Melanjutkan Liburan yang Sempat Tertunda
PAGI-pagi sekali, Ray sudah mengingatkan semua temannya agar segera bersiap-siap untuk pulang. Wak Dulah, yang berjanji akan datang menemui Ray, tak kunjung tiba. Malah, ia membatalkan kedatangannya dengan berbagai alasan. Dan Ray pun memakluminya. Dani malah bersyukur. Lantaran ia keder bertemu laki-laki yang dikenal sakti itu. Apalagi, Wak Dulah sempat menuduh Dani yang mempengaruhi minggatnya Indah.
Usai sarapan seadanya di rumah Euis, Indah datang membawa makanan. Getuk singkong yang ditaburi kelapa parut, goreng comro, dan katimus. Katanya, hasil buatan ibunya. Singkongnya diambil dari kebun sebelah rumahnya. Mulut gadis itu berceloteh. Ia tampak cantik pagi itu dengan rok terusan sebatas tumit, berlengan sebatas sikut, berwarna merah hati polos, warna kesukaannya. Rambutnya yang hitam legam dikepang atau ke belakang. Wajahnya polos tanpa polesan bedak atau sejenisnya. Apalagi lipstick. Namun, wajahnya memancarkan cahaya dan kecantikan alami. Dani terus memandang wajah gadis idamannya, nyaris tanpa berkedip. Fian dan Dirga saling lirik, sementara Ray acuh saja. Ia menyapa Indah seadanya. Tak dilebih-lebihkan seperti sapaan ketiga temannya pada Indah.
“Emak kamu, nggak marah... tahu kamu datang kemari?” tanya Dani. Indah duduk di sampingnya. Fian, Ray, dan Dirga di depannya. Semua mengelilingi meja yang sebelumnya hanya ada makanan alakadarnya yang dihidangkan Euis. Kini menjadi tampak penuh dengan makanan yang dibawa oleh Indah. Fian dan Dirga tak membuang waktu. Tangannya cekatan mengambil lalu melahapnya. Tanpa rasa sungkan. Ray hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua temannya itu.
Kepala Indah menggeleng.”Nggak. Justru, Emaklah yang nyuruh Indah antar makanan ini kemari. Dan dibuat untuk kalian. Kalau Bi Euis sudah bosan makanan yang gini.”
“Waaaah, baik banget Emak kamu!” komentar Fian.
Indah tersenyum. “Justru kalian yang sangat baik, kata Emak... karena sudah mau mengantarku pulang.”
“Kita... peduli sama kamu, Ndah,” ucap Ray lalu melirik pada Dani. “Bukan begitu, Dan?”
Dani mengangguk. “Ray benar. Meski sebenarnya, kami terlebih aku.... lebih menginginkan kamu tetap tinggal di rumah Bunda Dewi biar kita bisa ketemuan setiap hari, hehehe...”
Indah mendelikkan matanya yang bagus ke arah Dani. “Ketemu tiap hari gimana? Kamunya juga jarang nongol, ko!”
“Tuh!” Ray menyenggol lengan Dani dan menggodanya. “Kamu jahat sama Indah!”
Dani tersenyum malu-malu pada Indah. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal. “Maafin, ya, Beb...”
Mulut Indah manyun. “Untung ada Ray...”
“Hemm, berarti Ray peran penggantiku?” Dani menatap Indah penuh selidik.
“Emang aku pemain sinetron? Pake dibilang peran pengganti segala!” ucap Ray. Fian dan Dirga tertawa. Begitu pun dengan Indah. Hanya tawa Indah renyah dan menggemaskan. Ray sempat memerhatikan gadis cantik itu kala tertawa. Ia sangat menyayangkan jika gadis remaja seperti Indah harus menikah muda apalagi dengan laki-laki tua seperti Wak Dulah. Sebenarnya, Ray sudah siap jika Wak dulah datang semenjak malam, ia pun akan mencoba bicara dan mengingatkannya lalu membatalkaan rencana menikahi Indah. Ray berharap, ia bisa berani bicara langsung di hadapan laki-laki itu lantaran jika di telepon, mulutnya suka mendadak seperti ada yang mengunci. Meski, ia pun tak begitu yakin, apakah bila bertemu langsung di darat, mulutnya akan lancar berucap? Hanya, keinginanny a begitu kuat.Ray pun sudah membicarakan semua di telepon pada Bunda Dewi mengenai Indah dan masalahnya. Bunda Dewi kian ingin menolong Indah dnegan cara mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkan kembali Indah agar gadis itu mendapat pendidikan lagi. Serta bisa meraih cita-citanya kelak.
“Dan, aku suka kamu sama halnya dengan aku menyukai Ray,” ucap Indah jujur.
“Kalau sama aku dan Dirga... kayaknya nggak suka, ya?” Fian nimbrung dengan tatapan polos hingga membuat Indah geli.
“Tentu suka lah, Fian... Dirga, sama ko,” ralat Indah.
“Katamu tadi cuma sama Ray dan Dani?” Fian masih protes.
Indah mendesah. “Kan baru dua yang kusebut. Kalian tadi belum, nggak apa-apa kan telat juga?”
“Ah, dasar Fian... selalu nggak mau terlewat!” dengan Dani. “Aku kan sedang tanya Indah... soal Ray dan aku. Bukan kamu atau Dirga!”
“Sudah!” sergah Ray. “Bahas yang lain!”
“Oh ya, ngomong-ngomong, kata Bi Euis... kalian mau pulang hari ini?”
Ray mengangguk. “Benar, Ndah.”
“Sayang sekali!” raut muka Indah yang sebelumnya ceria mendadak muram. “Indah pikir, masih lama. Jadi kita bisa main bersama di sini.”
“Masih ada urusan di sekolah,” Dani yang menjawab.
“Malah... urusannya masih banyak,” tambah Ray.
“Kan sudah ujian akhirnya?” tanya Indah.
“Ya, sudah. Tapi bukan berarti habis ujian akhir, nggak ada lagi kegiatan. Hari ini mau ke Cipanas Cianjur seperti rencana semula. Itu pun hanya semalam, padahal sebelumnya rencana tiga hari... jadinya semalam paling... besok harus pulang lagi ke Bandung Barta,” jelas Ray. “Terus... lanjut lagi urusan di sekolah. Mana Dani sibuk mau latih murid-murid Bunda Dewi lagi. Biasa, latihan marching band.”
“Sayang sekali, Indah nggak ketemu dulu sama Bunda Dewi,” keluh Indah. Ia belum tahu dengan rencana Bunda Dewi.
“Kamu... masih ingin ketemu sama Bunda Dewi?” selidik Ray.
Indah mengangguk. “Mau banget! Malah kalau boleh jujur, Indah betah tinggal di rumahnya meski...”
“Meski apa?” potong Dani cepat.
“Meskiiii.... sering denger suara-suara aneh dan terkadang lihat penampakan makhluk-makhluk yang aneh juga,” jelas Indah. “Indah sering alami malam-malam yang menakutkan. Bahkan bukan hanya malam, siang hari pun terkadang ada penampakan. Tapi, justru.... karena pengalaman itulah, Indah jadi tak begitu penakut. Dan menganggap hal biasa. Lumayan lho, apa yang Indah dialami di rumah itu... sempat membuat Indah benar-benar dicekam rasa takut dan berontak ingin pergi. Tapi kan bingung juga, kondisi Indah saat itu.”
Ray dan yang lainnya mengiyakan cerita Indah. “Syukurah kalau kamu sekarang menjadi pribadi yang pemberani,” kata Ray lagi.
“Disebut pemberani sih belum, Ray...” ralat Indah. “Tapi, ya sedikitnya... nggak jadi gadis yang terlalu penakut seperti sebelumnya. Pada dasarnya, makhluk kasat mata itu ada di sekeliling kita, harus kita akui. Mereka ada di antara kita tanpa terkecuali.”
Ray membenarkan. Indah masih tampak muram meski sembari bercerita. Ray memahmi perasaan Indah. Namun, kini masalahnya tak begitu membelitnya karena kedua orangtuanya mulai sadar dengan tindakan yang hendak diambilnya. Mereka takut kehilangan kembali Indah. Mereka tak mau Indah pergi lagi apalagi sampai menghilang tanpa jejak. Mereka pun berjanji tak akan mendesak Indah untuk mau dinikahi Wak Dulah serta kedua orangtuanya itu akan segera membatalkan atau menolak keinginan Wak Dulah. Apa pun resikonya lantaran di kampung ini, semua tahu, Wak Dulah pantang ditolak. Dan beberapa cara selalu berusaha dilakukannya.
“Salam sama Bunda Dewi, ya?” ucap Indah sembari menatap Ray. “Nomor ponselnya nanti kirim sama Indah, ya... biar Indah bisa menelepon beliau dan bilang kangen.”
“Kalau bilang kangen, akan lebih baik jika diucapkan sama... Dani,” Fian melirik Dani.
Indah tersenyum tipis dan tak menanggapi ucapan Fian yang memang suka bercanda. “Salam takzim dari Indah buat Bunda Dewi. Suatu saat, entah kapan, semoga Indah bisa ketemu lagi beliau dan berkunjung lagi ke rumahnya. Sementara sama kalian... Indah harap, juga semoga bisa sering silaturahmi.”
Ray kagum pada Indah. Meski wajah gadis itu masih muram tapi sikapnya tenang dan tampak kuat ketika berujar panjang lebar. “Ndah, kamu pasti bisa sering ketemu sama Bunda Dewi.”
“Sering ketemu? Caranya?” Indah menatap Ray heran.
“Kapan-kapan, aku cerita sama kamu.”
“Jangan kapan-kapan, sekarang saja!” Indah menjadi penasaran.
“Kapan-kapan saja, sekarang aku dan teman-teman kamu buru-buru berangkat, takut keburu siang!” tegas Ray lalu tubuhnya beranjak. Dani pun beranjak. Fian dan Dirga mengikuti.
“Duh, jadi penasaran!” ucap Indah.
“Gini saja, Ray, biar Indah nggak penasaran dan juga sedih... gimana, kalau kamu menelepon Indah... besok?” saran Dani. Ray menyepakati. Indah pun mengiyakan dan tak bisa mendesak. Ray dan ketiga temannya sudah siap hendak pergi. Mereka semua sudah menuju beranda depan. Indah memasukkan semua makanan yang dibawanya ke dalam tas plastik hitam lalu diberikan pada Fian. Untuk bekal selama di perjalanan jika berisitirahat sejenak dan melepas letih nanti.
Tiga motor melaju pelan meninggalkan perkampungan. Melintasi jalanan berkerikil yang bercampur tanah lengket dan basah sisa diguyur hujan semalam. Tiba di jalan aspal, jalan utama yang bisa menghubungkan ke kota-kota lain, motor mereka melaju dengan kecepatan tinggi. Perjalanan yang lancar. Hanya dua kali beristirahat, sekadar minum dan membuka makanan dari Indah. Sebelum zuhur, mereka sudah berada depan rumah kakek Rahmat yang baik hati.
Menjelang malam, Dani dan Fian segera memasukkan motor-motor. Milik Ray, Dirga, dan Dani. Sementara Ray dan Dirga tengah membantu kakek Rahmat mengiris kubis dan wortol tipis-tipis dengan pisau dapur. Bahan-bahan yang akan dicampurkan dengan terigu untuk dibuat adonan bala-bala buat dijual esok pagi.
“Kakek punya cerita...” kakek Rahmat mulai berucap.”Kalian... mau dengar cerita hantu di sekitar sini?”
“Boleh, Kek,” jawab Ray.
“Mau banget, Kek!” Fian tampak semangat. Cerita-cerita kakek Rahmat seputar hantu-hantu sekitar sini, suka seru dan menarik.
“Di komplek F... dari sini, kalau jalan kaki, sepuluh menit sampai.”
“Ya, Kek... ada apa tuh?” tanya Fian sembari tangannya terus mengiris kubis. Ray mengiris wortol.
“Ada rumah kosong...”
“Nggak ada penghuni?”
Ray melirik Fian. “Kalau kosong, berarti nggak ada penghuni!”
“Hemm, Ray... iya, aku ngerti! Yang kumaksud... bukan penghuni manusia tapi... makhluk lain!”
Kakek Rahmat melanjutkan cerita. “Nah, rumah itu karena sudah lama kosong dan pemiliknya tidak pernah datang lagi. Malah, rumahnya sekarang rusak tak terawat. Di luar banyak rumput-rumput liar. Kakek tanamin saja di sana bawang daun, ubi, dan tomat.”
“Lalu?” tanya Ray dan merasa simpati dengan kakeknya Dani yang rajin bertanam meski di tempat yang sempit sekali.
“Rumah itu jadi angker, banyak orang takut lewat situ kalau malam hari.”
“Takut lantaran sudah kosong lama kan, ya Kek?”
“Bukan hanya itu, tapi banyak penampakan di situ!” jelas kakek Rahmat.
“Penampakan apa saja, Kek?” tanya Fian antusias.
“Tak banyak. Hanya mereka suka ada yang kebetulan melihat sosok perempuan setengah baya tengah berdiri di beranda rumah itu!”
“Hiiiii.... pemilik rumahkah? Sudah meninggal?” tanya Fian lagi.
“Tidak jelas. Lantaran, tak ada kabar kematian dari rumah itu. Mungkin, perempuan itu sosok jelmaan hantu yang menghuni rumah itu semenjak dikosongkan pemiliknya dan ditinggal pergi.”
“Nah, berarti penghuni rumah itu sekarang ya perempuan itu, ya Kek?” Fian melirik kakek Rahmat. “Bukan manusia kan, Kek?”
Kakek Rahmat tersenyum bijak. “Kalau manusia, tak mungkin orang-orang yang lewat di situ malam hari, pada takut.”
“Fian jadi penasaran, Kek!”
“Penasaran lanjutan cerita kakek?”
“Ya, itu pasti. Penasaran juga... pingin liat wujud perempuan itu!” ucap Fian.
“Gayamu!” seru Ray. “Orang selama ini, kamu paling penakut! Tidur saja masih dikeloni ibumu!”
“Dikeloni? Enak saja! Fitnah itu, hahaha!”
Kakek Rahmat tersenyum melihat tingkah Fian yang terkadang lucu. “Oh, kakek baru tahu, Fian penakut, ya?”
“Nggak, Kek! Ray bohong!”
“Penakut banget, Kek! Sama si Gembel saja takut padahal tetanggaan!”
“Siapa itu si Gembel?” tanya kakek Rahmat.
“Jin yang menghuni rumah Haji Jajuli!”
“Siapa Haji Jajuli?”
“Kakek, bukankah mau lanjutin cerita sosok perempuan setengah baya yang di rumah kosong itu?” Fian segera mengalihkan pembicaraan semula.
“Baiklah. Kalau besok pagi-pagi, coba kalian jalan-jalan ke komplek F, lewat rumah itu. Tapi kalau siang, perempuan misterius itu tak akan ada, hehehehe...” ujar kakek Rahmat disertai derai tawa.
“Baru saat malam hari, menjelma, ya, Kek?”
“Benar.”
“Kalau malam, Kakek pernah lewat situ?”
“Pernah...”
“Pernah melihatnya?”
Kakek Rahmat menggeleng. “Tidak pernah, Nak.”
Ray tersenyum simpul. “Menjelma jika para penakut yang lewat.”
Istri kakek Rahmat menghampiri. Ia baru dari luar rumah. Dari rumah tetangga. “Kalian kenapa tak ikut Dani sama Fian?”
“Emang mereka pergi ke mana, Nek?” tanya Ray lalu menghentikan pekerjaannya mengiris kubis lantaran sudah selesai.
“Katanya sih, mau jalan-jalan ke komplek F,” jawab neneknya Dani. “Ke rumah dimana kakek Rahmat menanam ubi lantaran Dani mau cabut sendiri ubi di sana.”***