Penghuni di Rumah Dirga
LANGIT baru saja diselimuti gelap, ketika motor Ray dan Dani tiba depan rumah Dirga. Di sebuah komplek perumahan yang baru sekitar lima tahun berdiri. Dirga menyambut di teras setelah membuka pagar. Membiarkan Ray dan Dani memarkir motornya di halaman. Fian yang dibonceng Dani pun turun dan menghampiri Dirga. Diikuti Ray dan Dani.
“Yu, masuk!” ajak Dirga lalu menguakkan pintu rumah. Ketiga temannya mengikuti. Lalu duduk di atas karpet karena di ruang tamu yang mencakup ruang TV itu tak ada kursi. Ray duduk di samping Fian setelah menyimpan tas plastik hitam cukup besar tak jauh dari karpet.
“Dir, itu bawa dulu ke dapur!” ucap Ray. Dirga yang telah duduk depan Dani pun beranjak. Membawa tas plastik ke dapur. Menuangkan beras dalam plastik hitam lain yang terdapat di dalam plastik hitam besar. Sekitar tiga kilo. Lalu dimasukkan ke dalam tempat beras yang kosong lantaran ibunya Dirga sudah lama tak membeli beras banyak, hanya satu kilo per hari untuk makan sekeluarga. Dirga pun menyimpan beberapa pepes ikan yang terasa masih hangat di datangnya ke dalam lemari kayu kecil tempat menyimpan makanan. Lalu, tahu tempe goreng, sambal tomat yang tampak merah menggugah selera, juga lalapan terung, ketimun dan daun singkong yang sudah direbus. Lemari pendinginnya sudah dua tahun tak berfungsi, mau direparasi belum ada uang. Semenjak ayahnya sering sakit-sakitan, perekonomian keluarganya jadi terganggu karena ayahnya tak bisa bekerja penuh sebagai sopir angkutan umum.
“Dirgaaaa, ini lupa tadi ditaruh di motorku!” Dani sudah berada di ambang pintu dapur. Membawa satu kantong plastik merah berisi makanan ringan dan satu kilo jeruk, pemberian Bu Marsinah, nenek Dani. Kebetulan Dani sebelum tiba di rumah Ray untuk bersama-sama pergi ke rumah Dirga, ia mampir dulu ke rumah neneknya. Jadi, Bu Marsinah ingin memberikan makanan dan jeruk untuk Dirga, teman cucunya.
Dirga menerimanya dengan suka hati meski terselip rasa malu di hatinya. Lalu dimasukkan ke dalam lemari pendingan yang tak dingin. Namun, daripada kosong, terkadang ibunya pun suka menaruh makanan di sana. Itu pun jika ada makanan yang bisa disimpan.
“Makasih ya, teman-teman… ko pakai repot-repot segala bawa makanan,” ucap Dirga setelah kembali berada dengan ketiga temannya. “Kalian sudah mau menemaniku malam ini dengan menginap di sini saja, aku sudah sangat senang.”
“Tadi Mama masak pepes ikan banyak. Papa dikasih temannya ikan cukup banyak. Maklum yang punya kolam terapung lagi panen. Mama bagikan sama tetangga. Sebagian dipepes. Dibagikan juga sama saudara-saudara Mama. Nah, yang dibawa ke sini, buat makan kita berempat malam ini. Tapi kan masih ada sisa beberapa bungkus kalau-kalau buat Mama kamu dan adik-adikmu,” jelas Ray panjang lebar. “Kalau beras, kebetulan juga aku dapat kiriman dari Garut. Wak Dullah yang antar.”
“Kalau aku… nggak bawa apa-apa, Dir. Sorry, ya… di rumahku nggak ada apa-apa. Bukannya nggak mau bawa oleh-oleh ke sini,” Fian tampak sedikit menyesal dan malu.
Dirga menepuk bahu Fian. “Santai, Kawan. Yang kuharapkan kedatanganmu, bukan makanannya.”
“Dirga benar, Fian,” Ray melirik. “Yang paling penting kan kamunya yang datang. Dan bersedia menemani Dirga.”
“Eh, Dir… ke mana adik-adikmu?” sambung Ray. Kali ini, ia bicara pada Dirga sembari pandangan matanya diedarkan. Mencari sosok kedua adik Dirga yang masih sekolah SD.
“Kedua adikku menginap di rumah Nenek di Manapa. Pamanku tadi setengah jam sebelum kalian tiba, jemput kedua adikku,” jawab Dirga. Sudah tiga hari ayah Dirga dirawat di rumah sakit yang ada di kota. Dirga pun belum menengok ke sana karena dalam tiga hari harus tetap sekolah. Ayahnya hanya ditemani ibunya. Dalam tiga hari pun, adiknya pergi dan pulang sekolah sendirian. Terkadang, mereka berdua makan makanan seadanya yang dimasak Dirga sebelum kakaknya itu pergi ke sekolah. Tadi siang di sekolah, Dirga menceritakan hal itu pada Ray, Dani, dan Fian. Ray merasa simpati lalu mengajak Dani dan Fian untuk menemani Dirga. Menginap di rumahnya. Dirga pasti butuh teman yang bisa diajak bicara. Kebetulan, besok hari Jumat. Di kalender, merah. Libur nasional. Otomatis tak akan ada kegiatan ke sekolah. Niat baik Ray disambut Dani dan Fian. Apalagi, Ratna, ibunya Ray, menitipkan uang seratus ribu rupiah, beramplop, untuk diberikan pada ayahnya Dirga sebagai bentuk simpati dan tak bisa berkunjung menengok ke rumah sakit karena jauh. Lalu, Bu Marsiah yang sering berbincang dengan Ratna pun ikut-ikutan simpati. Lalu, menitipkan uang seratus lima puluh ribu rupiah pada Dani untuk diberikan pada Dirga.
Ketika Ray dan Dani menyampaikan amanah dari orang-orang tercinta mereka pada Dirga, bukan main terharunya hati Dirga. Berulangkali, ia mengucapkan terima kasih. Ia pun masih teringat ketika Dani dengan sukarela memberikan bantuan uang untuk ayah Dirga tempo hari saat sakit. Yang membuat hatinya begitu terharu, lantaran uang itu uang SPP yang harus Dani bayarkan ke sekolah. Dani rela dimarahi kedua orangtuanya lantaran ketahuan tak membayarkan uang SPP. Dan, kedua orangtuanya tak tahu Dani melakukan itu untuk tugas kemanusiaan, bukannya digunakan utuk hal-hal tak berguna. Hingga Dani sempat terusir dari rumahnya lalu melewati malam-malam menegangkan di pos ronda dan masjid.
“Abis solat isya, kita makan dulu, yu?” ajak Dirga.
“Yuuuu…,” teman-temannya menanggapi dengan antusias. Terlebih Fian yang di rumahnya tak sempat makan apa-apa lagi sepulang sekolah itu. Terbayang di benaknya, pepes ikan buatan ibunya Ray. Pasti menggiurkan. Ratna sudah terkenal pandai memasak di lingkungan rumahnya. Malah, ibunya Fian pun kerap dikirim makanan. Tadi juga, pepes ikan singgah ke rumah Fian. Tapi Fian keburu pergi dengan kedua temannya. Untuk segera tiba di rumah Dirga. Agar tak sampai langit terkurung malam.
“Tapi, maaf banget… makannya lauk pauk yang kalian bawa. Hanya nasinya aku sudah siapkan sebelum kalian datang. Rencananya tadi aku mau mengoreng ikan asin dan sambal. Kebetulan masih ada persediaan sebelum Ibu pergi membawa ayah ke rumah sakit,” Dirga menatap temannya satu persatu.
“Santai, jangan banyak yang dipikirkan!” Dani menepuk bahu Dirga. Lalu mereka mengantri ke kamar mandi. Mengambil air wudlu. Di ruang tamu yang merangkap ruang keluarga, mereka solat berjamaah dengan diimami oleh Dirga.
Usai solat, mereka makan dengan sangat lahap. Terutama ikan pepes yang membuat mereka ingin terus menyendok nasi. Fian tak berhenti berdecak memuji masakan ibunya Ray yang menurutnya, tiada duanya.
“Kalau makan berkumpul gini, memang makan apa pun akan teras nikmat, lantaran ada kebersamaan,” ucap Ray lalu menguk minuman. Makanya sudah tuntas.
“Ya, tapi tetap beda… kalau ditunjang dengan makanan yang super lezat kayak gini,” lagi-lagi Fian memuji. “Nikmatnya dobel bel.”
“Setuju,” komentar Dani yang tinggal satu suap lagi sisa makanan di piringnya. “Apalagi makanan gratis.”
“Nggak usah nyindiiiiir!” Fian melirik Dani.
“Alhamdulillah,” Dirga memuji syukur usai meneguk minum. Semua merasa kenyang perutnya.
Mereka berempat menonton TV sembari bercengkrama. Rumah yang ditempati Dirga itu bukan rumahnya. Namun, orang tuanya menyewa sebesar enam ratus ribu rupiah per bulan. Ia dan keluarganya belum setahun menempati rumah ini. Di komplek perumahan ini memang banyak rumah yang disewakan atau dikontrakkan. Selain itu, banyak pula rumah yang kosong tak berpenghuni. Rumah-rumahnya meski kebanyakan minimalis tapi bagus-bagus. Termasuk rumah yang kini ditempati Dirga. Sayangnya, rumah sewaan yang ini, letaknya agak pojok dan jarang dilalui orang-orang. Berada di lingkungan sepi. Beda dengan deretan rumah-rumah yang di sekitar bunderan. Ramai meski hari sudah gelap. Banyak anak yang bermain sepeda atau remaja yang sekadar nongkrong.
Ray bukan pertama kali datang ke rumah ini. Sebelumnya pun pernah ketika menemani Dani untuk menengok ayah Dirga. Semenjak Ray datang ke rumah ini tempo hari itu, ia sudah merasakan aura yang lain. Rumah yang terkesan angker. Seperti tak berpenghuni padahal ibunya Dirga jarang keluar rumah.
Kini, Ray datang untuk kedua kalinya. Dengan tujuan menemani Dirga. Atau hendak bermalam. Tadi ketika langit mulai diselimuti gelap, dan di saat kaki-kakinya menginjak teras rumah ini, aura dingin terasa menyergap. Namun, apa yang dialaminya, tak akan ia ceritakan pada ketiga temannya termasuk Dirga, sebagai orang yang menempati selama ini. Bahkan, ketika Ray masuk ke ruang dapur lalu kamar mandi, ia merasa ada sosok-sosok kasat mata yang tengah memerhatikannya juga ketiga temannya. Untunglah, ia bisa solat degan khusuk meski tak bisa dipungkiri, bayangan aneh mulai menghantuinya.
Mereka masih menikmati siaran TV. Hingga kantuk mulai menyerang mata Dani. Lalu Dirga. Lalu Fian. Dan terakhir Ray.
“Pengaruh makan ikan mas nih, mata jadi cepat teresa berat…” ucap Dani.
“Kita mau tidur satu kamar berempat atau satu kamar masing-masing berdua? Maksudku, tidur berdua beda kamar. Kebetulan kamar di rumah ini hanya dua. Kamar orangtuaku yang depan. Kamar kedua, kamarku dan kedua adikku bersatu, karena kami sama-sama anak laki-laki,” jelas Dirga sebelum tubuhnya beranjak.
“Dir, tak baik kita tidur di kamar orang tua. Mending, kita sekamar berempat saja, biar seru!” saran Fian. Terlebih. Ia paling penakut. Ia tak mau tidur hanya berdua dalam satu kamar di rumah Dirga yang ia pun merasakan hawa yang berbeda meski tak seperti yang dirasakan Ray.
“Ya, aku setuju!” komentar Dani yang juga diiyakan Ray yang memang matanya sudah terasa berat. Tubuh Dirga beranjak ke kamar. Mengatur kasur yang kebetulan ada dua dengan ukuran sedang. Ray ke luar rumah untuk mengunci pintu pagar. Lalu pintu rumah. Fian mematikan TV. Mereka berempat sudah berada di dalam kamar. Satu kasur ada di atas divan pendek. Kasur satunya lagi di atas karpet plastik. Namun dua kasur berdempet tak jauh karena ukuran tinggi divan sangat pendek hingga mereka tampak seperti tidur di atas pembaringan yang sama.
Sesekali bibir Fian masih ngoceh meski dengan mata terpejam. “Duuuuuh, ini asli efek ikan mas yang suka mudah ngantuk!”
“Ya, tinggal tidur lah, kan gampang!” seru Ray yang tidur di atas bersama Dirga. Sementara Fian bersama Dani di kasur bawah.
“Tadinya kan mau ngobrol dulu,” Fian melirik Ray dengan matanya yang terkuak sedikit menahan kantuk tapi susah.
“Ini sudah jam sembilan lewat,” Ray mengingatkan.
“Masa sudah mau tidur,” Fian masih cerewet.
“Fian, kamu jangan ngoceh mulu! Aku ngantuk! Nanti aku nggak bisa tidur gara-gara mulutmu yang ngoceh terus!” Dani agak jengkel dengan temannya yang satu itu. Fian akhirnya bungkam. Dirga bertanya apakah lampu kamar mau tetap menyala. Ketiga temannya memilih lampu dimatikan. Tubuh Dirga sesaat beranjak. Memijit sakelar lampu. Ruang kamar gelap seketika. Mereka berempat pun tertidur pulas.
Dani tengah memeluk guling. Dalam mimpinya pun, ia merasa tengah dipeluk ibunya. Bibirnya tersenyum karena senang. Namun, di saat terlelap, ia terbangun lantaran ingin buang air kecil. Ia hendak ke kamar mandi tapi mendadak dibalut rasa takut. Tak berani sendiri. Akhirnya, tangannya mengguncang-guncang lengan Fian. Ia mendesah kecewa karena tubuh Fian tak bergerak dan dengkurnya kentara. Sementara, Dani tak kuat menahan keinginannya untuk segera buang air kecil. Ingin membangunkan Ray, tapi tak berani. Atau meminta Dirga mengantarnya, tapi Dirga tampak pulas dalam gelap malam. Ketimbang buang air kecil di atas kasur, ia tak mau mengambil resiko dimarahi Dirga atau Ray, terpaksa tubuhnya pun bangkit. Membuka pintu kamar. Langkahnya tergesa menuju ruang belakang. Baru saja tangannya hendak mendorong pintu kamar mandi yang tertutup rapat, terdengar dari dalam suara helaan napas. Entah siapa. Helaan napas itu sangat jelas di telinganya dan berhasil membuat Dani tak bisa menahan air seninya membasahi celana jins-nya. Tubuhnya gemetaran hebat lantaran dibaluri rasa takut yang luar biasa.***