9. Percikan Api

1665 Words
Fadia tidak tahu mengapa hatinya bisa sekacau ini hanya ketika melihat Afsheen berciuman dengan wanita lain? Padahal dia seharusnya mengerti memang itu lah pekerjaan Afsheen, bahkan dia saja membayarnya untuk menemaninya. Ralat-miss Pinky yang membayarnya! Namun tetap saja membayar itu untuk Fadia kan? Mencoba menenangkan diri dan menghapus air mata yang telah menetes dari mata itu. Ocean kemudian memarkirkan kendaraan di coffee shop milik salah satu kenalannya. Tempat itu memang buka sampai dini hari. Cukup ramai karena ada billiard dan juga arena khusus tenis meja. Sementara Ocean mengajak adiknya dan teman adiknya itu menuju lantai dua di area rooftop. Biasanya setiap weekend akan ada penampilan band di lantai dua ini, namun karena mereka datang di hari biasa, maka tak ada suara musik yang menggema. Ocean tampak berbincang dengan pemilik cafe sementara Fadia dan Shena sudah duduk di salah satu spot yang tampak sangat nyaman, memesan dua gelas es kopi dan juga beberapa cemilan. “Kamu kenapa?” tanya Shena. Fadia mengembuskan napas kasar dan menatapnya. “Aku rasa ... aku patah hati,” jawab Fadia, bahkan dia masih ingat betapa Afsheen memintanya untuk jujur pada dirinya sendiri dan tak pernah menutupi perasaannya, Fadia yang selama ini tertutup pun mulai membuka diri. Jika sebelumnya dia hanya akan berkata tidak apa-apa di setiap pertanyaan, namun kini berbeda. “Tiba-tiba?” tanya Shena. Dia jelas tak melihat pria yang berciuman tadi karena terhalang mobil lain, berbeda dengan Fadia yang bisa melihatnya secara langsung. “Yah begitu lah,” ucap Fadia. “Ya sudah, sekarang tenangkan diri kamu, minum kopinya,” ucap Shena. Fadia menyeruput es kopi itu, memang tenggorokannya terasa sedikit kering. Ocean datang dan membawa segelas hot americano, membuat Shena berkernyit membayangkan betapa pahitnya kopi itu. “Sudah selesai nangisnya?” tanya Ocean yang mendapat sikutan dari sang adik, kakaknya terlihat tidak memiliki empati sama sekali. “Apa sih?” gumam Ocean, pria beralis tebal dengan hidung mancung itu menatap sinis sang adik. Fadia hanya terdiam, lebih baik dia mengunyah makanan dari pada dia berlarut akan kesedihan meski hati tak bisa dibohongi, dia masih merasakan gusar. Seandainya dia memiliki nomor ponsel Afsheen mungkin akan lebih baik. “Wajah kamu enggak asing, apa kita tetangga?” tanya Ocean. Fadia menoleh ke arahnya sementara Shena tersedak, dia juga menyembunyikan alamat dari teman-temannya. Dia tak mau temannya tahu tentang kehidupan pribadinya lalu menjaga jarak dengannya. Dia menginginkan pertemanan yang tulus tanpa memandang status. “Minum pelan-pelan kan bisa?” gumam Ocean dengan suara beratnya. “Kurasa enggak. Enggak mungkin kita bertetangga,” tutur Fadia menjawab pertanyaan Ocean. Namun pria itu seperti mengingat wajahnya, terutama di bagian matanya, ada sesuatu yang membuatnya teringat pada wanita itu. Ah mungkin dia salah ingat. “Ulang tahun WW Group sebentar lagi kan? Katanya ada acara lomba antar departmen Fad, kamu tahu?” tanya Shena mengalihkan pembicaraan, tak mungkin Fadia tidak tahu karena dia yang mengatur pamflet atau poster yang akan disebar nanti. “Iya, malam puncaknya ada artis juga, tapi diadakan di kantor kok, taman kan luas,” ungkap Fadia. “Tahun ini berbeda sepertinya,” ucap Shena. “Iya Ma-ehm Pak Erlan dan Pak Lucky akan ikut serta dalam lomba,” ujar Fadia hampir membocorkan bahwa dia memanggil mereka dengan panggilan Mas. Ocean masih memperhatikan Fadia, hingga dia melihat bola meluncur dari arah belakang Fadia, segera Ocean menangkap bola billiard itu membuat Fadia merasa dia bisa menghirup aroma napas Ocean yang sangat dekat dengannya. Matanya membelalak, dia tak siap dan hampir jatuh dari kursinya jika Ocean tak segera menahan dengan tangannya. Shena bertepuk tangan mengagumi ketangkasan kakaknya. Setelah mengembalikan kursi pada posisi semula. Ocean pun melemparkan tatapan tajam ke arah belakang Fadia, dua orang anak muda saling sikut dan berlari ke arahnya. Mereka sungguh tak menyangka lemparan bola billiard itu meleset dan justru hampir mengenai pengunjung lain. Ocean terlihat kesal, menggulung lengan kemejanya dan berjalan ke arah mereka. Dia bertolak pinggang dan kedua anak muda itu menunduk ketakutan. “Kalian tahu kan tempat Billiard itu di bawah? Kenapa dibawa bolanya ke atas???” geram Ocean, melihat postur tubuh dan potongan rambutnya mereka pasti tahu bahwa pria itu adalah abdi negara. “Ma-maaf Mas,” ujar kedua anak muda itu, suara Ocean yang menggelegar membuat semua pengunjung menoleh ke arahnya. Fadia pun ikut menoleh seraya memegangi dadanya, dia sangat terkejut tadi. Mungkin jika Ocean tak menangkap bola itu, kepalanya sekarang pasti sudah benjol! “Minta maaf sama adik saya! Dia hampir saja terkena lemparan bola!” tunjuk Ocean pada Fadia. Fadia tampak terkejut hingga Shena berbisik padanya, “biasa sindrom halo dek, semua dianggap adik,” kekehnya mencairkan suasana. Kedua anak muda itu segera menghampiri Fadia dan membungkuk meminta maaf, Fadia ikut berdiri dan memaafkan keduanya. “Jangan diulangi ya,” ucap Fadia pada keduanya. Mereka yang masih tampak gemetar ketakutan itu pun kembali menghampiri Ocean, pria tinggi itu menyerahkan bola tersebut dan meminta keduanya mengembalikan ke lantai satu. Dia kemudian duduk di kursinya semula, “kamu enggak apa-apa kan?” tanya Ocean. “Iya Mas, aman,” ucap Fadia. “Baguslah,” ujar Ocean. Hanya satu jam mereka berada di cafe itu kemudian keduanya memutuskan untuk pulang. “Aku pesan taksi online saja,” ucap Fadia. “Jangan, biar kita antar saja,” ucap Shena ketika mereka sudah ada di dekat mobil. “Merepotkan nanti, enggak apa-apa,” ucap Fadia tak enak hati. “Sebaiknya kamu masuk, sudah malam,” ujar Ocean membuat kedua wanita itu saling tatap, Shena mengedikkan dagunya seolah meminta Fadia untuk menurut. Fadia tak bisa berkutik, aura Ocean pun membuatnya gentar. Sepanjang perjalanan, Fadia memikirkan bagaimana caranya agar dia tak diantar sampai rumah. Hingga dia kemudian mengirim pesan pada kakaknya untuk menjemputnya di depan gerbang perumahan, menggunakan skuter matic yang memang dimilikinya. “Aku dijemput kakak dekat perumahan itu, karena hmmm mobil enggak bisa masuk gang rumahku,” ucap Fadia. “Yakin dijemput kakak kamu?” tanya Shena. “Iya, ini dia sudah kirim pesan sedang dalam perjalanan,” ucap Fadia sekilas menunjukkan bukti pesan di ponselnya. “Jadi mau turun di depan saja? Kita akan tunggu sampai kamu benar-benar dijemput ya,” ucap Ocean masih mengemudikan mobil itu. Fadia hanya bisa mengiyakan dan ketika hampir tiba, dia melihat motor sang kakak menunggu di dekat gerbang perumahan, syukurlah kakaknya memakai helm dan masker seperti permintaannya. “Itu kakakku,” tunjuk Fadia ceria. Shena melihat ke arah pria yang sepertinya cukup jangkung itu. “Oh syukurlah, hati-hati ya,” ucap Shena. “Makasih atas hari ini,” ujar Fadia pada Shena dan kakaknya. Dia turun dari mobil dan berlari kecil menuju Lucky yang memandangnya dengan pandangan bingung. “Untung enggak ada papa, pengawasan enggak ketat,” seloroh Lucky sambil melihat jam tangannya, “sudah tengah malam, dari mana kamu? Pergi sama cowok?” tanya Lucky. Shena pindah posisi ke depan sehingga Lucky bisa melihat wanita itu. “Cewek tuh,” ujar Fadia. Shena melambaikan tangan pada Fadia yang membalasnya. Shena menutup pintu mobil, “Mas kita putar dulu ke sana ya, lewat gerbang belakang saja, Fadia enggak tahu kalau rumah kita di dalam,” pinta Shena. “Ada-ada saja,” gumam Ocean, matanya masih melirik ke arah Fadia yang kini duduk di boncengan motor kakaknya. “Itu kakaknya atau pacarnya?” “Pacarnya kayaknya tadi ada di club deh, yang buat Fadia nangis makanya enggak jadi kita ke club, tapi aku juga enggak tahu sih dia cuma bilang patah hati aja,” ucap Shena. “Bisa-bisanya cowok buat patah hati gadis secantik dia,” seloroh Ocean. “Mas?” panggil Shena. “Apa?” Ocean sudah melajukan kendaraannya meninggalkan gerbang utama. “Mas suka sama Fadia?” tanya Shena. “Ha? Suka? Biasa aja tuh,” ujar Ocean tanpa mau menatap sang adik, dia justru terkesan membuang pandangan ke arah lain. “Ciee, besok aku kirim salam untuknya deh, ambil kesempatan aja Mas, aji mumpung ... kan dia lagi patah hati,” gurau Shena membuat Ocean menggelengkan kepalanya. “Jangan macam-macam,” selorohnya. Fadia memeluk Lucky dari belakang ketika pria itu melajukan motornya memasuki gerbang utama, lagi pula mobil Shena sudah pergi. “Mas,” panggil Fadia. “Apa?” “Kalau cewek ngejar cowok boleh enggak sih?” tanya Fadia. “Kalau dia maling, copet, pencuri ya boleh. Selain itu untuk apa ngejar-ngejar?” cebik Lucky. “Ya kalau suka bagaimana? Memang enggak boleh?” “Bukan enggak boleh, tapi sebaiknya jangan. Wanita itu seharusnya dikejar, bukan mengejar. Nanti dia malah enggak suka, percikan api sukanya malah bisa padam karena ilfeel. Memang lagi suka siapa?” tanya Lucky. “Enggak ada.” “Bohong!” “Hanya laki-laki yang enggak sengaja ditemui saja.” “Dia sudah menghubungi kamu setelah pertemuan itu?” tanya Lucky membelokkan motornya menuju blok rumahnya, dia melihat dari kejauhan seperti ada mobil yang mirip dengan mobil teman Fadia tadi, namun mungkin hanya kebetulan saja. Kan jenis mobil itu tak hanya ada satu di negara ini. “Enggak, dia enggak punya nomor aku,” ucap Fadia. “Kalau dia enggak berusaha menghubungi kamu, berarti dia enggak suka kamu. Sudah cari yang lain aja,” ucap Lucky santai. Dia tak sampai menyalakan klakson karena petugas keamanan sudah mendorong gerbang besar itu dan mempersilakannya masuk. “Jadi intinya, dia enggak suka aku?” Lucky memarkirkan skuter maticnya di salah satu space khusus berdampingan dengan beberapa motor besar miliknya. Aneh, Fadia memintanya membawa motor yang ini. Yang menurutnya paling normal di antara motor lainnya. “Di antara pria dan wanita yang paling enggak tahan untuk menghubungi itu pihak laki-laki, dengan catatan kalau dia suka sama perempuannya. Kalau dia enggak menghubungi ya berarti enggak ada yang spesial di antara kalian.” “Kalau dia enggak bisa menghubungi, bukan enggak mau. Bagaimana?” tanya Fadia. “Itu artinya, dia enggak memperjuangkan kamu. Hidup itu simpel Fadia Leticia Wibisono,” ujar Lucky seraya meninggalkan adiknya yang masih mengerucutkan bibirnya. Berarti hanya dia yang memiliki rasa suka? Ah bodohnya dia, harusnya dari awal dia juga tahu, AFSHEEN MEMPERLAKUKANNYA DENGAN BAIK KARENA PROFESIONAL KERJA. BUKAN KARENA ADA SESUATU YANG MENARIK DARI DIRINYA! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD