Ketukan di Pintu Kamar Mandi

1954 Words
Ketukan di Pintu Kamar Mandi “RAY, main dong ke rumah kontrakan Ibu!” ucap Bu Sri ketika berpapasan dekat perpustakaan. “Ko deket-dekat rumahmu di sana, tapi nggak mau main ke tempat Ibu!” Ray tersenyum. “Maaf, Bu… Ray nggak sempet melulu, ya?” “Siswa paling rajin bukan hanya di kelas. Di jurusan Teknik Komputer Jaringan. Bahkan, satu sekolah ini… sepertinya, kamu siswa teladan!” “Ah, Ibu ko berlebihan!” ucap Ray malu. “Banyak juga siswa yang jauh lebih rajin dari Ray.” “Masa?” Bu Sri balas tersenyum. “Tapi menurut Ibu, kamu deh!” “Hehehe. Makasih, Bu…” “Kamu mau ke mana?” “Ke ruang OSIS, ada perlu buat bicarain acara akhir tahun sama pengurus OSIS, Bu.” “Ko sendirian?” “Teman-teman sekelas… lagi bersih-bersih kelas, sebagian… biasa Bu, di kantin. Maklumlah… kelas akhir suka serasa banyak waktu luang, padahal ujian akhir nggak lama lagi,” jelas Ray. “Ya, jangan lupa ingetin teman-temanmu itu, ya?” “Siap, Bu.” “Ray, sepulang sekolah, main ya ke tempat Ibu! Ibu baru pulang mudik kan kemarin. Ada makanan banyak, lho. Buah-buahan dari desa. Makanan khas kampung halaman Ibu juga ada. Bingung, tak mungkin kemakan berdua sama Bapak ‘kan? Mak Inoh… udah tua, makanannya paling bubur, yang lembek-lembek. Mau dibawa ke sekolah, buat di ruang guru… ah, Ibu ko tidak pede ya bawa makanan kampung, hehehe.” “Mak Inoh sehat?” “Alhamdulillah. Kenapa… kangen?” Bu Sri jadi mencandai Ray. Ray pun tertawa lebar. “Ditunggu, ya? Pokoknya, sepulang sekolah. Sekalian menginap. Biar tak sepi. Ibu dan Bapak kangen ngobrol sama kamu. Ajak balad-baladmu?” “Siapa? Bukan teman sekelas Ray ‘kan?” “Balad-baladmu yang sering bikin acara sama kamu ‘kan… yang tiga orang itu. Salah satunya, Fian… yang rumahnya paling dekat dengan tempat Ibu, tapi tidak juga mau berkunjung, menengok Ibu. Padahal, kalau dia sering nongol, Ibu pasti senang dan mau Ibu kasih makanan karena banyak yang kebuang. Sayang ‘kan? Ntar jadi mubadzir.” “Wah, Fian pasti senang Bu kalau mau dikasih makanan,” ucap Ray dan diakhiri dengan tawa lagi. “Ibu mau ke ruang kepala sekolah dulu, ya? Jangan lupa, sepulang sekolah… langsung meluncur ke tempat Ibu!” Bu Sri pun lalu berlalu dari hadapan Ray sebelum Ray mengiyakan. Sepulang sekolah, Ray dan ketiga baladnya bersiap meluncur ke rumah kontrakan Bu Sri dan Pak Rahman. Fian yang rumahnya dekat dengan tempat itu, siap meminjamkan baju buat tidur pada Dirga. Sementara Ray tidak, karena rumahnya juga tak jauh dari sana. Bahkan Dani pun menegaskan, ia menyimpan beberapa pakaian di rumah neneknya. Dan hendak mengambilnya sembari minta uang saku buat sekolah. Mereka pun sudah tiba depan rumah kontrakan itu. Sepi. Di pelataran halaman yang sanagat luas pun sepi. Di kebun yang tepat depan rumah, juga sangat sepi, pastinya. Apalagi kebun itu jarang ada yang menginjak. Anak-anak kecil yang rumahnya di sekitaran pun sekarang pada enggan menyelinap ke sana untuk memungut rambutan yang jatuh. Mereka takut dengan cerita orang desa jika di kebun itu, siang hari pun suka ada hantu yang tak terlihat. Dan tahu-tahu akan ikut ke rumah anak-anak. “Aku dan Dani ambil dulu pakaian,” ucap Ray. “Ya, aku kan ke rumah Nenek,” Dani melirik Dirga. “Aku juga mau ambil baju salin sekalian selain buat Dirga. Dan… pamit sama orang tuaku mau menginap di rumah Bu Sri dan Pak Rahman,” jelas Fian yang rumahnya sangat dekat dengan rumah yang dikontrak oleh gurunya. “Aku nunggu di teras ini sendirian?” tanya Dirga sembari matanya celingukan. Gurunya tak juga keluar dari rumahnya. Atau menguakkan pintu depan. Padahal semua muridnya sudah beberapa kali mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak juga ada yang menjawab salam dari dalam. Bahkan Mak Inoh, perempuan tua yang terkadang pikun itu. “Di teras ini?” tanya Dirga. “Ya!” seru Dani. Lalu telunjuknya mengarah ke barat. “Atau mau di pekarangan yang luas itu?” Fian tertawa keras. Ray memberi kode agar tak sembarang tertawa depan rumah orang. Fian menghentikan tawanya. “Nggak mau sendirian!” kata Dirga. “Manja!” Ray mendecak. Lalu kakinya melangkah menuju pintu pembatas benteng rumah dan tanah milik Haji Jajuli. Dani gegas menyusul. Fian pun tak ketinggalan. Dirga melongo. Ia hendak mengikuti salah satu temannya. Namun, malah bingung. Akhirnya, ia terduduk di kursi tua yang berada di teras. Adem. Semilir angin dari dedaunan pepohonan di kebun yang agak gelap, meniup wajah dan tubuhnya yang gerah setelah seharian beraktivitas di sekolah. Dari dalam rumah tua yang terkenal angker ini, tak juga ada tanda-tanda suara manusia. Bulu kuduk Dirga sesaat merinding. Mungkinkah tak ada orang di dalamnya? pikirnya. Tapi untuk apa Bu Sri meminta Ray mengajak teman-temannya kemari selepas pulang sekolah? Atau mungkin Bu Sri dan suaminya masih pada di sekolah? pikir Dirga lagi dalam gelisah. Alhasil, ia masih bingung dan mulai dihinggapi rasa takut ketika Ray dan kedua temannya malah belum juga muncul. Rumah tua ini acap menjadi pembicaraan orang-orang. Dirga merasakan terlebih melihat kondisi bangunannya. Bangunan lama. Seperti dibangun pada zaman Belanda. Rasa takut berubah menjadi kekesalan ketika tak satu pun temannya yang datang. Ingin ke rumah mereka, menyusulnya, tapi segera ditepisnya. Ia beranjak. Hendak menuju motornya yang terparkir di sekitar halaman yang sempit samping kanan rumah angker ini. Terparkir dekat motor Ray dan Dani. Ia memutuskan hendak pulang saja tanpa memberitahu teman-temannya tersebab benar-benar dibuat jengkel. Sepertinya Ray dan kedua temannya memang sengaja hendak meninggalkan Dirga sendirian melongo kayak orang b**o di teras rumah orang. Mana rumahnya kosong lagi! Sialan, aku dikerjain mereka! Dirga jadi menggerutu. Baru saja hendak menstarter motor matic-nya yang keluaran tahun lama, terdengar suara motor dari pintu gerbang arah barat--- pintu depan lingkungan rumah Haji Jajuli, dari arah jalan besar. Yang bisa juga dilalui orang. Tak pernah dikunci dari dalam. Dibiarkan terbuka 24 jam. Bu Sri dan Pak Rahman datang dengan motor mereka. Bu Sri yang berseragam guru, turun setelah suaminya menghentikan motor depan rumah. Dekat tumbuhan beluntas. Bu Sri mengembangkan senyum ketika melihat Dirga. “Mau ke mana lagi? Ayo masuk! Mana teman-temanmu?” Dirga pun mengurungkan niatnya pulang lantaran malu pada Bu Sri dan Pak Rahman. Dimatikan kembali motornya. Lalu menghampiri Bu Sri dan suaminya. Mencium punggung tangan mereka berdua yang sangat dihormatinya. Pak Rahman melangkah duluan. Membuka kunci rumah. Lalu masuk. Dirga dan Bu Sri masih di luar. “Teman-temanmu… mana?” Bu Sri mengulang pertanyaan yang sama yang tadi belum sempat dijawab oleh Dirga. “Tadi pamit mau ke rumahnya dulu.” “Ray dan Fian?” Dirga mengangguk. “Kalau Dani… bukankah rumahnya jauh?” Bu Sri heran. “Rumah neneknya ada di sekitar sini, Bu. Bersebelahan sama rumah Ray,” jelas Dirga. “Ouh iya lupa, Ibu jarang keluar kalau sudah di rumah,” Bu Sri lalu mengajak Dirga masuk. “Tunggu saja mereka, ya? Paling mandi dulu. Kamu mau mandi dulu di sini?” “Ngngng…” Dirga bingung. “Seharian di sekolah pasti tubuhmu keringatan dan menempel di baju seragammu. Mendiang, kamu mandi dulu. Ada handuk baru, ko… di kamar mandi, yang warnanya biru muda. Ukurannya kecil. Sabun dan alat mandi baru juga ada tuh, biar bisa kamu pakai. Kamu tahu kan arah ke kamar mandi? Tempo hari pernah ikut beres-beres ‘kan waktu Ibu baru pindahan sini?” Bu Sri yang masih berdiri menatap Dirga yang duduk dengan sikap agak tak tenang. Sebenarnya, Dirga ingin menolak. Namun, ucapan Bu Sri yang panjang lebar seolah sebuah perintah yang harus dilakukan. Lagi pula, yang bicara itu Bu Sri, perempuan cantik dan masih muda yang juga guru di sekolahnya. Idola banyak siswa di sekolah lantaran sikapnya yang acap manis pada semua siswa, tanpa memilih-milih. Itulah yang membuat Dirga pun segan. “Ba-ba-ik, Bu…” tubuh Dirga berdiri. “Kalau salin baju, mau nunggu Ray. Katanya mau bawa baju biar bisa saya pakai.” Bu Sri mengangguk lalu menuju ruangan lain. Kamarnya. Dirga melangkah ragu ke ruang belakang. Gelap. Entah ruang apa, ia pun tak bisa memastikan. Cukup luas, hanya bangku panjang, peti tua, dan lemari tua. Cahaya lampunya sangat kecil. Dindingnya bercat kusam. Awalnya putih lantaran sudah sekian tahun lamanya tak dicat ulang oleh pemilik rumah. Hingga dinding-dinding tampak kotor tak terawat dan bagi Dirga, membawa suasana menyeramkan. Ia pun tahu rumah ini sangat angker, begitu menurut cerita yang pernah dibawa oleh Fian. Lama dibiarkan kosong dan hanya dihuni pembantu yang sudah tua. Dikontrak baru sekarang-sekarang. Tangan Dirga mendorong pintu kamar mandi. Kamar mandi yang besar dan ia pun merasakan suasana yang lain. Tak nyaman. Namun, terpaksa dilepaskan semua pakaian yang menutupi tubuhnya. Lalu mengguyur tubuh dengan air dari bak. Dingin tapi segar tubuhnya. Diambilnya tempat sabun yang diduganya baru seperti apa yang dibilang Bu Sri. Serba baru. Ia menikmatinya dan sesaat melupakan rasa takut yang tadi sempat membelitnya. Tangannya mengambil air lagi dengan gayung. Mengguyur rambutnya yang sudah dibilas dengan shampoo wangi entah mereka apa, ia tak tahu. Yang pasti, aromanya sangat ia suka. Usai tubuhnya dirasa bersih dan wangi, tangannya mengambil handuk warna biru muda ukuran kecil yang tergantung di kapstok yang menempel pada dinding. Dibalutkan di tubuh. Setelah kering, kembali handuk digantungkan. Pakaian seragam tadi dikenakan kembali sembari menunggu Ray datang. Pintu kamar mandi terdengar ada yang mengetuk dari luar. Tapi tak ada suara memanggil atau menyuruh segera keluar. Mungkinkah Bu Sri atau Pak Rahman, pikirnya? Ia pun gegas membuka pintu lalu keluar dan menuju ruang tamu. Bu Sri menghampiri. “Segar, ya?” “Ya, Bu…” “Ko Ray dan teman-temannya lama, ya?” “Ya, Bu…” Dirga agak resah. Ingin meneleponnya tapi Bu Sri melarang. Katanya, lebih baik menunggu. Kalau Magrib belum juga pada datang, ya boleh ditelepon atau kalau perlu disusul ke rumahnya. Dirga pun setuju. Tiba-tiba ia teringat pintu kamar mandi yang tadi diketuk. “Bu, mau ke kamar mandi?” pancingnya. “Ibu sudah dari kamar mandi, ko,” ucap Bu Sri. Ia memang tampak sudah segar, seperti sudah mandi. “Di kamar mandi yang ada di kamar.” “Oh ya?” Dirga sedikit kaget. “Kenapa gitu?” “Kalau Bapak?” “Sama. Di kamar mandi pribadi. Kan ada kamar mandinya. Tapi tidak di saban kamar. Hanya kamar pertama saja. Kamar yang Ibu dan Bapak tempati.” Tampak Dirga kian kaget. Lalu, ia coba bertanya ingin kepastian. “Bu… di rumah ini, ada orang selain Ibu dan Bapak?” Bu Sri yang duduk depan Dirga mengangguk. “Ada. Mak Inoh.” “Ouh,” Dira bernapas lega. Berarti yang tadi mengetuk pintu kamar mandi itu pasti Mak Inoh, pikirnya. “Tapi, seharian ini katanya dia tak enak badan. Malah dari pagi dia menginap di rumah istri Mang Cece. Mang Cece itu salah satu pegawai Haji Jajuli yang mengurus sawah. Ibu tahu Mak Inoh tak enak badan juga dari istri Mang Cece. Sebelum sampai di rumah tadi sepulang sekolah, Ibu ketemu istri Mang Cece depan apotik. Mau beli obat buat Mak Inoh. Dan Mak Inoh mungkin kembali ke rumah ini luas itu pun kalau kesehatannya membaik,” jelas Bu Sri bersamaan dengan tubuh Dirga yang menggigil bukan lantaran kedinginan usai mandi. Namun, teringat dengan yang mengetuk pintu kamar mandi tadi. Saat ia masih berada di dalam. Yang mengetuk, tak mengeluarkan suara. “Bu… jadi… tadi Ibu dan Bapak tak ke kamar mandi itu?” “Kamar mandi mana?” “Yang saya mandi.” Bu Sri menggelengkan kepala. Ketakutan kian menyergap diri Dirga. Ia ingin pulang ke rumahnya. Namun mulutnya tak berani berucap untuk pamit pada Bu Sri. Terlebih ketika terdengar suara Ray dan kedua temannya di teras lalu mengucap salam.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD