Love You Too, Dear

1272 Words
Setelah acara video call dengan Nisa dan Desi selesai, Lukas yang juga selesai diceramahi oleh Nisa dan Desi hanya melirik tajam ke arah Luna. Sedangkan perempuan itu malah santai saja seperti tidak ada beban dan tidak ada yang terjadi. Luna malah asyik bermain game memasak yang ada di ponselnya. "Luna," panggil Lukas. "Hm." Luna hanya berdeham dengan fokus yang masih pada layar ponselnya. "Sedekat apa sih kamu sama Nisa sama Desi?" tanya Lukas yang memang sangat penasaran. Seharusnya Luna sudah sangat dekat sekali dengan mereka jika hal sensitif yang Luna alami pun dapat perempuan itu ceritakan dengan sadar dan santai. Luna cukup menghargai obrolan ini. Ia meletakkan ponselnya dan menatap langit-langit kamar. Sedangkan Lukas masih menunggu ia untuk memberikan jawaban. "Aku kenal sama Nisa sama Desi itu benar-benar yang awalnya nggak pernah kenal. Aku nggak kenal mereka, Nisa nggak kenal Desi, dan Desi juga nggak kenal Nisa sebelumnya. Jadi ya kita langsung aja kenal dan itu bukan yang di kampus. Kami kenal di jalan pas beli cilok. Ceritanya sih kita basa basi sambil nungguin cilok, eh ternyata kita satu kelas dong. Kam waktu itu masih maba yang belum pernah masuk kelas. Akhirnya kami sahabatan sampai sekarang." Luna menoleh pada Lukas yang masih memperhatikannya. "Kalo kamu sendiri gimana, Lukas?" tanyanya kemudian. "Gimana apanya, Lun?" "Ya ...." Luna menghentikan ucapannya. Ia baru ingat jika Lukas pernah bercerita bahwa laki-laki itu tidak benar-benar memiliki teman. Rasanya cukup bersalah karena ia hampir menanyakan hal yang mungkin bisa membuat Lukas sedih. "Ah nggak jadi, Lukas." Luna mengakhiri perkataannya dengan kekehan. "Nggak jadi kenapa, Lun?" tanya Lukas yang menjadi penasaran. Luna menggeleng. "Enggak." Kemudian ia mendorong tubuh Lukas. "Sana kamu keluar, aku mau tidur." Rupanya dorongan itu terlalu kuat dan Lukas memang tidak menahannya. Pada akhirnya laki-laki itu jatuh dari atas kasur. "Aduh ...." Ia mengaduh. Bukannya dibantu bangun, Luna malah tertawa terbahak-bahak karena ekspresi Lukas yang sangat Lucu. "Jahat kamu, Lun." Lukas bangun sambil merapikan rambutnya. "Halah, Lukas. Cuma mau tidur aja pake ngerapihin rambut!" "Biar ganteng!" jawab Lukas dengan penuh percaya diri. "Nggak usah dirapihin pun udah ganteng dari sananya kamu, Lukas." Okai, tenang. Lukas tidak boleh baper dibilang ganteng oleh Luna. Pasalnya, bukan hanya Luna saja yang pernah berkata bahwa dirinya memang tampan. Ada banyak perempuan yang mengatakan hal tersebut dan itu sangat wajar karena dalam kenyataannya ketampanan Lukas memang di atas rata-rata. Tetapi, entah mengapa ketika Luna yang berkata bahwa dirinya tampan, ada sesuatu yang berterbangan di dalam dadanya. "Lun, aku keluar ya. Mau tidur," kata Lukas yang izin pamit untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri. "Okai. Selamat malam, Lukas. Jangan lupa mimpiin aku ya!" kata Luna dengan pedenya. "Hm." Lukas lalu berbalik dan berjalan keluar kamar yang dipakai Luna untuk tidur. "Lukas!" Tiba-tiba saja Luna memanggil ketika Lukas masih berada di ambang pintu kamarnya. Lukas menoleh. "Ada apa, Lun?" tanyanya. "Tolong matiin lampu sama tutup pintunya ya! Aku males banget bangun, hehe." Tidak susah untuk mematikan lampu kamar dan menutup pintu. Lukas melakukannya dengan ringan-ringan saja tanpa paksaan atau tanpa helaan napas. "Makasih banyak, Lukas. Good night and love you!" ucap Luna ketika Lukas sudah mematikan lampu kamarnya. "Hm ... love you too, dear." Untung saja, Luna tidak terlalu mendengar kata terakhir yang diucapkan Lukas.  Setelah pintu kamar ditutup dan hanya menyisakan sedikit cahaya dari lampu tidur yang menyala di atas nakas, Luna tidak lantas langsung tidur. Jam di ponselnya belum sepenuhnya menunjukkan pukul sepuluh dan yang pasti sedari tadi ponselnya terus saja bergetar karena banyaknya pesan masuk dari Nisa dan Desi. Namun, alih-alih membalas pesan mereka, Luna hanya membiarkan saja dan membuang jauh-jauh ponslenya ke ujung ranjang supaya getarannya tidak mengganggu dirinya. Luna hanya menatap langit-langit kamar dengan pencahayaan seadanya. Saat ini memang malam belum larut, tetapi suasana yang cukup sepi membuat Luna sangat nyaman untuk mulai beroverthinking.  Ada banyak hal yang ada di pikiran Luna. Selain Luna masih memikirkan tentang hubungan Lukas dan Ibunya, ia juga memikirkan mengenai kedekatannya pada Lukas yang ia rasa juga terlampau dekat dan cukup berlebihan. Luna baru sadar, jika ia dan Lukas berada dalam satu ranjang seperti tadi ketika video call bersama dengan Nisa dan Desi, nampaknya memang kurang pantas. Luna paham jika semua ada tata krama dan ada batasannya dan Luna juga sadar bahwa ia dan Lukas sudah terlampau untuk sekadar berhubungan layaknya teman atau bahkan sahabat. Luna rasa dirinya dan Lukas lebih pantas seperti adik dan kakak atau saudara kandung yang tidak masalah jika setiap kali melakukan skin ship,  misalnya saja perpegangan tangan atau bahkan sesekali menciumnya. Luna sadar, harusnya ia tidak mewajarkan semua ini. Luna harus lebih bijak lagi dan sudah seharusnya juga ia bisa menjaga jarak layaknya laki-laki dan perempuan dewasa yang tidak mempunyai hubungan apa-apa kecuali sahabat baik. Luna harus bisa mengontrol dirinya dan menyadari bahwa Lukas adalah laki-laki yang seharusnya ia perlakukan berbeda seperti ia memperlakukan Nisa dan Desi seperti perempuan. Luna bisa bebas memeluk Nisa dan Desi, bergandengan, ataupun mencium pipi karena hal tersebut dapat diwajarkan. Tetapi dengan Lukas, perempuan itu benar-benar harus mengurangi semuanya.  Luna bisa saja berniat seperti itu. Tetapi, dalam kenyataannya ia sudah terbiasa dekat dengan seseorang yang ia rasa nyaman. Untuk menjaga jarak secara tiba-tiba bagi perempuan itu memnag sedikit susah, apalagi jika ia terus memikirkan mengenai jaga jarak ini. Luna hanya berharap jika dirinya bisa dengan alami untuk sadar diri jika Lukas adalah laki-laki dan dirinya adalah perempuan. Luna tidak ingin terlalu memikirkan tentang hal itu. Semoga saja, setelah ia bangun tidur, semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan Luna dan semuanya akan berjalan secara natural tanpa dibuat-buat.  Kemudian Luna kembali memikirkan mengenai dirinya yang terlalu jujur pada Nisa dan Desi perihal Lukas yang menciumnya kemarin malam dan bsekitar satu jam yang lalu. Walau mereka sudah bersahabat sejak lama, tetapi tidak seharusnya Luna menceritakan hal tersebut apalagi dengan pengakuan langsung dari Lukas kepada Nisa dan Desi.  Luna sadar sekali jika memang kadang-kadang dirinya terlalu menganggap wajar banyak hal terutama mengenai sebuah persahabatan. Luna pikir semuanya akan bisa ia ceritakan pada sahabatnya. Tetapi, setelah dipikir-pikir, tidak seharusnya ia terlalu sering menceritakan apapun yang ia alami kepada sahabat-sahabatnya. Seharusnya, sedekat apapun mereka bersahabat, tetap saja harus ada celah yang dapat digunakan untuk menyimpan sendiri pengalaman-pengalam atau kejadian yang dialami secara pribadi. Bukan bermaksud untuk merahasiakan dan tidak mau berbagi pengalaman, tetapi memang terkadang hal sensitif yang mungkin tidak bisa diterima dengan wajar oleh beberapa orang, sudah sebaiknya untuk disimpan saja sendirian. Perempuan itu jadi memikirkan bagaimana perasaan Lukas ketika ia harus mengakui mencium dirinya di depan Nisa dan Desi, apalagi ketika Lukas mengatakan hal itu, pipinya terlihat sangat merah dan ia juga terlihat sangat malu. Ditambah dengan kata maaf yang diucapkan Lukas pada Nisa dan Desi, membuat Luna semakin berpikir bahwa memang Lukas merasa tidak nyaman harus menceritakannya pada orang lain yang bahkan tidak Lukas kenal dengan baik. Beberapa kali Luna memukul kepalanya sendiri karena merasa bodoh. Seharusnya ia bisa berpikir sebelum menyuruh Lukas menceritakan semuanya. Seharusnya Luna tahu dampak apa yang terjadi bukan hanya dirinya dan Lukas, tetapi juga sikap Nisa dan Desi menanggapi hal tersebut. Sangat jelas terlihat di layar ponsel jika Nisa dan Desi sangat terkejut dengan pengakuan Lukas. Bagaimana tidak, pengakuan Lukas tadi adalah aib terburuk yang pernah Luna bagikan pada Nisa dan Desi. Luna jadi takut, jika Nisa dan Desi merasa risih dengan dirinya yang sudah terlalu memiliki banyak aib. Memang benar jika setiap manusia memiliki aib, tetapi sepertinya hanya Luna yang dengan polosnya malah memamerkan aib yang telah ia buat.  Luna gelisah. Dirinya tidak bisa tidur. Beberapa kali ia berguling ke kanan dan ke kiri hanya untuk menghalau rasa gundah yang semakin merasuk dalam pikirannya, tetapi tetap saja ia malah semakin merasa lelah karena kecerobohannya yang tidak berpikir panjang sebelum berbuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD