Lelaki Pengirim Teror

2032 Words
Lelaki Pengirim Teror MALAM itu, Ray sama sekali tak bisa memejamkan mata meski sekejap. Telinganya acap mendengar suara ketukan di kaca jendela kamarnya. Bukan suara garukan kuku-kuku tajam. Bukan seperti malam-malam yang pernah dilewatinya. Bukan. Bukan itu. Ini suara yang berbeda. Ketukan. Serupa tangan orang yang dikepalkan, lalu diketuk-ketukkan di kaca. Sehingga bersuara. Tentu saja, bukan manusia yang melakukannya. Jika memang ya, alangkah tak ada pekerjaan, itu orang. Mengetuk-ngetuk kaca jendela rumah orang pada tengah malam. Sekalipun maling atau orang yang hendak berbuat jahat, tentulah ada kelanjutannya. Semisal mengganti ketukan dengan gedoran yang bisa membangunkan semua penghuni rumah. Ini ketukan. Dan sangat beraturan. Seolah memakai etika. Dan terkesan tak terburu-buru membangunkannya. Dengan secara perlahan. Namun alhasil, mata Ray tak bisa terpejam. Malah melotot. Tubuhnya terbujur. Tanpa selimut. Sesekali, matanya melirik ke arah jendela. Kaca jendela yang tertutup tirai. Ketukan itu terus datang. Nyaris tanpa henti. Jika saja dilakukan manusia normal, ketukan yang bertubi-tubi meski dilakukan dengan sepelan mungkin, bisa saja membuat kaca pecah, paling tidak retak. Apalagi kaca jendela rumah ini kualitas menengah. Rentan pecah apalagi ada yang dengan sengaja mengetuk-ngetuk secara kontinyu. Tubuh Ray nyaris tak bergerak. Seperti terpaku pada tempat tidur. Ia enggan beranjak, sekadar memastikan, siapa yang sudah mengetuk-ngetuk kaca jedela kamarnya. Meksi ia sudah yakin, pelakunya bukan manusia. Namun makhluk lain. Makhluk yang tak jauh dengan yang pernah dilihatnya. Makhluk yang suka menggaruk-garukkan kuku-kuku tajamnya. Dan, makhluk itu pun, Ray pernah melihatnya. Kepala tanpa badan. Seraut wajah yang mengerikan. Matanya melotot menatap Ray. Seolah hendak menerkamnya. Ray menduga, mungkin saja yang pernah dilihatnya itu sama dengan yang malam ini tengah usil mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarnya. Hingga pukul dua dini hari, mata Ray tak bisa terpejam. Aneh, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal matanya agar tak bisa terpejam. Ia pun tak merasakan kedipan matanya. Kamar yang gelap. Ia pun enggan menyalakan lampu agar bisa menghentikan suara di kaca jendela yang masih mengusiknya. Tanpa henti. Bukankah hantu dan sebangsanya, takut dengan ruangan yang terang? pikirnya. Kepalanya bergoyang, ia benar-benar enggan beranjak. Tubuhnya pun masih dirasanya tertancap pada kasur. Seperti ada yang sudah mematrinya hingga sulit sekali terangkat. Keringat membasahi kaus dan celana selututnya. Begitu pun tengkuk dan rambut, ikut basah. Napas Ray memburu. Matanya masih mengarah pada kaca jendela. Yang bergetar-getar. Lalu, getaran itu berkurang. Tak terdengar. Tak mengusiknya lagi. Hening. Ray menghela napas lega. Matanya beralih menatap langit-langit kamar yang terlihat hitam. Matanya perlahan terpejam. Terseret mimpi. Bunyi pintu yang diketuk berkali-kali membuatnya terbangun. Dikucek matanya. Tubuhnya beranjak perlahan. Menyalakan sakelar lampu. Ruangan kamar terang. Matanya menyipit menghindari silau lampu. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit. Ia kaget. Lantaran kesiangan. Gegas membuka pintu. Wajah ibunya ditekuk. “Makanya jangan begadang, jadinya kamu kesiangan solat Subuh! Ayo cepat ke air! Keburu waktu Subuh berakhir!” ucap ibunya. Ray menurut. Dengan langkah lebar-lebar, menuju kamar mandi. Menggosok gigi dengan terburu-buru. Lalu berwudlu. Setelah itu kembali ke dalam kamarnya. Mengenakan atasan baju koko, bawahan sarung dan tak lupa menempelkan peci hitam di atas kepalanya. Digelarkannya sajadah beludru merah. Lalu solat dengan khusuk. Namun tanpa berdoa setelahnya. “Kamu mau ke sekolah hari ini?” tanya Ratna ketika Ray sudah berada di ruang makan. Menunggu ibunya membuatkan sarapan. Semalaman, Ray makan malam sedikit. Jadi perutnya cepat lapar terlebih setelah semalaman melewati malam yang menegangkan. Diteror makhluk halus di kaca jendela kamarnya. “Mau, Ma. Tapi agak siangan. Paling, jam sembilan. Janjian sama teman-teman sekelas juga.” “Ijazah sudah dibagikan?” Ray mendecak. “Ya, nggak lah, Ma! Ijazah itu kan biasanya juga dibagikan setelah lewat bulan Juni atau Juli.” “Oh, hehehe, Mama lupa, maklumlah Mama bukan pelajar sepertimu!” “Ya, iya bukan pelajar kalau sekarang… kalau dulu, iya! Sekarang, ibu rumah tangga!” seru Ray. “Ke sekolah mau apa?” “Yaaaa, kan suka-suka saja, Ma! Siapa tahu lagi ada pengumuman penting!” “Kalau surat kelulusan… sudah dibagikan?” “Minggu depan katanya!” “Kata siapa?” “Kata wali kelas lah, Ma!” Ratna menggoreng kerupuk. Membelakangi Ray. Sementara Ray duduk santai di kursi makan. Di atas meja baru ada segelas s**u panas. Namun, Ray lagi ingin teh manis yang panas tapi malas membuat sendiri. Ia menunggu ibunya yang akan memanjakan seperti biasa kalau pagi-pagi. “Ma… masih lama menggoreng kerupuknya? “Kenapa?” kepala Ratna menoleh sedikit. “Mmm…” “Abis goreng kerupuk, langsung goreng telur dadar buat diiris. Terus goreng nasi. Kamu dan adik-adikmu kan semenjak malam sudah pesan, pingin dibuatin nasi goreng! Yang tak lupa irisan mentimun dan tomat!” “Mmm…” “Mmm apa sih, Ray? Ko kolokan banget? Pasti lagi ada maunya, ya?” “Tau aja, hehe.” “s**u putih sudah Mama bikinin ‘kan?” “Tapi, lagi pingin minuman lain.” “Teh manis?” “Ya, Ma.” “Tehnya habis. Kecuali kamu mau pergi dulu ke warung sana, beli teh celup!” seru Ratna tanpa menoleh. “Uangnya ada recehan tuh di dalam boks tissue di ruang depan!” Ray mendesah meski enggan, tubuhnya beranjak. Melangkah ke ruang depan. Ambil uang. Lalu keluar. Sekitar sepuluh menit kemudian, sudah kembali dengan satu plastik teh celup. “Bikinin sama Mama, ya?” rajuk Ray. “Teh manis buatan Mama enak, pas gulanya!” “Mujiiii… kalau ada maunya!” Ray terkikik. Lalu duduk kembali di kursi makan. “Ma, barusan di warung, orang-orang pada cerita rumah Haji Jajuli yang dikontrak sama Bu Sri dan Pak Rahman itu.” “Yang diceritakannya, mengenai apanya?” tanya Ratna. Ia mulai menggoreng telur yang sebelumnya sudah dikocok beberapa butir dengan campuran garam dan penyedap rasa. “Katanya, mau-maunya Bu Sri dan Pak Rahman mengontrak di rumah tua yang angker gitu!” kata Ray. Ketika ia mendengar perbincangan orang-orang tadi di warung, ia hanya menguping dan tak ikut nimbrung meski kedua gurunya ikut dilibatkan dalam perbincangan mereka. Ray paling tak suka dengan tingkah ibu-ibu yang hobi ngerumpi di warung. Tak tahu waktu, pagi-pagi pun sudah ngerumpi. Masalah apapun. Memang, mereka tak menceritakan yang aneh-aneh mengenai kedua gurunya. Hanya menyayangkan kedua gurunya yang mengontrak di rumah tua yang konon banyak dihuni makhluk ghaib. “Bu Sri dan suaminya yang mengontrak rumah itu... ko malah mereka yang di warung yang ributnya, emang mereka itu yang bayar kontrakan Bu Sri dan suaminya?” Ratna geleng-geleng kepala. “Iya, ah, Ma… ada-ada saja tetangga di sini.” “Tante Ima ada?” “Ada.” “Dia kadang seneng juga nimbrung.” “Katanya, apa Bu Sri dan Pak Rahmat betah tinggal di rumah itu?” Ratna tersenyum. “Harusnya, mereka cobain bagaimana rasanya tinggal di situ.” “Pasti nggak mau, kan mereka penakut.” “Hmm, Bu Sri dan Pak Rahmat... bukan orang penakut, ya Ray?” “Sepertinya, Ma.” “Ko sepertinya?” “Kalau mereka penakut, sudah dari bulan-bulan sebelumnya pindah. Kontrakan itu kan banyak. Mereka juga mampu cari yang jauh lebih bagus.” “Kamu benar.” “Tapi, mereka nggak pernah cerita sama Ray atau Dani, Fian, maupun Dirga… kalau di rumah itu banyak hantu!” Ratna tertawa kecil. “Ya, mana mungkin, Ray! Kalau mereka cerita sama kamu dan teman-temanmu…. Kalian pasti nggak akan mau kalau disuruh menginap lagi di sana!” “Ray masih mau!” “Teman-temanmu belum tentu!” “Mau juga, Ma! Padahal, mereka juga sempat diganggu makhluk kasat mata terutama…” “Terutama apa?” Ratna memotong ucapan anaknya. Ia menuangkan sedikit minyak pada wajan, lalu memasukkan bumbu yang sudah diulek. Hendak membuat nasi goreng dengan resep khas yang membuat lidah ketiga anaknya dibuat ketagihan. “Si Gembel!” cetus Ray. Melintas di benaknya, sosok hitam tinggi besar seperti yang pernah dilihat Fian lewat jendela kamarnya. Jin penghuni rumah Haji Jajuli yang suka jahil. Melempar pasir atau batu pada orang yang melintasi pekarangan rumah tua itu. Atau lemparannya terkadang ke atap rumah tetangga dekat. Dan atap rumah Fianlah yang acap menjadi sasaran isengnya. “Si Gembel itu hanya menakut-nakutin saja! Atau sukanya usil!” “Mama pernah melihatnya?” Ratna menggeleng. “Kamu sendiri?” “Nggak!” “Waktu menginap di rumah itu?” Ray menggeleng. “Nggak, Ma! Nggak tahu kalau teman-teman lain! Tapi mereka nggak cerita! Mama tahu, semenjak kapan di rumah itu ada si Gembel!” “Sudah lama!” “Tepatnya?” “Kamu ini kayak mau interogasi Mama?” Ratna membalikkan tubuhnya menghadap Ray. Lalu menatap anaknya. “Cuma mau tahu, Ma,” ucap Ray. “Kalau Mama nggak mau jawab, ya nggak apa-apa.” Ratna membalikkan lagi tubuhnya. Mematikan kompor gas. Lalu menghampiri rak kaca. Mengambil beberapa piring. Dengan gesit, menuangkan nasi goreng ke piring-piring itu. Memberi masing-masing irisan telur dadar, mentimun, dan tomat. Tak lupa menaburkan irisan bawang goreng. Ray membantu menyajikan di atas meja makan. Kerupuk dimasukkan ke dalam stoples. Lalu ditaruh di atas meja makan pula. Ratna membuatkan teh manis. Mia dan Rayna turun. Sudah cantik dan rapi dengan pakaian seragam. Di atas pun, ada kamar mandi sehingga mereka berdua tak perlu turun untuk sekedar membersihkan badan. Makan pagi dengan khidmat. Tanpa ada suara yang berani berucap. Mia dan Rayna pamit pada ibunya. Mencium punggung tangan ibunya, tak lupa pada Ray. Melakukan hal yang sama. Setelah mereka pergi, Ray beranjak menuju sofa. Duduk di sana. Sesekali jemarinya sibuk membalas pesan-pesan yang masuk di kontak w******p. Ratna mendekati, lalu duduk di sampingnya. “Ray, kamu mau tahu kenapa si Gembel ada di rumah itu?” “Mau banget, Ma. Ray penasaran karena dikit-dikit, Fian suka cerita soal si Gembel.” “Si Gembel itu disimpan di situ oleh Wak Dulah.” “Hah?” Ray kaget sekali. “Jin itu piaraan Wak Dulah.” “Kenapa harus berada di rumah itu?” “Haji Jajuli murid Wak Dulah. Dia sudah lama berguru pada Wak Dulah.” “Jadi itu alasannya?” Ray ingin meyakinkan. Ibunya menganggukkan kepala. “Abah sengaja menaruh di rumah Haji Jajuli?’ “Ya.” “Kenapa harus di rumah yang di sini? Kenapa nggak di rumah Haji Jajuli yang di kota?” tanya Ray merasa heran. “Itu juga, Wak Dulah punya alasan pastinya.” “Pantas rumah itu jadi angker.” “Sebenarnya, yang membuat angker bukan karena si Gembel karena sebelumnya juga… sebelum jin itu bermukim di situ, rumah itu sudah tampak angker. Tapi memang semenjak si Gembel di situ, rumah itu jadi lebih angker,” jelas Ratna. “Nah, begitu. Kalau kamu mau tahu asal muasal si Gembel.” “Kirain Ray… si Gembel itu sudah dari dulunya ada di rumah Haji Jajuli yang di sini. Ray pikir nggak ada hubungannya dengan Abah.” “Ada hubungan, Ray.” Ray terdiam sesaat. Ia makin heran dengan Wak Dulah yang banyak aneh-aneh. Belakangan ini, hubungannya dengan laki-laki itu agak renggang. Itu lantaran Ray yang pernah membantu Indah bersembunyi di rumah Bunda Dewi. Wak Dulah memang tengah agak marah pada Ray. Ia menganggap Ray telah ikut campur masalah pribadi yang seharusnya tak dicampuri. “Dia… masih sering telepon kamu?” tanya Ratna. Ia memang tidak pernah tahu masalah yang berkaitan dengan Indah. Bahkan ihwal Indah pun, Ratna tak tahu. Kenal pun tidak, apalagi bersua. Ia pun tak pernah tahu ada nama Indah yang menginap sekian minggu di rumah kakaknya. Ray menggeleng. “Nggak, Ma. Sudah jarang.” “Dan kamu nggak balik menelepon?” Ray kembali menggeleng. “Nggak, Ma.” “Kenapa?” “Ray... lagi fokus mikirin, apa yang hendak dilakukan Ray setelah menerima surat kelulusan dari sekolah. Apa Ray akan kuliah atau bekerja saja. Jika kuliah, Ray masih bingung, dengan biayanya, Ma. Ray nggak mau menyusahkan Mama dan Papa.” Hati Ratna bergetar. Secara ekonomi, meski tak kekurangan, tapi jika untuk mengeluarkan biaya kuliah Ray, Ratna dan suaminya masih harus mempertimbangkan. Lantaran dalam keterbatasan. Bunda Dewi pernah berjanji akan membantu membiayai. Namun, kedua orang tua Ray merasa tak enak hati. Tak mau membebani orang lain meski keluarga sendiri. Lalu, Wak Dulah berulangkali berikrar, hendak memberi biaya kuliah Ray dimana pun Ray kuliah meski biayanya sangat mahal. Namun, lagi-lagi---jika dengan Wak Dulah, orang tua Ray keberatan. Takut berakhir dengan sesuatu yang tak mengenakkan.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD