Kesadaran Luna

1197 Words
Luna mengambil ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu di ruang obrolan yang tidak lagi sulit ia dapatkan, karena telah ia sematkan dan bertengger di paling atas di antara banyaknya pesan ketika ia membuka apliaksi w******p. Selesai mengetikkan sesuatu dan langsung mendapat balasan, Luna bangun dari kasur. Ia berjalan menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka pintu. Kebetulan sekali, yang ia kirimi pesan juga baru saja keluar dari kamar, yaitu Lukas. "Ada apa, Lun?" tanya Lukas yang nampak penasaran karena malam-malam begini Luna mengiriminya pesan yang berkata bahwa Luna ingin membicarakan sesuatu. Setelah Luna sampai di depan Lukas, perempuan itu menarik napasnya terlebih dahulu sebelum mulai mengatakan apa yang ingin ia katakan. Sementara dengan manusia yang ada di hadapannya, Lukas masih menunggu hal apa yang membuat Luna dan Lukas berdiri di depan kamar ketika hampir tengah malam. "Lukas, aku minta maaf sama kamu," ucap Luna dengan satu tarikan napas. Ia menatap laki-laki itu penuh rasa bersalah. Bahkan telapak tangannya mulai dingin karena ia benar-benar merasa tidak enak dengan apa yang sudah ia lakukan pada Lukas ketika sedang video call dengan Nisa dan Desi. Namun, seperinya Lukas tidak paham perkataan minta maaf Luna yang entah mengacu ke mana. Seingat Lukas, perempuan yang ada di depannya itu belum pernah melakukan kesalahan atau bahkan hal yang memicu kesebalannya. "Lun, kamu ngomongin tentang apa?" tanya Lukas benar-benar tidak paham. "Tentang yang tadi. Yang kita video call sama Nisa sama Desi. Nggak seharusnya aku nyuruh kamu nyeritain semuanya ke mereka. Maafin aku, Lukas. Kayaknya emang aku harus hati-hati lagi buat nggak ngebiasain buat cerita semuanya ke mereka di saat yang terlibat dalam ceritaku itu bukan cuma aku sendiri, tapi juga ada kamu. Gimana pun juga harusnya aku bisa jaga nama baik kamu, Lukas." Luna menunduk. Ia siap dengan konsekuensi apa saja yang akan diterimanya. Entah itu Lukas marah dengannya, menyuruhnya membersihkan taman, atau bahkan menyuruhnya untuk menguras kamar mandi pun Luna tidak masalah. Asalkan rasa bersalahnya bisa sedikit berkurang, yang dapat membuat Luna sedikit lega. "Sekarang aku serahin semuanya sama kamu, Lukas. Kamu boleh marah sama aku. Bahkan kamu boleh nyuruh-nyuruh aku buat ngapain aja asal maafin aku soal yang tadi," katanya setelah kembali menegakkan kepala. Mendengar penuturan dari Luna, membuat Lukas tersenyum. Laki-laki itu menyempatkam untuk mengacak puncak kepala Luna, kemudian turun ke bahu dan menepuknya. "Kamu cukup jadi diri kamu sendiri, Lun. Masalah yang tadi udah aku maafin dan nggak aku pikirin. Jangan merasa bersalah kayak gitu kalo emang itu kebiasaan kamu. Cuma aku minta tolong banget buat dijadiin pelajaran aja. Nggak semua pengalaman bisa diceritain ke orang lain sekalipun sahabat dekat kita sendiri. Kamu butuh privasi, orang lain yang kamu seret pun butuh privasi, Luna. Sekiranya nggak penting buat diceritain, nggak perlu kamu ceritain. Keep aja buat diri kamu sendiri, Luna." Luna mengangguk dengan pelan. "Iya, Lukas. Aku boleh minta tolong buat ingetin aku nggak kalo aku terlalu keterlaluan?" "Kamu nggak pernah keterlaluan, Luna. Kamu nggak boleh khawatir gini sama diri kamu sendiri. Gimana kamu bisa jadi lebih baik kalo selalu khawatir? Pasti yang ada di pikiran kamu itu cuma rasa khawatir tanpa perbaikan. Jadi ya jalanin aja semuanya seperti biasanya ya, Luna. Jangan berusaha jadi orang lain cuma buat dapet penilaian bagus dari mereka tapi aslinya kamu tersiksa. Luna yang aku kenal itu lucu, polos, gemesin walau kadang nyebelin." Lukas sudah terkekeh saja. Padahal, menurut Luna tidak ada yang lucu saat ini. Laki-laki itu melangkah lebih dekat pada Luna. Merengkuh Luna dengan dagu yang pas sekali di puncak kepala Luna, menepuk-nepuk punggunya dan memberinya energi positif yang mungkin sedang dibutuhkan oleh perempuan itu. "Jangan terlalu dipikirin. Sekarang kamu tidur ya walau besok siang kita ke sekolahnya." Lukas melepaskan pelukannya. Ia tidak pernah menyangka jika air mata sudah mengalir saja di pipi Luna. "Luna ...?" Luna diam dan bibirnya melengkung ke bawah. Sementara air matanya tetap mengalir seirama dengan perasaannya yang menjadi hangat setelah membicarakan langsung semuanya dengan Lukas. Sedetik kemudian Luna langsung memeluk Lukas erat-erat. Ia menyenderkan kepalanya pada bahu yang bidang itu. Napasnya terseok sesegukan karena tangisnya yang malah menjadi-jadi. "Lukas, makasih ya hiks ... hiks ...." "Udah, Luna." Lukas melepaskan pelukan itu. Ia menunduk menatap Luna yang wajahnya berubah memerah karena tangis. "Nggak usah nangis gitu, cantiknya ilang." Lukas terkekeh. Satu tampolan di bahu kirinya pun diterima Lukas. "Kamu jangan bercanda gitu, kam aku lagi nangis," kata Luna dengan suaranya yang bergetar dan tangisnya yang malah menjadi-jadi. "Lho lho lho, kok kamu semakin nangis, Lun?" tanya Lukas yang cukup khawatir karena takut jika suara tangis Luna dapat di dengar oleh Ibu atau Ayahnya. Lukas menengok jam dinding yang terpajang di sana. "Masih jam sebelas. Mau ke minimarket beli es krim?" tanya Lukas pada Luna yang langsung mengangguk. "Oke. Kamu ambil jaket, kita beli es krim sekarang ya?" Luna menggeleng, membuat Lukas kembali bingung. "Kenapa, Lun? Kamu nggak mau beli es krim? Apa aku aja yang beliin dan kamu nunggu di rumah?" Luna kembali menggeleng. "Aku mau ikut tapi aku nggak punya jaket," kata Luna berterus terang. Suaranya masih khas seperti anak yang baru saja reda dari tangisannya. "Bentar, pake jaket aku aja kalo gitu." Lukas langsung masuk ke dalam kamarnya. Tidak berselang lama, ia sudah membawa dua hoodie dengan warna yang sama yaitu hitam polos tanpa gambar atau tulisan apapun di luarnya. "Kamu mau yang mana, Lun?" tanya Lukas memberikan pilihan pada Luna. "Semuanya sama, Lukas. Hitam dan nggak ada coraknya sama sekali." Luna akhirnya mengambil satu hoodie milik Lukas dan langsung memakainya. "Gede banget, Lukas." Lukas terkekeh melihat Luna yang tenggelam dalam hoodienya. "Nggak papa, Lun. Biar nggak dingin." Melihat Luna tenggelam dalam hoodienya membuat Lukas merasa gemas saja. Tangan perempuan itu sama sekali tidak terlihat. Luna kesusahan untuk mengeluarkan tangannya dan pada akhirnya ia mendapatkan bantuan dari Lukas.  "Makasih, Lukas. Kamu itu jadi orang kok tinggi banget, ngagk heran sih kalo aku tenggelam di hoodie kamu!" Saat ini keduanya siap untuk pergi ke minimarket yang ada di depan komplek. Mereka berdua menuruni tangga dengan berhati-hati supaya tidak menimbulkan kegaduhan yang mungkin saja bisa mengganggu Ibu dan Ayahnya yang sedang beristirahat. Mereka pun juga memilih untuk jalan kaki saja karena untuk mengeluarkan motor dari garasi akan membuat suara yang sedikit gaduh. "Jalan kaki ya, Lun," kata Lukas menawari. Luna mengangguk saja. "Iya, Lukas." Ketika sampai di ruang tamu, Lukas dan Luna sedikit terkejut karena seorang perempuan s dang duduk di sana sembari melihat-lihat sebuah album foto. Ekspresinya datar tetapi dari sorot matanya yang tertuju pada banyak foto itu mengisyaratkan sebuah kerinduan. Lukas dan Luna yang menyadari bahwa Ibu Lukas sedang ada di sana, tidak lupa untuk berpamitan. "Lho, mau kemana malam-malam?" tanya Ibu Lukas yang menyadari sudah ada putranya dan teman putranya di sini. "Mau ke mini market sebentar, Ma," ucap Lukas tanpa tambahan embel-embel apapun. "Iya, Tante. Mau beli es krim. Tante mau nitip apa?" Dengan senang hati Luna menawari Ibu Lukas. Lukas yang menyaksikan itu hanya diam saja menunggu dua perempuan itu selesai dengan urusan mereka. Beberapa detik setelah Ibu Lukas berpikir, sepertinya memang tidak ada yang ia butuhkan saat ini. "Tante nggak nitip apa-apa deh. Kalian hati-hati ya." "Ayo, Lun." "Berangkat dulu, Tante. Assalamualaikum." Luna tidak Lupa memberikan salam pada Ibu Lukas. Karena Luna sadar jika meninggalkan tanpa salam berarti sama saja pergi tanpa pamit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD