Pengirim Teror
MALAM mulai memagut senja. Dan menenggelamkannya. Lalu merubah birunya langit dengan lumatannya. Malam gelap. Ray dan ketiga temannya mengurung diri di rumah yang berada di belakang rumah Euis Aminah, adik ayahnya Ray. Bukan di belakang, lebih tepat, kedua rumah itu berdempetan karena satu dinding yang membatasi. Rumah itu pun masih satu atap. Ada pun rumah belakang itu kosong tanpa penghuni sebelumnya. Pemiliknya, hanya sesekali datang untuk membersihkan dalam ruangan. Teras pun, hampir saban hari dibersihkan oleh Euis. Hanya, Euis enggan kalau harus membersihkan isi rumah adik iparnya. Tersebab, rumah yang ditempatinya saja, jarang dibersihkan dan dibiarkan kotor berdebu hingga hewan-hewan liar betah ikut menghuni. Termasuk ular yang suka keluar masuk rumah.
Kini, Ray dan ketiga temannya tengah berada di rumah kosong itu. Kunci rumahnya memang ada pada Euis. Dan pemiliknya memperkenankan jika ada tamu yang hendak menginap. Di dalam, ada perabotan sebagaimana mestinya. Tempat tidur, lemari pakaian, kursi tamu, dan perabotan lainnya. Di dapur pun, ada alat-alat memasak lengkap dengan alat makan dan minum.
“Ray, malam ini, kita menginap di rumah ini?” tanya Dani ingin kepastian. Mereka berkumpul di ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. Ray, Dani, Fian, dan Dirga. Tengah duduk di kursi, menghadap meja yang di atasnya ada empat gelas tinggi berisi air teh panas, satu piring ubi rebus dan satu piring singkong goreng. Di luar, gerimis mulai membasahi bumi.
“Ya,” jawab Ray pendek. Mereka semua tiba sehari sebelumnya. Usai mengantar Indah ke rumah orangtuanya, mereka pun kembali dan singgah di rumah Tita, adik ayahnya Ray. Bibinya Ray. Rencananya, mereka hendak melanjutkan perjalanan menuju Cipanas. Namun, Tita melarangnya lantaran Wak Dulah menelepon Tita untuk menahan Ray agar tak segera pergi. Karena orang suruhan Wak Dulah akan menemui Ray. Hendak menyampaikan pesan dari Wak Dulah. Ray pun heran, kenapa Wak Dulah tak menelepon dirinya saja, malah menelepon Tita. Ray menduga, laki-laki tua itu masih marah perihal Indah. Padahal Indah sudah kembali ke rumahnya. Ray pun tak berani mendahului menelepon Wak Dulah. Banyak kekhawatiran karena terkadang Ray acap kalah jika tengah berbincang yang mengarah perdebatan dengan Wak Dulah. Laki-laki sakti itu memang mahir bicara. Banyak orang bilang, pada lidah Wak Dulah tertancap belasan susuk hingga mahir bicara dan bisa menundukkan lawan bicara. Ray akhirnya memilih diam. Dan hanya menunggu ditelepon.
Setelah Tita berhasil menahan Ray untuk tak pulang, Ray pun tak bisa membantah. Ia mengalah dan membujuk ketiga temannya untuk menangguhkan keberangkatannya ke Cipanas. Ketiga temannya mengikuti permintaan Ray yang lebih tepat keinginan Wak Dulah. Terlebih Dani yang tak berani dan takut pada Wak Dulah lantaran Indah yang sempat minggat ke tempat Dani. Meski pada akhirnya, Indah bersembunyi di rumah Bunda Dewi atas bantuan Ray. Tita menawari Ray menginap di rumahnya lagi di malam kedua. Tentu saja, bersama teman-temannya lagi. Namun, Ray memilih mengajak ketiga temannya untuk kembali ke desa sebelah. Desa dimana Indah tinggal. Tak menuju rumah Indah melainkan rumah Euis. Meski, Dani awalnya menolak lantaran teringat dengan jenglot yang ada di rumah bibinya Ray itu.
“Gapapa lah kalau di rumah ini, ketimbang di rumah sebelah,” ucap Dani.
“Rumah sebelah yang mana?” Dirga tak mengerti.
Telunjuk Dani mengarah ke selatan. Ke dinding pembatas. Ke rumah Euis. “Nah, rumah itu!”
“Oh, Bi Euis yang tadi menyambut kita?” tanya Dirga ingin menyakinkan. Dani mengangguk.
“Kenapa memangnya di rumah Bi Euis?” Fian mulai buka suara juga penasaran.
“Ada makhluk menakutkan!” seru Dani.
“Apaan? Kayaknya saban kita menginap di rumah mana pun, kita acap diusik dengan makhluk yang menakutkan. Nggak pernah sekali pun kita merasa nyaman dan aman dari makhluk-makhluk itu,” jelas Fian.
“Nggak mengusik, tapi kitanya yang merasa terusik,” kata Ray. “Coba kalau kitanya tenang, abaikan saja, nggak akan ngapa-ngapain juga ko makhluk-makhluk itu sama kita. Kalau merasa takut, itu hanya perasaan kitanya saja yang terlalu berlebihan.”
Fian geleng-geleng kepala. Malas menangapi ucapan Ray. Diseruputnya isi gelas yang baru saja diambil tangan kanannya. Dirga mengikuti. Tak berapa lama, pintu belakang dibuka oleh Eusi. Perempuan itu masuk sembari tangannya membawa sebakul nasi dan lauk pauk. Untuk makan malam Ray dan ketiga temannya.
“Wah, Bi Euis... kenapa repot-repot?” kata Dani pura-pura sungkan padahal sudah merasa lapar dan memang menunggu-nunggu dari tadi.
“Makan malam sembari mendengar suara hujan, pasti akan makin berselera, selamat makan malam!” kata Euis.
“Makasih, ya, Bi!” ucap Fian sok akrab.
“Sama-sama!” Euis tersenyum. Dirga pun bilang terima kasih. Lalu Dani. Dan terakhir Ray.
“Kalian mau tidur di sini saja?” tanya Euis.
Ray mengiyakan.
Euis melirik Dani. “Apa Dani mau menginap di rumah Bi Euis?”
Dani menggeleng cepat. “Nggak, Bi.”
Euis tersenyum simpul. “Pasti takut sama jenglot!”
“Masih ada kan?” tanya Dani.
“Ada... dan katanya... mau ditemani Dani malam ini,” Euis malah menggoda. Bulu kuduk Dani sesaat merinding. Bi Euis tertawa seraya berlalu.
“Yu, makan!” Ray menyikut lengan Dani. Di luar, hujan bukan hanya gerimis lagi. Namun mulai deras terdengar. Membasahi bumi dengan dahsyat. Langit seperti memuntahkan air yang bergelayut dalam awan-awan sebelumnya. Sesekali, petir dan kilat bersahutan. Saling menyambar.
“Alhamdulillah...” ucap Ray usai makan lalu meneguk air minum yang menghangat. Terasa mengaliri ke dalam perut yang sebelumya dirasa dingin. Ketiga temannya masih menikmati makan yang menurut mereka sangat menggugah selera. Malah Fian sudah tiga kali menyendok nasi dengan centongnya. Nasi dari beras kualitas tinggi, hasil sawah milik keluarga Ray di desa. Apalagi teman nasinya ikan peda merah, goreng tahu, tempe, oseng kangkung, sambal terasi dan lalap terung bulat. Membuat lidah ingin terus mencicipi. Nikmat mereka rasakan.
“Kita bahas soal Indah, ya?” ucap Ray setelah semua temannya beres makan. “Bunda Dewi ada niat ingin mengangkat Indah sebagai anaknya.”
“Bukankah Indah masih punya orang tua lengkap?” kata Dirga.
“Ya.”
“Kenapa diangkat anak sama Bunda Dewi?” Dirga heran.
“Nggak masalah ko, selama orangtua kandungnya mengizinkan.”
“Indahnya sendiri, bagaimana?”
Ray menghela napas berat. “Aku belum sempat bilang sama Indah. Dia kan lagi terbawa emosi sedih. Lagipula, dia baru saja kembali ke rumahnya, bertemu orang-orang yang dicintainya setelah beberapa minggu menghilang.”
“Yang membuatnya sedih itu, pulang ke rumahnya karena berat meninggalkan Dani atau sedih karena mau dinikahi Wak Dulah?” Dirga menatap Ray.
“Ko sedih meninggalkan aku sih,” ucap Dani pelan padahal hatinya ingin bersorak keras lantaran girang jika hal itu benar.
“Kan dia... belahan hatimu!” goda Fian. Dani manyun dan tak menanggapi lagi.
“Menurutku, perasaan sedih Indah yaaa... karena paduan segalanya,” Ray menyimpulkan. “Tapi yang penting, sekarang dia sudah bersama keluarganya. Soal Abah, lambat laun... aku mau bicara padanya agar membatalkan menikahi Indah. Kasihan dengan masa depan Indah. Dia sebenarnya masih ingin melanjutkan sekolah. Namun, orangtuanya yang sempat memutuskan harapannya dan terpaksa Indah harus menerima putusan tak melanjutkan sekolah.”
“Bunda Dewi itu niatnya bagus. Agar Indah bisa meraih cita-citanya dengan menjadi anak angkat Bunda Dewi,” Dani menegaskan ucapan Ray.
“Benar, Dan...” komentar Ray. “Apalagi Bunda kan aktif di dunia pendidikan. Terus, dia nggak punya anak perempuan. Ia mulai sayang sama Indah makanya berkeinginan Indah tinggal bersamanya. Cuma kembali lagi pada Indahnya, mau tidak... menerima niat baik Bunda Dewi. Juga harus izin kedua orangtuanya. Itu yang penting.”
“Ray, kalau menurutku, Indah itu senang ko tinggal bersama Bunda Dewi meski sering ditinggalkan ke Cibiru.”
“Semoga saja, Dan. Kita tetap harus meyakinkan Indah dulu, ya? Kalau sekarang-sekarang, situasinya nggak memungkinkan. Indah masih sedih.”
“Aku sangat setuju dengan rencana Bunda Dewi!” ucap Dani semangat.
“Hemmm, biar kamu dan dia bisa dekat di sana, ya?” sindir Fian.
“Bukan itu!” sergah Dani.
“Iya laaaah, ngaku!”
“Ngaku apa?”
“Indah itu... bikin hari-harimu menjadi indah ‘kan?”
“Hemmmm...”
“Akhirnya, mengaku!”
Dani mengulum sengum. “Ada yang lebih indah dari itu, Fi. Aku ingin lihat Indah bahagia jka dia bisa kembali menjadi siswa SMA. Dan... dia bisa meraih cita-citanya. Selain itu, dengan rencana Bunda Dewi... itu bisa melepaskan Indah dari cengkraman Wak Dulah.”
Di luar, hujan masuh deras. Perbincangan masih seputar Indah dan niat baik Bunda Dewi. Ray pun kembali menegaskan, jika akhirnya Indah mau tinggal bersama Bunda Dewi setelah orang tuanya mengizinkan, Bunda Dewi tak akan mengambil hak penuh pada Indah. Indah akan tetap bisa menemui kedua orang tuanya ke kampung halamannya. Bunda Dewi tak akan memutuskan hubungan seorang anak kandung dengan orang tua aslinya. Bunda Dewi hanya peduli pada Indah dan kehidupannya. Juga menjauhkan Indah dari laki-laki tua model Wak Dulah yang selalu menuruti hawa nafsu semata. Gadis seperti Indah layak dibela dan diberi perlindungan.
Pukul sebelas, hujan mulai reda. Mereka berempat sudah mulai merasakan kantuk. Lalu masuk ke dalam kamar. Berempat merebahkan badan di tempat tidur yang cukup lebar. Dengan lampu kamar dibiarkan menyala karena sinarnya redup.
Dari luar rumah, terdengar langkah kaki. Berjalan mondar-mandir seperti mengenakan sepatu bot. Dani yang terjaga dan mendengar suara itu. Kupingnya kembali dipasang. Langkah itu kembali bersuara. Di sekitar teras. Mungkinkah ada manusia yang hendak mengintai dirinya? pikir Dani mendadak resah. Dilihatnya Ray dan kedua temannya yang lain tertidur di bawah selimut putih bergaris-garis abu-abu.
Beberapa menit kemudian, suara itu hilang. Hati Dani sedikit tenang. Tak segelisah sebelumnya. Ia kembali memejamkan matanya hendak melanjutkan tidur yang tadi terpenggal lantaran suara di luar. Namun kembali dikejutkan oleh suara dari arah kaca jendela. Treeeeeeeeeek. Kaca jendela itu bergetar-getar. Lalu suara garukan. Serupa kuku-kuku tajam. Dani mendesah. Berulangkali ia acap diusik dengan suaar begitu. Teror. Ya, serupa teror di kaca jendela! Kenapa, suara itu kini mengusiknya lagi? Hatinya pun meradang. Ingin protes tapi pada siapa? Semua temannya tampak tak peduli dna lebih asyik berenang-renag di dunia mimpi. Tenang. Tak seperti yang tengah dialaminya. Sendiri terjaga dan diusik lagi suara-suara aneh. Berlanjut teror di jendela! Siapa pengirim teror? Mungkinkah Wak Dulah? Pikirnya disertai wajah laki-laki tua itu berkelebat dalam benaknya. Tengah menatapnya tajam dan hendak marah lantaran dianggap kepergian Indah tempo hari gegara Dani. Dani pun meringis. Ia benar-benar takut. Ketakutan yang menyergap dan membayangkan jika laki-laki tua itu tengah di perjalanan dan hendak menemuinya ke rumah ini. Teror itu... teror itu....
Tubuhnya menelungkup dan memeluk tubuh kurus Fian yang tidur membelakanginya. Suara di kaca jendela menghilang. Lenyap. Dani bersyukur dalam hati. Meski tak bisa dipungkiri hatinya masih cemas. Dicobanya menghela napas. Berusaah tenang. Menyingkirkan kecemasan. Bukan hanya pada makhluk-makhluk kasat mata. Tapi juga pada laki-laki tua sakti yang terkadang mengundang ketakutan pada diri Dani.
Ia pun kembali memejamkan mata. Hening. Di luar sepi. Di daam rumah senyap. Di rumah sebelah... ia tak tahu dan tak mau tahu. Namun, dadanya tetiba berdegup keras. Bayangan perempuan tua berambut panjang putih di rumah yang kini ditempatinya. Hiiiiiiiiiii.... hantuuuuuuuuu!
Sepertinya dari arah rumah sebelah. Telinganya menangkap suara. Kroooook. Kroooook. Lalu bunyi sesuatu yang seperti meronta ingin keluar. d**a Dani berdegup keras. Teringat peristiwa suatu malam kala menginap di ruangan itu. Dan mendengar suara yang sama dengan suara yang kini menyelusup ke dalam gendang telinganya. Kroooook. Kroooook. Kroooook. ***