Benda Apa yang Melayang Itu?

1843 Words
Benda Apa yang Melayang Itu? SELASA sore. Pukul enam belas lebih beberapa menit. Ray baru tiba di rumah. Ia tengah merasakan letih. Duduk di atas karpet yang berada di ruang keluarga. Dengan kedua kaki diselonjorkan. Tubuhnya masih berbalut seragam putih abu-abu. Begitu pun dengan kaus kaki putih masih melekat di kedua kakinya. Di sampingnya, gelas tinggi berisi jus jeruk buatan ibunya, tinggal seperempat gelas. Sudah diteguknya lantaran haus. Terdengar ibunya tengah berbincang dengan seseorang di beranda yang tak lain Rika, kakak Ratna. Rika menceritakan perihal anaknya, Cika yang mengalami hal buruk di malam Senin, sepulang dari rumah ini dan usai berbincang bersama Ray. Ratna menyuruh kakaknya masuk menemui Ray lantaran Ratna ingin bersua Ray. Rika dan Ratna pun masuk. Ratna pergi ke dapur untuk memasak, menyiapkan makanan yang hendak dinikmati keluarga nanti malam. Sementara Ratna duduk di atas karpet, tak jauh dari Ray. “Tante Rika sengaja kemari?” tanya Ray lalu melipat kedua kakinya lantaran risih dengan kakak ibunya itu yang duduk dekat kedua kakinya yang terbungkus kaus kaki putih. Selain tak sopan, Ray merasa tidak percaya diri karena mungin saja kaus kakinya yang sudah dipakai dua hari itu berbau tak sedap. Ratna mengangguk. “Tante kemarin kemari, tapi kamunya belum pulang.” “Kemarin Ray memang pulang sore banget, Tan. Hampir jam enam.” “Cika ada meneleponmu?” tanya Rika. Ray menggeleng. “Waktu hari Senin, ada kirim wapri, tapi hanya tanya… apakah Ray sibuk atau nggak. Ray bilang lagi sibuk karena banyak tugas mandiri juga kelompok. Ray suruh Cika datang kemari malam, tapi Ray tunggu, dia tak datang-datang.” “Kalau udah gelap, dia tak akan berani ke luar rumah sekarang. Apalagi sendiri.” Ray mesem, paham dengan watak penakut saudara sepupunya. “Padahal kalau kemari malam juga, Ray pasti antar pulang, kalau Cika memang takut.” “Bukan pulangnya saja, tapi ke luar rumah malam untuk ke sini, dia tak bakalan mau. Ray, kamu sudah tahu apa yang menimpa Cika?” Ratna menatap keponakan laki-lakinya. Ray menggeleng. “Nggak tuh, Tan. Ada apa?” Ratna menghela napas berat. “Dia melewati malam yang mencekam, Ray.” “Kapan? Di Jatinangor? Di pondokan dia lagi?” Ratna menggeleng. “Ray, Cika tadi pagi hampir tak mau kembali ke Jatinangor, hampir tak mau masuk kuliah.” “Lho, kenapa lagi?” Ray sama sekali belum mengerti. Kakak ibunya itu terlalu berbelit-belit mau membicarakan sesuatu mengenai putrinya. Hingga Ray masih dibuat bingung. “Waktu dia pulang dari rumah ini sehabis ngobrol sama kamu, dia makan malam sama Tante, ya biasa ngobrol-ngobrol dulu. Tapi pas tengah malam, dia terbangun dari tidurnya karena mendengar suara dari jendela kamarnya,” jelas Rika. Dada Ray terperanjat. “Apa? Jendela? Maksudnya kaca jendela?” Ray tahu jendela kamar Cika di rumahnya, terbuat dari kaca. Bukan kayu seperti sebelumnya ketika rumahnya belum direnovasi. Rumah lama yang berjendela kayu. “Ya, kaca jendela. Katanya, ada yang menggaruk-garuk. Kayak kuku-kuku yang tajam. Terus ada suara-suara yang menyeramkan yang membuat dia ketakutan. Tapi dia tak bisa teriak karena lehernya terasa dicekik makhluk itu,” Rika menjelaskan dengan detail. Ray kaget. Kenapa makhluk itu lari ke rumah Cika? Sebelumnya ke pondokannya nun jauh di Jatinangor. Dan berhasil membuat Cika ketakutan. Kini, ke kamar gadis itu. Makhluk menyeramkan itu pernah mengusik tidur ibunya beberapa kali. Lalu beralih pada Ray. Bahkan, pada Ray sempat memperlihatkan wujudnya yang sangat mengerikan. Tak dapat dibayangkannya, jika makhluk itu pun memperlihatkan wujud pada Cika. Tentu gadis itu akan sangat ketakutan dan mungkin saja membuat jiwanya terguncang. Cika perempuan. Biasanya perempuan kurang kuat berhadapan dengan hal gaib. Beda dengan laki-laki. Beda dengan Ray yang sanggup menghadapinya. Terlebih, Ray bukan tipikal penakut meski belakangan, ia pun acap diganggu makhluk-makhluk selain manusia. Baik suara maupun wujud. Ditambah cerita teman-temannya yang juga terusik dengan hal serupa. Yang meski dianggap sesuatu hal yang tak masuk akal, tapi bangsa siluman itu harus diakui, ada di sekitar manusa. Berbaur. Hanya mereka tak bisa terlihat oleh manusia. Lain halnya, dengan mereka yang bisa melihat manusia. Memang, dari sekian manusia, ada beberapa yang bisa melihat wujudnya. Itu pun dilatarbelakangi dengan banyak faktor. Di antaranya, lantaran penakut. Bisa juga lantaran makhluk itu yang sengaja hendak mengganggunya. Atau bisa juga, kiriman seseorang. Melintas di benak Ray, Wak Dulah. Laki-laki tua pemilik ilmu mistis. Adik mendiang kakeknya yang sangat ingin mengangkat Ray menjadi anaknya. Meski hingga kini, keinginan laki-laki itu tak pernah berhasil. Kedua orang tua Ray mempertahankan putranya. Mereka berdua tak tergiur dengan tawaran Wa Dulah yang akan melimpahi Ray bukan hanya dengan kasih sayang, tapi dengan materi. “Kak Rika, mau kubuatkan minum apa?” tiba-tiba Ratna muncul di ambang pintu. Dari arah ruang makan. Rika yang raut mukanya tampak serius, menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Rat. Aku tak mau minum apa pun. Lagian tak haus. Aku cuma mau ngobrol sama Ray.” Ratna paham, akhirnya tubuhnya berbalik dan kembali ke dapur. Memahami jika kakaknya hanya ingin berdua dengan Ray. Tanpa ada Ratna di antara mereka. Ratna pun anteng di dapur. Suaminya, ayah Ray, tadi siang meneleponnya. Akan tiba di rumah sekitar bada isya. Dan meminta menunggunya untuk bisa makan malam bersama. Juga menyuruh Ratna membuat makanan kesukaan suaminya. “Menurutmu, itu suara apa?” tanya Rika penasaran. Ia pun khawatir dengan putrinya. Ray menggeleng dan tak mau menjelaskan yang sebenarnya. Ia terpaksa pura-pura tak tahu untuk sementara sekarang. “Ray juga tak tahu. Atau tak bisa menebak-nebak. Ray cuma bisa mengingatkan, Cika tak perlu takut.” “Raaay, tak perlu takut gimana? Cika bukan hanya mendengar suara garukan di kaca jendela kamar!” “Lalu ada apa lagi?” Ray menatap Rika. Dadanya berdegup. Mungkinkah makhluk itu menampakkan wujudnya depan Cika seperti yang pernah terjadi pada diri Ray sendiri? tanya Ray dalam hatinya. “Ada benda serupa plastik hitam entah berisi apa… masuk lewat ventilasi. Lalu melayang, turun dan jatuh ke lantai. Saat itu, lampu kamar mati. Cika bangkit dan menghidupkan lampu. Ketika ruangan kamar terang, dia merasa penasaran dengan benda yang melayang turun. Tapi ketika dicari ke lantai, benda itu tak ada,” Rika kembali bertutur. Seperti yang pernah dituturkan putrinya. Hingga Ray pun bisa membayangkannya. Namun, ia tak bisa menebak benda seperti apa. Lantaran kalau itu, ia belum pernah mengalaminya. Hingga tak bisa membandingkan dengan pengalamannya selama ini. Ray sesaat termenung. Lalu berpikir. Apa yang hendak dilakukannya untuk membantu Cika agar tak diganggu makhluk-makhluk aneh itu? Pikirnya dengan sungguh-sungguh. Ia sangat kasihan pada Cika. Dan tak mau sampai Cika terusik olek makhluk itu. Apalagi sampai Cika merasa terganggu konsentrasi belajarnya di kota lain. “Kamu telepon Cika, ya?” bujuk Rika. Ia tahu, hanya Ray yang paling bisa menenangkan Cika. Ia pun percaya pada Ray. Keponakannya yang satu ini seperti memiliki kelebihan lain yang bisa bertahan ketika diusik oleh makhluk selain manusia. Dengan membicarakan pada Ray, Rika juga akhirnya bisa bernapas lega. “Baik, Tan. Paling habis makan malam, Ray mau ngobrol sama Cika,” janji Ray pada Rika. Ibunya Cika pun mengulas senyum. Ia tampak puas setelah mendengar Ray hendak menelepon putrinya. Ia pun berharap, Ray mampu menenangkan Cika dengan segera. Terbayang, Cika pasti masih dihantui pengalaman dua malam lalu. Rika pun pamit pada Ray. Lalu menghampiri adiknya di dapur. Bicara sebentar sebelum ke luar rumah. Bersamaan dengan azan yang berkumandang dari masjid terdekat. Ray segera masuk kamar mandi. Membuka kran air. Membasuh sekujur tubuhnya dengan air dari bak. Sesekali menghidupkan shower untuk mengguyur rambutnya yang dikeramas lantaran keringatan setelah menjalani aktivitas seharian di sekolahnya. Keluar dari kamar mandi, ibunya sudah menunggu. Hendak berwudlu. Rayna dan Mia biasa berwudlu di ruangan atas. Di sana, ada kamar mandi hingga tak perlu turun dan ikut mengantri di kamar mandi bawah. “Kalau mandi, jangan dibiasakan mepet hari gelap. Pamali,” Ratna mengingatkan anak laki-laki satu-satunya. Tangan Ray sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sementara tubuhnya tertutup handuk, dari atas d**a hingga lutut. Pakaian seragamnya dibiarkan di dalam kamar mandi. Rabu, ia pergi ke sekolah dengan mengenakan atasan batik dan celana abu-abu satu lagi yang masih ada di dalam lemarinya. Terlipat rapi. “Kan tadi mau mandi, ada Tante Rika. Masa harus Ray tinggal!” “Kamu kan bisa pamit sebentar sama dia. Toh, mandimu tak pernah lama.” “Ngapain mandi lama-lama? Kayak cewek saja!” ucap Ray seraya berlalu. “Ray, solat berjamaah magrib di masjid... sana!” seru ibunya dari ambang pintu kamar mandi. “Sudah tanggung. Malas kalau telat datang, nanti diledekin… Mr. Masbuq!” teriak Ray. Tubuhnya sudah tenggelam dalam kamar. Mengenakan baju koko putih dan celana hitam serta berpeci. Ia solat sendiri. Sebelum azan isya, ayahnya baru tiba di rumah. Membawa beberapa ikat rambutan dan makanan kecil lainnya. Begitu kebiasaan ayahnya saban pulang dari kota. Ia pulang tak tiap hari. Dalam seminggu, paling dua atau tiga hari. Bahkan pernah seminggu sekali. Usai sekeluarga makan malam bersama, melahap masakan Ratna yang sangat lezat serta menggugah selera, Ray masuk kamarnya. Diteleponnya Cika seperti janjinya pada Rika. Selain itu, ia pun khawatir dengan Cika. Dan sempat kepikiran terus ketika makan bersama. Cika senang menerima telepon dari Ray. Ia mengulang cerita ibunya yang sama persis. Ray menanggapinya dengan baik meski cerita itu sudah tertangkap telinganya ketika tadi sore. Tanpa ada yang dikurangi atau ditambahi. Ray bertanya pada Cika, apakah ada lagi kejadian serupa di kamar kos Cika. Lalu Cika menjawab tidak ada. Ray pun bersyukur. Ray merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Masih pukul delapan. Ia tak menyalakan laptop seperti biasa. Seharian di sekolah dan banyak tugas, cukup membuatnya keletihan. Terlebih matanya terasa panas menatap terus layar laptop. Malam ini, ia ingin memanjakan diri dengan banyak rebahan. Suara ayahnya tengah bercengkrama dengan kedua adiknya di ruang keluarga. Ray tak berniat berbaur. Toh, ayahnya tak akan pergi ke kota dalam beberapa hari. Jadi, Ray punya banyak waktu bersama ayahnya di malam-malam lain. Mata Ray mulai terpejam. Baru beberapa menit, gawainya bergetar. Diambilnya dengan mata masih terpejam. Tiba-tiba gawainya berdering. Panggilan telepon biasa. Bukan w******p. Matanya terkuak. Dilihatnya nama kontak yang memanggil. Dirga. Tubuh Ray tetap telentang. Telinganya mendengar ucapan Dirga yang seketika membuatnya kaget. Hingga tubuhnya beranjak lalu duduk. Benarkah yang barusan diceritakan Dirga? pikirnya ketika pembicaraan mereka sudah terhenti. Ketika tengah malam yang lalu, Dirga terusik dengan suara serupa garukan kuku-kuku tajam di kaca jendela kamarnya. Kemudian diakhiri dengan benda terbungkus plastik hitam lewat ventilasi kamarnya. Lalu benda itu melayang dan jatuh ke lantai kamarnya. Cerita yang sama dengan cerita Cika. Mereka mengalami yang tak berbeda. Bahkan, di malam yang sama. Malam Senin. Ray menghela napas. Ia didera bingung. Tadi, ia sempat bertanya kenapa Dirga baru cerita sekarang, tidak dari hari Senin atau Selasa tadi. Mereka memang tak bersua di sekolah lantaran beda kelas. Tapi bukankah bisa datang ke kelas Ray? pikir Ray lagi. Malam bergerak. Menuju tengah malam. Ray tengah dibuai mimpi, seketika matanya terkuak lantaran kaget. Suara itu datang lagi. Kuku-kuku tajam. Menggaruk-garuk kaca jendela kamar. Treeeeeeeek. Tak lama kemudian, benda terbungkus plastik hitam melayang. Dengan jelas. Ruangan kamar tak begitu gelap. Terbantu cahaya lampu dari beranda yang cahayanya menerobos masuk lewat ventilasi. Mata Ray mengarah ke lantai dekat jendela. Mencari benda itu yang mendadad lenyap. Melintas wajah Wak Dulah.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD