Tiga Gadis

2023 Words
Tiga Gadis MINGGU pagi. Gawai Dani berdering. Di rumahnya. Di dalam kamarnya. Ia baru usai mandi. Dan sudah berpakaian rapi. Paduan celana jins dan kaus merah. Makan pagi sudah tergelar di atas meja makan. Ia baru saja hendak makan. Perutnya juga sudah minta jatah. Semalam, ia pun tak begitu lahap makan lantaran makanan kesukaannya batal dimasak ibunya. Padahal, Dani lagi ingin makan ayam serundeng, cah kangkung, dan sambal tomat. “Assalamu’alaikum…” ucap dari seberang sana. Suara yang sangat dikenal Dani. “Wa’alaikumsalam, Bunda… selamat, pagi!” sapa Dani seramah mungkin. Suaranya nyaring. “Pagi juga, Dani!” “Ada apa, Bun… pagi-pagi sudah menelepon?” tanya Dani heran. Ia menduga Bunda Dewi tengah berada di Cibiru karena saban menjelang malam Minggu, seperti biasa perempuan baik itu pulang ke rumah yang ditempati suami dan anaknya. Sekaligus tempat membuka usaha suaminya. Toko roti dan kue yang cukup laris. Apalagi dekat dengan lingkungan pondokan-pondokan mahasiswa. “Bisa datang ke rumah Bunda sekarang?” kata Bunda Dewi dengan suara lunak. “Rumah yang di mana?” “Ya, rumah ini lah, Dan. Emang rumah yang mana lagi?” “Maksud Bunda, rumah yang biasa Dani dan Ray berkunjung ke situ?” Dani ingin kepastian. “Ya!” seru Bunda Dewi. “Yang kamu pernah menginap juga beberapa kali.” “Hehehe, kirain Dani… rumah Bunda Dewi yang di Cibiru.” “Masaaa, emang kalau kamu diminta datang ke rumah di Cibiru, mau gitu? Kan jauh dari sini?” “Nggak tahu juga, hehehe. Dani pikir-pikir dulu.” “Bisa… ya?” “Mmm, bisa, Bun…” “Nggak ada rencana ke mana-mana hari ini, Dan?” “Tadinya mau ke rumah Fian sekaligus menengok Nenek.” “Oh, iya… nanti pulang dari rumah Bunda saja, mampir ke rumah Fian dan Bu Mar, ya?” bujuk Bunda Dewi. “Oke, Bun… tapi, sekarang Dani mau sarapan dulu, ya?” “Di sini saja! Sekalian bareng sama Bunda dan…” ucapan Bunda Dewi menggantung. Dani jadi penasaran. Dengan siapakah Bunda di sana? pikirnya serius. Mungkinkah Cika? Senyum manis pemilik wajah cantik itu melintas di benaknya. Sudah beberapa pekan, ia tak mendengar kabar Cika. Terlebih setelah menerima surat kelulusan dari sekolah, perhatiannya tersita memikirkan hendak melakukan apa. Kuliah atau kerja. Atau kuliah sambil kerja. Ia pun masih bingung. Ia ingin berdikusi dengan Ray, sayang sekali, sahabatnya yang satu itu tengah berada di Bogor. Sudah beberapa hari. Di rumah saudara ayahnya. Lantaran saudara ayah Ray bukan hanya berkumpul di Garut, tapi tersebar juga di kota-kota lain. Dan salah satunya di Bogor. Ray menghadiri pesat pernikahan saudara ayahnya di sana. Bersama kedua orang tuanya. Terkecuali Mia dan Rayna. Mereka berdua menginap di rumah Rita, ibunya Cika. Dani tak berani menanyakan kelanjutan ucapan Bunda Dewi yang mengagntung. Namun rasa penasarannya begitu tinggi meski ia menduga itu Cika. Ya, sepertinya Cika. Ia yakin. Rasa lapar yang sebelumnya sangat mengganggu perutnya, sedikit tersingkirkan ketika berkelebatan wajah Cika. Dani mengakuinya, ia sangat suka dengan gadis itu. Meski, ia pun tak tahu pasti apakah Cika memilik rasa yang sama seperti dirinya. Rasa sesal sempat menyelusup ke dalam relung hatinya. Akan perhatiannya pada Indah yang berlebihan dan membuatnya sempat melupakan Cika. Kini, Indah sudah berkumpul kembali bersama keluarganya di Garut. Dani pun mendengar, pada akhirnya, kedua orang tua Indah membatalkan rencana pernikahan Wak dulah dengan putri semata wayangnya. Dani lega mendengarnya. Namun, ia dan Indah tak berkomunikasi lagi. Nomor hape Indah pun tak aktif dan gadis itu tak ada yang menghubunginya. Dani pun berusaha melupakan perasaan sukanya, karena menduga, itu hal yang sia-sia. Meski Indah telah bebas dari Wak Dulah. Ditepisnya dengan segera, wajah Indah. Ia harus melupakannya. Harus! Tekatnya kuat. Ia harus kembali mendekati Cika dan mendapatkan hati gadis itu. Tubuh Dani bergerak dan keluar dari kamarnya. “Mau ke manaaaaa?” teriak ibunya ketika dilihatnya Dani terburu-buru mengeluarkan motor dari dalam rumahnya. Ibunya melongo seraya menyusul ke depan. Dani mengenakan jaket. Tak lupa helm di kepala. Sesaat, melempar senyum pada ibunya sembari melambaikan sebelah lengan lalu mengucap, “Dah, Mamaaaaaa!” Motor melesat menembus jalanan besar, setelah itu, masuk belokan ke arah kiri, lurus, belok kanan, lurus, belok kiri, masuk ke pelataran halaman yang luas. Halaman. Atau lebih tepat tanah lapang. Sepi. Matahari bersinar cerah. Menghangatkan tubuh. Dani bersiul-siul kecil. Hatinya riang hendak berjumpa pujaan hati yang dirindukannya. Terbayang, Cika akan menyambutnya dengan senyum manis. Lalu suaranya yang merdu mendayu-dayu, mengajaknya berbincang. Motor berhenti depan pagar rumah besar. Pintu pagar sudah terbuka sepertinya, Bunda Dewi sengaja membukanya agar Dani tak susah memarkir motornya. Turun dari motor, matanya beredar. Mencari sosok gadis cantik itu. Namun, tak ada. Mungkin berada di dalam, pikirnya. Ketika langkahnya berhenti depan pintu depan, hampir ia berhenti bernapas ketika melihat sosok gadis sebaya Cika, tapi bukan Cika. Gadis itu berwajah putih, raut mukanya polos, tak ada senyuman di bibirnya. Wajahnya agak menunduk. Rambutnya tak begitu panjang, juga tak pendek. Dikepang satu ke belakang, bajunya sederhana, warna merah menyala. Rok terusan sebatas lutut dan mempertontonkan kedua betisnya yang putih mulus. Namun, Dani sangat menyayangkan ketika memerhatikan kedua kaki gadis itu yang hanya bersandal jepit murahan. Atau karena tengah berada di rumah, jadi tak mengenakan sandal yang pantas, begitu yang terpikir di benak Dani. Kalau saja bersandal bagus, tentu menambah kemolekan tubuhnya. Gadis itu mematung. Dekat kursi rotan. Tatapannya sejurus pada Dani. Dan Dani, balas menatapnya. Ia penasaran, siapakah gadis ini? Wajahnya tampak dingin meski tak terkesan sombong. Kedua tangannya bertautan. Dani masih mengamatinya. Matanya menyipit dan menebak-nebak, siapakah gerangan. Meksi gadis itu tak secantik Cika ataupun Indah, tapi mampu menyedot perhatian Dani. Sesaat, Dani lupa pada Cika yang sebelumnya membuatnya bersemangat untuk datang cepat-cepat ke rumah ini. Dengan dalih menemui Bunda Dewi padahal ingin bersua Cika. Tersebab gadis itu hanya mematung dan bibirnya tak juga mau membentuk senyuman meski sedikit, akhirnya Dani mengalah. Ditarik kedua sudutnya. Mengulas senyum yang diharap menawan, sesuai harapannya. Nihil, gadis itu tak mau membalas senyum Dani. Otomatis, ada rasa jengkel dalam diri Dani. Merasa disepelekan. Tak dihargai. Toh, hanya sebatas senyum, yapi mahal sekali. Bukankah senyum itu bahasa yang paling baik? Dani selalu teringat kata-kata ampuh itu. Bibirnya mengerucut. Dani menyesal telah memberikan senyuman cuma-cuma tapi tak dibalas. Dasar sombong! Rutuknya dalam hati. Sikapnya berusaha tenang, namun, ia kian penasaran. Gadis yang sombong perlu ditaklukkan. Selama ini, Dani tak pernah menerima sikap dingin dari gadis mana pun meski sekali pun gadis itu sudah punya pacar. Dan baru kali ini, ia mendapat perlakuan tak manis dari seorang gadis yang tak dikenalnya. Gadis yang baru saja dilihatnya. Tubuhnya masih mengarah pada gadis itu. Tubuhnya tetap tegak depan pintu depan. Namun posisi menyamping lantaran perhatiannya tetap terpusat pada gadis yang membuatnya benar-benar penasaran. Malah gadis itu masih menatapnya. Dengan sorot mata dingin. Ingin sekali Dani segera menceritakan pada Bunda Dewi mengenai kesombongan gadis itu. Tubuha Dani baru saja hendak berbalik, bersamaan dengan suara yang mengejutkan. Suara Bunda Dewi dan derit pintu. Hampir saja Dani merasa jantungnya hendak copot. Sikapnya dibuat setenang mungkin. Menghadap Bunda Dewi yang berdir depan pintu. Mengamati Dani. “Bundaaaa, kenapa liat Dani kayak gitu?” ucapa Dani sedikit risih. “Ko kamu tadi mneghadap ke timur, ada apa? Tante intip dari balik jendela, kamu seperti tegah menatap sesuatu yang membuatmu gemas, semisal bunga.” Dani kaget. Kepalanya melirik. Ke tempat dimana gadis tadi berdiri lama. Dan jantungnya benar-benar terasa hendak lepas. Gadis itu tak berada di sana! Ke mana? Ia kaget lantaran sedikit pun tak mendengar bunyi sandalnya ketika melangkah seperti sebelumnya. Tubuh Dani kembali berbalik. Raut mukanya agak pucat. Hingga kulitnya yang memang sudah putih, tampak kian putih. Seperti mayat. Bunda Dewi menatapnya heran sembari menautkan dua alis tebalnya. “Kamu kenapa?” tangan Bunda Dewi refleks memegang lengan Dani. “Bun… di rumah ini sekarang Bunda sendirian?” Bunda Dewi menggeleng. “Tidak.” “Ada orang lain selain Bunda?” Kepala Bunda Dewi yang berjilbab cokelat tua mengangguk. “Ya!” “Berapa orang?” “Satu orang.” “Satu?” “Ya, kenapa… ko nanya-nanya, kayak petugas dari desa saja yang mau bagikan sembako?” Bunda Dewi mencoba berseloroh meski selorohnya itu tak berhasil membuat Dani tersenyum sedikit pun. Apalagi tertawa. “Penasaraaaan…” kepala Dani kembali menoleh. Bunda Dewi merasa ada yang aneh pada diri remaja satu ini. Ditariknya lengan Dani untuk masuk ke dalam. Lalu mereka berdua duduk di sofa. “Ada apa?” tanya Bunda Dewi setelah Dani kelihatan sedikit tenang. “Bund… di rumah ini, Bunda lagi sama orang lain, itu… siapa?” “Penasaran, ya? Bunda tadi di telepon bilang, mau ajak kamu sarapan bareng…” “Ya, Bun. Siapa tuh?” “Ayo tebak!” “Nyerah ah!” “Masa belum apa-apa, sudah nyerah?” “Bingung!” “Ayo coba tebak!” “Boleh minta petunjuk dulu?” “Apa?” “Cewek apa cowok?” “Jangan pake kata cowok cewek lah, Bunda bukan remaja! Tapi remako!” “Laki-laki apa… perempuan?” “Perempuan.” “Gadis?” Bunda Dewi menganguk. Melintas wajah gadis tadi. Sebelumnya, Dani sempat menduga Cika yang tengah berkunjung ke rumah ini. Namun, dugaannya meleset. “Dani tahu!” seru Dani. “Ya udah, kalau sudah tahu, sekarang kita sarapan bareng, yu! Kasihan… gadis cantik itu sudah menunggumu lama.” “Hah? Menunggu lama?” “Iya, Dani!” “Dari kapan?” “Semenjak semalam, dia kan menginap di sini. Mumpung malam Minggu!” tubuh Bunda Dewi beranjak sembari tangannya menuntun tangan Dani. Berdua melangkah, melewati ruangan tengah. Lalu menuju ruang makan. Dani kaget ketika di kursi makan ada seorang gadis yang tengah tersenyum padanya. Tampak cantik menawan. Hati Dani tak karuan. Berkelebatan wajah-wajah gadis lain. Cika, gadis yang berbaju merah tadi, dan kini di hadapannya… Indah. Sama sekali, dirinya tak menyangka dengan keberadaan Indah di rumah Bunda Dewi. “Abis sarapan, kamu temanin Indah, ya. Bunda mau ke rumah Ibu kepala sekolah karena ada urusan penting!” ucap Bunda Dewi serupa perintah pada Dani yang seperti tidak bisa tidak harus dilaksanakan oleh Dani. Harapan Dani sedikit mengelupas. Bersua Cika, tak menjadi kenyataan. Sejenak, ia dibuat bingung dengan tiga sosok gadis. Dan salah satunya, masih menjadi tanya besar padanya. Pukul sebelas, Bunda Dewi belum kembali. Dani menemani Indah di ruang tengah sembari menoton acara televisi hari libur. Keduanya tak memainkan gawai. Indah bercerita, ia datang ke rumah ini kembali, setelah Bunda Dewi menemui ke rumahnya di Garut. Indah sudah paham maksud Bunda Dewi. Kedua orangtuanya pun tak keberatan. Namun, jika Indah diadopsi, orang tua Indah tak mengizinkan, lantaran Indah masih punya orang tua lengkap. Tetapi kalau niat Bunda Dewi ingin Indah melanjutkan sekolah, tentu itu sangat disambut baik. Besar harapan Indah mampu meraih cita-cita meski sempat menunda pendidikannya selama dua tahun. Tidak masalah, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki. “Pantas kamu semangat banget, In. Syukurlah.” “Hidup Indah serasa berwarna lagi.” “Emang sebelumnya tidak?” “Sebelumnya… hanya satu warna. Kadang kelabu, putih, hitam…” “Nggak merah muda?” canda Dani. Indah terkekeh. Ada rasa sesal pernah lebih menyukai Ray ketimbang Dani. Padahal, ia sadar, sebelum dengan Ray, ia terlebih dahulu dekat dengan Dani. Meski, Indah tak banyak berharap dengan pertemuan kali ini dengan Dani. Yang dirasanya, sikap Dani tak semanis saat pertama ia tinggal di rumah ini. “Ray lagi di Bogor. Tapi dua hari lagi, dia balik sini.” “Ya, Indah tau dari Bunda.” “Ingin segera ketemu Ray, ya?” “Iya.” “Kangen?” “Ya, tapi sebatas sahabat.” Dani mengulum senyum. Ia pun tahu betul, Ray tak punya perasaan istimewa pada Indah. Hanya menganggapnya teman dan saudara. “In… kamu bisa nggak, kasih aku jawaban karena penasaranku?” “Penasaran apa?” “Tadi sebelum aku masuk rumah ini, di beranda… aku ketemu seorang gadis.” “Gadis? Sebayaku?’ “Ya, beda dikit, mungkin lebih tua.” Indah menghela napas berat. “Pakai baju merah?” “Benar.” “Bersendal jepit?” “Ya.” “Tatapannya… dingin?” Bulu kuduk Dani tiba-tiba merinding.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD