10. Cokelat

1557 Words
Hari ini, untuk pertama kali Fadia mengendarai mobil ke kantor, dia benar-benar berubah kini. Dia tak seperti Fadia yang tampak cupu dengan rok kebesaran dan baju yang belel, sepatu usang dan juga tas yang hampir tak pernah diganti selama setahun penuh. Fadia turun dari mobil itu dengan setelan baju kerja dan blazer semi formal berwarna mocha, senada dengan celananya. Dia mengikat setengah rambutnya dan membiarkan sisanya tergerai, memulas bibir dengan lipstik berwarna nude, meskipun tak terlalu mencolok, namun bisa menegaskan garis bibirnya. Menenteng tas kerjanya yang berwarna hitam, dia tak menyangka Zivana pun tiba di parkiran basement, diantar oleh suaminya yang bekerja di gedung sebelah. Setelah mengantar Zivana, suaminya segera melajukan mobil itu meninggalkan parkiran. Zivana memperhatikan Fadia yang turun dari mobil dan juga menekan remote untuk mengunci mobil tersebut. “Selamat pagi,” sapa Zivana di belakang Fadia yang membuat wanita itu terlonjak, nyaris menjatuhkan remote dari tangannya. “Ziva, ngagetin aja,” ucap Fadia, sontak menekan dadanya. “Kamu cocok pakai baju itu, tapi ... itu mobil kamu?” tanya Zivana. Fadia tak bisa berkelit dan hanya mengangguk atas pertanyaan itu. “Sekarang harus lebih jalanin frugal livingnya ya? Aku bawa bekal banyak, nanti kita makan bersama,” ajak Zivana berjalan di samping Fadia. “Maksudnya?” tanya Fadia menoleh ke arah Zivana dengan kening berkernyit. Frugal living belakangan terkenal sebagai kata ganti dari pengiritan. Banyak orang yang menerapkan konsep tersebut untuk mencapai cita-cita atau target yang diinginkannya, menekan gaya hidup dan biaya yang tinggi demi bisa menabung. “Gaji kamu pasti habis kan untuk cicilan mobil itu? Ayolah gaji kita pasti enggak jauh berbeda,” seloroh Zivana, hampir saja Fadia menyemburkan tawanya dan menggeleng geli. “Kamu beli cash? Enggak kredit?” tanya Zivana dengan mata membesar, hampir lompat keluar dari tempat seharusnya. “Aku dibeliin,” kekeh Fadia. “Wah, kamu punya g***n tajir? Ckckckck luar biasa, tapi aku bisa memaklumi karena kamu cantik,” ucap Zivana dengan pemikiran konyolnya yang membuat Fadia geleng-geleng kepala. “Yah anggap saja seperti itu,” kekeh Fadia. “Kapan-kapan kita boleh dong makan siang ke luar naik mobil kamu?” tanya Zivana seraya menekan tombol di depan lift untuk menuju lantai tempat mereka bekerja. “Boleh, siang ini juga enggak apa-apa, bagaimana kalau aku traktir?” tanya Fadia, “eh tapi kamu bawa bekal ya?” imbuhnya tak enak hati. “Tenang saja, lambungku besar, maklum busui,” kekeh Zivana. “Oke, kabari Nada dan Shena ya,” tutur Fadia seraya memasuki lift itu bersama Zivana. “Siap,” ujar Zivana, pintu lift terbuka di lantai satu, beberapa karyawan yang baru tiba pun menyeruak masuk. Fadia dan Zivana terhimpit ke sudut, semua karyawan tampak terburu, mungkin ada pekerjaan urgent. Hingga tampak seorang wanita yang berdiri di samping Fadia, meminta tolong seorang di depan tombol lift menekan angka di lantai tempatnya bekerja. Fadia memperhatikan wanita yang tampak tak asing itu, tubuhnya sangat mungil meski dia memakai heels, lantai itu adalah lantai tempat direksi bekerja. Apakah dia karyawan salah satu dari kakaknya? Fadia melirik id card yang tergantung di lehernya. Feya. Dia membaca nama itu. “Eh ayo keluar,” ajak Zivana pada Fadia yang tatapannya bersirobok dengan Feya. Feya membungkuk sopan padanya yang dibalas oleh Fadia. Zivana memperhatikannya dan segera menarik Fadia keluar dari lift. Setelah pintu lift tertutup, mereka pun berjalan menuju ruang kerja mereka. “Kamu kenal?” tanya Zivana. “Enggak sih, meskipun aku merasa wajahnya enggak asing, tapi entahlah,” ucap Fadia. Ketika dia memasuki ruangannya tampak Shena dan Nada sudah menunggu mereka dan mengangkat tangan seolah menyapa mereka berdua. “Hei ngapain pagi-pagi?” tanya Zivana. “Mau antar cokelat untuk Fadia,” kekeh Shena sambil mengedipkan matanya. “Hanya untuk Fadia?” ketus Zivana. “Ini untuk kamu dan Nada, oiya Nada enggak mau lagi mengurangi manis,” kekeh Shena. “Dalam rangka apa?” tanya Fadia menerima cokelat batangan itu. “Enggak dalam rangka apa-apa sih, oiya makan siang kita di mana hari ini?” tanya Shena riang. Baru juga tiba sudah membicarakan tentang rencana makan siang! “Fadia bawa mobil, kita makan di luar yuk, aku lagi pengen makan bebek bakar,” ucap Zivana mengusap perutnya yang masih tampak agak buncit pasca melahirkan. “Wah ide bagus, aku enggak sarapan soalnya,” tutur Nada. Shena hanya mengiyakan saja lalu mengajak Nada kembali ke ruang kerja mereka, sebelum itu Shena sempat memegang bahu Fadia dan berbisik, “cokelat itu dari mas Ocean, sssstttt keep it secret.” Fadia hanya tersenyum tipis dan mengangguk lalu membiarkan kedua teman barunya itu meninggalkannya. Dia duduk di kursi kerjanya, menyalakan layar komputer di hadapan dan menatap cokelat batangan itu. Ocean ya? Pria itu cukup tampan dan sangat gagah, bahunya pun tampak lebar seperti siap mengangkat beban yang berat. Mungkinkah tubuhnya juga prima? Lalu hmmmm Fadia tak berani membayangkan hal lainnya, meskipun sesekali dia terbayang akan malam pertamanya dengan Afsheen, namun dia selalu menepis bayangan itu yang semula merupakan bayangan kebahagiaan dan dengan tiba-tiba menjadi bayangan menyedihkan ketika teringat kenyataan bahwa Afsheen hanyalah bekerja malam itu. *** Hari ini adalah hari libur bagi Afsheen, dia seperti tak bisa mengendalikan diri untuk mencari tahu tentang Fadia, dia berharap bertemu wanita itu di sebuah ketidak sengajaan. Namun, rupanya dia tak bisa menahan lebih lama. Dengan berbekal cerita dari Fadia yang mengatakan bahwa dia bekerja di WW Group. Bahkan anak dari pemilik perusahaan besar itu, membuat Afsheen kemudian singgah ke perusahaan itu dengan sengaja. Dari depan gedung itu saja dia bisa melihat betapa tinggi menjulangnya bangunan itu, salah satu gedung pencakar langit yang terlihat gagah di antara gedung-gedung lainnya. Afsheen berdiri di depan gerbang, menatap tingginya gedung itu dan mencoba menghitung manual. Lantainya mungkin lebih dari dua puluh lima. Entahlah? Dia memutuskan untuk melewati gerbang yang terbuka lebar itu, banyak karyawan lalu lalang karena sudah masuk waktu istirahat, ketika Afsheen melewati lobbi, saat itu pula mobil yang dikendarai Fadia melewati lobbi, mereka jelas tidak bertemu karena saling membelakangi. Afsheen menatap ke sekeliling lantai satu tersebut, pilar-pilar besar menyanggah gedung ini, ada juga patung yang terlihat sangat perkasa seolah menyambut tamu yang hadir, saat ini dia merasa seperti terlempar kembali ke beberapa tahun silam, ketika dia bekerja sambil kuliah di gedung pemerintahan. Dia merasa sangat bangga meski pekerjaannya tidak menghasilkan uang banyak. Lalu ... dia terjerumus pada dunia yang sekarang. Dunia yang menurutnya penuh dosa. Padahal dia tak memiliki kewajiban untuk terus bergelut di dunia itu, namun dia juga tak memiliki motivasi untuk keluar dari pekerjaan itu. Dia menikmati pekerjaannya, dengan gajinya yang lumayan, sementara teman-teman kuliah seangkatannya yang katanya menjadi b***k corporate hanya mendapatkan gaji yang bahkan hanya seperempat dari pendapatannya. Terkadang pekerjaanya membuatnya minder, mereka-temannya bisa membanggakan pekerjaan mereka meski dengan gaji yang tak seberapa, namun didapat dengan halal. Tidak sepertinya, dia tak bisa membanggakannya. Selama ini dia berbohong dan berkata bahwa dia bekerja di perusahaan asing sehingga gajinya cukup banyak, namun dia tak bisa menjelaskan secara spesifik jenis pekerjaan dan jabatannya. Seperti saat ini, dia merasa rendah diri, apakah dia pantas berdiri di sini? Untuk apa? Untuk mencari wanita yang menyewanya? Wanita yang tidur dengannya? “Pak permisi pak, tolong agak menepi,” ujar seorang petugas keamanan pada Afsheen, banyak sekali petugas keamanan berseragam yang ada di lobby seolah meminta semua orang yang kebetulan ada di lantai itu memberi jalan. Tak jarang mereka mempercepat langkah mereka untuk menghindar. Lalu serombongan orang keluar dari pintu arah lift, Afsheen bisa melihat seorang pria yang berdiri di paling depan dan tampak disegani, ada aura yang membuatnya gentar. Dia bahkan harus memegangi kakinya ketika melihat pria yang berjalan dengan penuh percaya diri dan wibawa itu. Sementara di belakangnya tampak dua orang yang lebih muda, ada kemiripan dengan wajah Fadia. Dia yakin pria yang berjalan paling depan adalah orang nomor satu di perusahaan ini. Para staff yang ada di sana membungkuk hormat padanya sepanjang dia berjalan, Afsheen melihat orang-orang di sekitarnya melakukan itu hingga dia pun mau tak mau ikut membungkuk, karena tak ingin menjadi pusat perhatian. Ketika rombongan itu sudah memasuki mobil masing-masing, barulah Afsheen dan para staff WW Group yang ada di tempat itu mengangkat wajah mereka dan saling berbisik. Afsheen menoleh pada petugas keamanan yang berada di sampingnya. “Pak, itu pak Warren?” tanya Afsheen. Petugas keamanan itu melihat Afsheen dari atas ke bawah seraya menelisiknya. “Saya ada janji interview setelah makan siang,” bohong Afsheen hingga petugas keamanan bertubuh tinggi itu memasang wajah lebih ramah dibanding sebelumnya. “Iya itu pak Warren Wibisono, yang pakai jas hitam anak pertamanya pak Erlan dan yang pakai jas abu-abu anak keduanya bernama Pak Lucky,” jelas sang petugas keamanan. “Anaknya hanya dua?” tanya Afsheen. “Yang saya dengar sih tiga, tapi saya juga kurang paham karena enggak pernah datang ke kantor,” tuturnya, “oiya mau bertemu siapa Pak? Lantai berapa?” tanyanya. Afsheen yang gelagapan pun menghela napas panjang. Dan berpura membuka ponselnya lalu menepuk keningnya. “Ah ternyata interviewnya besok, saya salah tanggal. Terima kasih ya, Pak,” ucap Afsheen sopan. “Iya sama-sama, besok langsung ke resepsionis saja Pak,” tukas pria itu. Afsheen pun berpamitan lalu meninggalkan gedung tersebut. Rasanya dia tak bisa berlama-lama, orang bisa curiga dengannya. Mungkin memang dia tak ditakdirkan bertemu dengan Fadia saat ini. Entah apakah dia bisa bertemu lagi dengannya di lain waktu? Kapan pun itu, Afsheen berharap dia bisa bertemu dengannya meski hanya sekali. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD