Yang biasanya ia akan bersikap dingin dengan orang asing, kali ini Lukas justru tertantang untuk menjadi ramah kepada Luna. Tiba-tiba saja Lukas meringis. Dirinya mengendok satu suap gado-gado tersebut dan mengarahkan ke mulut Luna. “Ayo, makan dulu. Aa....” Satu sendok gado-gado itu sudah sampai di depan mulut Luna. “Lukas, malu!” “Ya makanya, ayo dimakan!” kata Lukas masih dengan ekspresinya yang meringis yang justru semakin membuat Luna merasa takut. Luna tidak juga membuka mulutnya. Akhirnya laki-laki itu menyerah. Ia meletakkan kembali satu sendok yang berisi gado-gado dan napasnya yang ia buang karena lelah menyuruh Luna makan, dapat dirasakan oleh perempuan itu. “Udah lah, Lun. Jangan dipikirin masalah observasi ke sekolah. Nanti gue pikirin deh jalan keluarnya.” Lukas tetap berusaha memberikan Luna suntikan semangat. “Emang kamu bisa mikir?” kata Luna yang langsung membuat Luaks menoleh menatapnya ketika ia sedang menyeruput es teh manisnya. Luna sadar jika perkataannya terlalu kasar didengar oleh Lukas. “Eh, nggak gitu maksud aku, Lukas. Maksud aku ....” “Nanti kita ke sekolah teman mama gue,” kata lukas, membuat mata Luna membulat tidak percaya. “Mama kamu punya kenalan orang dalam?” tanya Luna. Lukas hanya mengangguk dan kembali menikmati baksonya. “Pokoknya habisin dulu makanannya, habis itu gue ceritain semuanya.” Luna mengangguk antusias. Perempuan itu langsung memasukkan satu suapan gado-gado dan menikmatinya beserta kerupuk yang mulai melempem karena sebagian terendam sambel kacang. Ternyata memang gado-gado yang harganya selangit ini memang rasanya enak sekali walau porsinya terhitung sedikit. Kalau saja tidka diajak Lukas, yang pasti Luna tidak akan memakan hidangan nikmat ini. ia lebih memilih jajan di belakang kampus yang ramah di kantong.   Mereka berdua menghabiskan makanannya dalam diam. Tidak perlu heran, karena memang Lukas terlihat tidak banyak bicara walau sejatinya tidak juga banyak diam. Hanya saja karena Luna yang masih kepikiran mengenai Bu Ikah, makanya otaknya terllau dipenihu oleh ketakutan. Untuk mengobrol pun ia tidak sanggup, apalagi membuat komedi diantara obrolannnya bersama Lukas siang ini. Piring Luna dan mangkuk bakso Lukas sudah kosong. Dua gelas es teh juga sama-sama kosongnya, menyisakan dua botol air mineral yang masih utuh bahkan segelnya belum terbuka. “Udah?” tanya Lukas setelah heing yang cukup lama. Luna mengangguk. “Jadi gimana, Lukas?” tanya Luna menagih Lukas untuk menjelaskan mengenai kenalan mamanya yang merupakan salah satu orang dalam di sebuah sekolah. “Jadi gini, Lun. Mama gue emang punya kenalan seorang guru. Kita bisa minta tolong dia-“ “Beliau, Lukas.” Ucapan Lukas bahkan dipotong oleh Luna hanya untuk mengoreksi panggilan Lukas pada teman mamanya yang seorang guru itu. Lukas tidak banyak membantah karena takut jika pembicaraan ini tidak selesai-selesai. “Oke, jadi mama gue emnag punya kenalan orang dalam. Beliau guru di SMK 1 Bunga Bangsa. Setau gue sih di sana ada mata pelajaran akuntansinya, soalnya sodara gue anak akuntansi juga lulusan sana.” Lukas sudah menjelaskan, kini giliran Luna yang mengangguk-angguk saja. “Ayo kita urus suratnya. Kapan juga kita ke sana?” Luna sudah semakin bersemangat. Ia tidak mau menunda-nunda lagi karena takut jika ada sesuatu ynag tidak terduga terjadi. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Luna, Lukas harus memerlukan waktu untuk berfikir. “Lukas, kapan?” tanya Luna lagi. Memang Luna sudah sangat tidak sabar. “Lo siapnya kapan?” Lukas malah bertanya balik. “Kalo bisa sekarang, kenapa enggak? Tapi kesorean nggak sih?” “Emang diizinin sama orang tua lo?” Pertanyaan Lukas suskses membuat Luna memiringkan kepalanya dan mengerutkan dahinya. Ia tidak paham tentang apa yang dikatakan Lukas baru saja. Luna sangat yakin jika ia tidak perlu meminta izin orang tuanya hanya untuk melakukan observasi di sekolah. Toh, pada akhirnya dirinya juga akan bercerita tentang hal apa saja yang Luna alami pada orang tuanya. “Lukas, aku bukan anak mami. Aku itu mandiri. Nggak perlu nunggu izin orang tua aku kalo Cuma observasi ke sekolah, kecuali kalo sekolahnya ada di luar kota bahkan luar provinsi.” Luna menegaskan apda Lukas. Dirinya seperti menyombongkan diri karena ia merasa kemandiriannya sedang dipertanyakan oleh laki-laki itu. Lukas malah menatap Luna dengan wajah datarnya. Ketika Luna sudah tidak berbicara apa-apa lagi, kini giliran dirinya menatap kedua mata Luna dan membuat Luna terbungkam karena mendnegar perkataannya. “SMK 1 Bunga Bangsa Surakarta, Luna. Surakarta alias Solo alias Jawa Tengah.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD