Teror di Kamar Tengah
SEMENJAK pagi, Bunda Dewi belum kembali ke rumahnya. Indah kian resah. Hari mulai gelap. Ia khawatir Bunda Dewi tak pulang. Ia ingin menghubunginya tapi tak tahu bagaimana caranya. Lantaran ponselnya tak aktif. Dani dan Ray pun tak kunjung datang. Indah mengerti jika mereka berdua sibuk di sekolah dalam menghadapi ujian yang tak akan lama lagi. Indah pun tak berani menuntut mereka untuk selalu menemaninya di kala sore hari. Tentu Ray dan Dani harus pulang ke rumah masing-masing, setelah seharian beraktivitas di sekolahnya. Apalagi Dani terkadang melatih tim marching band di sekolah dasar tempat Bunda Dewi mengajar. Bahkan, Ray menemaninya.
Indah menghela napas resah. Ia baru usai solat Magrib dan berdoa sebentar. Hatinya tak tenang. Juga, merasa takut. Teringat lagi pengalaman demi pengalaman selama di rumah ini. Baik ketika malam di dalam kamar maupun siang hari saat di rumah, hanya ia sendirian.
Suara gagak hitam terdengar saling bersahutan di luar rumah. Terbang dan hinggap di atap rumah kosong lainnya. Indah kian didera rasa takut. Suara gagak hitam itu menyeramkan di telinga. Bayangan sosok perempuan berkain putih kusam lebar. Berkelebat di benaknya. Suara-suara dalam kamar tengah. Makhluk halus yang memegang kedua kaki dan menarik selimut dan banyak lagi kejadian aneh lainnya yang membuatnya dicekam rasa takut.
Setelah melepas mukena dan melipat, ia keluar dari kamar. Menuju ruang tengah. Duduk di kursi. Tangannya hendak mengambil remote control di atas meja, tapi telinganya mendengar suara langkah kaki di sepanjang beranda. Langkah kaki yang seperti menyeret sandal jepit. Matanya menyipit. Telinganya dipasang kembali dengan baik. Langkah itu terdengar lagi. Entah mau ke mana. Ia yakin, itu bukan suara manusia. Lantaran di rumah ini tak ada sesiapa pun. Hanya dirinya. Dan di luar, pintu pagar tertutup rapat jadi mustahil ada orang masuk lalu berjalan-jalan di sepanjang teras. Karena kalau pun masuk, tentu terdengar bunyi pintu pagar ketika dibuka.
Dada Indah berdegup keras. Ia mencoba menenangkan hatinya. Meski tak mudah. Setelah suara langkah kaki menyeret sandal jepit tak didengarnya lagi, ia pun tenang. Tangannya kembali hendak memijit tombol-tombol pada remote control. Namun gagal. Bunyi di atas atap mengagetkannya. Blug blug blug! Dadanya berdegup lebih keras dari sebelumnya. Apa suara di atas atap genting? pikirnya. Serupa suara makhluk besar tengah berjalan-jalan. Bisa-bisa rumah ini rubuh karena pijakan keras itu, pikirnya lagi dan berusaha menenangkan diri. Hatinya terus berdoa agar Bunda Dewi segera datang. Suara motor ojeg yang mengantar Bunda Dewi tak juga terdengar masuk ke pelataran luas. Lalu berhenti di depan rumah. Membuka pintu pagar. Berjalan di teras. Mengetuk pintu depan. Lalu Indah membukanya. Itu hanya khayalan Indah. Di luar sepi. Terkecuali suara gagak hitam yang kembali saling bersahutan. Indah takut dengan suara itu. Jika tiba-tiba, ada sosok yang menyeramkan muncul, ia pun bingung. Hendak teriak dan minta tolong, tapi pada siapa? Tak ada yang bisa dimintai tolong. Sudah jelas, di rumah ini sepi. Atau minta tolong pada tetangga? Siapa yang bisa dikatakan tetangga? Sementara rumah-rumah di sekitarnya kosong tak berpenghuni manusia. Namun berpenghuni makhluk tak kasat mata. Lampu-lampu rumah itu pun bahkan dibiarkan tak menyala. Hantu suka dengan tempat yang gelap. Di situ habitatnya. Tak suka dengan tempat terang. Dan satu rumah yang membelakangi rumah Bunda Dewi dari arah barat, meski ada penghuni manusia dan terdengar sayup-sayup suara manusia, tapi mustahil jika Indah teriak, mereka di situ akan mendengarnya?
Ah, Indah benar-benar gelisah dalam ketakutan yang memasungnya meski tetap berusaha tenang. Tetap, ia tak bisa tenang. Tetap, ia takut. Ya Tuhan, tolonglah aku, pekiknya dalam hati. Tangannya melepaskan remote control dari gengamannya. Lalu kembali ditaruh di atas meja. Ia mengurungkan niat menonton layar kaca. Pikirannya tak karuan.
Sayup-sayup azan berkumandang. Ia mengucap syukur. Segera menuju kamar tengah. Ia belum batal dan bisa segera menunaikan solat Isya. Ingin berdoa, tapi merasa takut di dalam kamar. Usai mukenanya lepas dari tubuhnya, tanpa dilipatnya, tubuhnya setengah berlari keluar kamar dan kembali ke ruangan semula. Ruang tengah. Di situ, lampu ruangan sangat terang. Ia kembali duduk dan berharap datang keajaiban. Bunda Dewi pulang!
Tuhan mendengar doanya. Atas ketakutan yang membalutnya. Ada yang menuju rumahnya. Namun, bukan Bunda Dewi. Melainkan suara beberapa motor yang menuju ke rumah ini. Tubuhnya beranjak lalu ke luar rumah. Lampu motor menyorot. Terdengar bunyi pintu pagar dibuka. Lalu tiga motor masuk ke halaman. Terparkir di halaman. Senyum Indah mengembang. Sirna rasa tak nyaman yang tadi menggulungnya. Berganti dengan riang. Yang datang bukan hanya Dani dan Ray. Ada Dirga dan Fian. Mereka semua mengenakan pakaian bebas. Celana jins dan atasnya kaus yang dilapisi jaket berbeda warna masing-masing pemiliknya. Semua tampak keren di mata Indah. Apalagi Ray dan Dani.
“Selamat bermalam Minggu, Indah!” sapa Ray.
“Aku lupa malam ini malam Minggu,” ucap Indah. “Pantas kalian semua keren, tak tahunya, ini malam Minggu. Tumben, malam kemari, atau mau wakuncar… Apa pulang wakuncar?”
Dani menatap Indah lalu tersenyum. “Aku yang mau wakuncar. Mereka cuma mengantar.”
“Waaah, wakuncar ke mana nih? Ko malah mampir dulu sini?” Indah penasaran.
Dani mengedipkan mata pada Ray. Lalu tatapannya beralih pada Indah. “Ayo tebak!”
Indah menggelengkan kepala. “Nggak tahu.”
“Dani… wakuncar sama kamu, Indah,” Fian yang menjawab. Dani nyengir ke arah Ray. Ray cuek saja dan langsung ngeloyor masuk ke dalam rumah. Diikuti Fian dan Dirga. Indah dan Dani berdua di teras. Saling menanyakan kabar masing-masing.
“Maaf, kalau baru menemuimu lagi ya, Ndah…” ucap Dani sembari melirik wajah cantik di sampingnya.
“Iya, ke mana saja nih,” Indah balas melirik lalu berjalan pelan di samping Dani.
“Sibuk dan pulang sekolah langsung ke rumah.”
“Sekarang, kalian sengaja mampir sini?” tanya Indah.
“Ko kalian?” tanya Dani. “Kan kamu lagi ngomong berdua sama aku. Berarti aku sendirian, jangan panggil ‘kalian’ dong’, harusnya ‘kamu’ atau ‘Kangmas’.”
Indah terkikik. “Salah dikit. Kamu, Ray dan yang lainnya sengaja ke sini atau mau ke mana?”
“Kangmaaaasss…”
“Yaaa, Kangmas Daniiii!”
Dani tertawa senang. “Aku datang ke sini… sengaja, Ndah Sayang!”
“Ih, ko panggil Sayang?” mata Indah melirik dan agak mendelik.
“Nggak boleh?” Dani menatap lekat mata indah itu.
“Ya, nggak laaah… emang aku pacarmu?”
“Maunya siiiiiiih...” Dani mulai berani menggodanya.
“Kamu kan sudah punya pacar.”
“Siapa?”
“Mmmm… Cika,” ucap Indah. Pandangan matanya ke depan.
“Siapa bilang? Pasti Ray?” tebak Dani sembari menahan rasa kesal pada Ray yang main buka kartu depan gadis incarannya. Apa maksud Ray? pikirnya.
“Nggak penting siapa yang bilang.”
“Nggak ko. Dia bukan pacarku,” Dani menyanggahnya.
“Ah, masaaaa?” goda Indah.
“Sungguh.”
“Bukan pacarmu, ya? Tapiiii… kamu suka sama dia?”
“Bahas yang lain, ya?” ucap Dani. Merasa tersudutkan lantaran hatinya membenarkan jika ia masih suka pada Cika dan masih berusaha menghubunginya. Meski, Cika tak begitu menanggapi.
Indah tersenyum simpul. “Ke dalam, yu? Nggak enak sama teman-temanmu, kita malah berduaan di luar.”
Indah masuk duluan ke dalam. Diikuti Dani. Berkumpul bersama di ruang tengah. Televisi sudah menyala. Ray baru saja mengambil beberapa stoples isi makanan dari ruang makan. Fian membantu membuat minuman. Lima gelas, termasuk untuk Indah.
“Ray, benarkah kamu dan temna-temanmu sengaja mampir sini?” tanya Indah lalu mengambil tempat duduk agak jauh dari mereka semua yang berjenis kelamin laki-laki.
“Benar, In. Tadi Bunda Dewi meneleponku. Sekitar pukul tiga soe. Dia minta aku ajak teman-teman untuk menginap di rumah ini. Sekaligus menemanimu,” jelas Ray.
“Bunda Dewi di mana sekarang, Ray?”
“Dia di Cibiru.”
“Oh, kirain aku… Bunda ke sekolahnya karena pergi semenjak pagi.”
“Bunda ke sekolah dulu, memang… tapi pukul sepuluh langsung ke Cibiru. Dia tadinya mau pulang lagi sini, ingat kamu yang sendirian. Tapi katanya dia letih. Makanya, meneleponku. Begitu, In…”
“Ouh,” Indah menganggukkan kepala. Malam Minggu ditemani banyak perjaka, ia senang karena tak akan merasakan takut lagi. Tapi, kalau yang menemaninya semua laki-laki, ia sungkan juga. Indah termenung sesaat. Terlebih, ia tahu jika anak gadis tengah sendirian di rumah tak baik ditemani laki-laki yang bukan muhrim apalagi laki-lakinya banyak lebih dari satu orang.
Ray seperti memahami apa yang dipikirkan Indah. “In, tak usah khawatir. Kami hanya menemanimu. Nanti, kami tidur di kamar berbeda ko, masa di kamar yang sama.”
Dani tertawa mendengar ucapan Ray. “Ya iya laaaah di kamar berbeda!”
Indah mesem. Ia pun akhirnya menyepakati. Apalagi, ia memang takut sendirian dan butuh teman. Toh, Ray dan teman-temannya itu, sosok perjaka yang baik semua. Tak mungkin berbuat yang tidak-tidak. Lagipula akan tidur di kamar berbeda. Indah bisa mengunci pintu kamar yang ditempatinya dengan sangat rapat. Dan tak akan memungkinkan mereka atau salah satunya, berani masuk. Meski alasan untuk mengajak berbincang.
Mereka berlima mengobrol hingga pukul sepuluh. Indah pamit tidur. Meninggalkan mereka di ruang tengah. Ray sudah menggelar dua kasur busa dari kamar lain. Mereka hendak tidur di ruang itu sembari menonton televisi.
Lampu kamar tengah dimatikan. Tubuh Indah terbaring dengan berselimut. Matanya terpejam dan mulai terseret dalam mimpi yang mendekapnya erat. Matanya sontak terkuak sekitar pukul dua belas tepat. Tak terdengar suara di ruang tengah. Ray dan ketiga temannya sudah lelap. Suara televisi pun tak terdengar.
Indah gelisah ketika matanya menangkap bayangan putih melayang di dekat jendela kamar. Meski ruangan gelap, matanya masih jelas melihat kelebat itu yang kemudian lenyap. Berganti dengan tirai yang bergerak-gerak. Bukan tertiup angin. Ia yakin. Malam-malam sebelumnya tak pernah tirai itu bergerak.
Napasnya memburu. Kaca jendela itu bergetar hebat. Lalu ada yang menggruk-garuk kaca. Seperti kuku-kuku tajam yang tengah menggaruk-garuknya. Bulu kuduk Indah terangkat. Tirai itu tergeser dan menampakkan kepala tanpa tubuh. Seraut wajah yang menakutkan dengan mata tajam seperti hendak menerkamnya.
Tak sadar, mulut Indah berteriak keras. Namun, suaranya itu pun tak ada yang mendengarnya. Bahkan, saat itu, Dani terbangun dan tak mendengar teriakannya. Dani hendak ke kamar mandi karena tak tahan ingin buang air kecil. Ia pun segera menuju kamar mandi yang berada tak jauh dari dapur. Didorongnya pintu kamar mandi itu. Tak terbuka. Seperti ada yang menguncinya dari dalam. Dani memanggil nama Indah. Ia menduga Indah berada di dalam. Sementara, ia pun tahu Ray, Fian, dan Dirga terbaring di kasur dalam ruang tengah rumah ini.
“Indah?” tanya Dani dengan suara dipelankan.
“Ya, Dani,” jawab suara dari dalam. Tak kalah pelan dari suara Dani.
“Masih lama?” tanya Dani tak sabar.
“Sebentar lagi.”
Terdengar suara air dari keran. Lalu berhenti. Dani masih menunggu Indah depan pintu. Pintu pun terbuka. Dani heran karena Indah tak juga keluar. Malah, pintu terbuka lagi lebih lebar. Memperlihatkan di dalam, yang ternyata tak ada siapa-siapa. Apalagi Indah. Dani menggigil. Air seninya membasahi celaan jins-nya. Tanpa dapat ditahan.***