Suara Gamelan

1687 Words
Suara Gamelan DI KELAS Ray. Pada jam istirahat; beberapa siswa perempuan menceritakan suara gamelan tengah malam yang terdengar oleh siswa OSIS yang tengah menginap di sekolah. Suara yang datangnya dari gedung sebelah. SDN Bina Bangsa. Gamelan itu seperti ada yang menabuhnya. Namun entah siapa sebab hal yang tak masuk akal bila manusia menabuh gamelan di saat orang-orang lelap tertidur terlebih di tengah malam. Meski misalkan manusia itu tipikal pemberani. Lagipula, siapa yang sudi datang ke sekolah pada waktu sekolah sangat sepi dan gelap. “Salah dengar, ‘kali!” seru Ray. “Tidak lah, Ray!” seorang gadis manis melirik Ray. “Aku serius. Yang cerita anak-anak OSIS ko. Masa tak percaya sih?” Ray menarik ujung bibirnya. Sedikit. Tak berkomentar lagi. Beberapa waktu lalu, di kantin pun ada yang memperbincangkan hal yang sama. Perihal suara gamelan. Namun bukan pada malam hari, tapi kala pagi hari, sekitar pukul enam kurang seperempat jam. Anak-anak yang giliran piket biasa tiba di sekolah lebih awal. Lalu, mereka mendengar suara gamelan yang datangnya dari gedung sebelah. Perbincangan perihal suara gamelan yang acap didengar anak-anak OSIS tengah malam maupun pada pagi hari, terbawa ke rumah. Ray merenung kala sudah berada di kamarnya. Seragam sekolahnya masih menempel. Tak didengar teriakan ibunya yang memintanya segera ke dapur. Ikan goreng, kesukaan Ray sudah menantinya. Ray pun terbiasa makan pukul tiga atau lebih saat sudah berada di rumah. “Raaaaaay!” lengkingan suara ibunya. Ray segera melepas seragam putih abu-abunya, lalu menggantinya dengan atasan kaos dan celana pendek. Ia pun menuju ruang makan. Lidahnya ngiler melihat ikan goreng yang besar. Di samping piring ikan itu, ada lalapan terung, kol dan mentimun lengkap sambal tomat yang sangat menggugah selera. “Mana Mia dan Rayna?” tanya Ray. “Ke rumah Bunda Dewi. Tadi Bunda Dewi menelepon. Mau kasih oleh-oleh,” ucap ibunya. Ray makan lahap sendiri. Usai meneguk air putih dalam gelas hingga tuntas, ia menuju ruang tengah. Duduk di karpet dengan kedua kaki berselonjor. Rayna dan Mia baru tiba kala langit mulai gelap. Bersama Bunda Dewi. “Ray, Bunda lagi banyak pekerjaan sekolah,” ucap Bunda Dewi lalu duduk dekat Ray. “Perlu bantuan Ray?” tanya Ray. Selama ini, Ray memang kerap membantu mengetik tugas-tugas Bunda Dewi sebagai guru. Di samping itu, Bunda Dewi di sekolahnya dipercaya sebagai bendahara Bos. Jadi tentu sangat sibuk. “Kamu mengerti apa yang Bunda inginkan,” Bunda Dewi tersenyum. “Siap, Bun. Ray pasti bantu dengan senang hati!” “Keponakan tersayang,” Bunda Dewi mengelus rambut Ray. “Tapi, malam ini harus selesai dan Ray mau kan temanin Bunda di sekolah?” “Sekolah mana?” kedua alis Ray bertaut. “Ya, sekolah tempat mengajar Bunda lah, Ray!” “Yang dekat sekolah Ray?” “Iya, ko kayak baru tahu saja?” Bunda Dewi balik heran. “Hemmm, ya tahu, Bun... hanya ingin meyakinkan.” “Bunda masih mengajar di sekolah itu. Belum pindah ke tempat lain.” “Ya, Bun.” “Jadi, gimana... mau kan?” “Harus malam ini?” Bunda Dewi mengangguk. “Kenapa tidak siang hari?” “Lho, siang kan Bunda mengajar, kamu juga sekolah. Kecuali hari Minggu, tapi kalau hari Minggu kan Bunda pulang ke Cibiru,” Bunda tersenyum lagi. “Oh iya,” Ray menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. “Udah shalat Isya kita berangkat, ya? Kita menginap di sana.” “Hah? Nginap di sekolah?” Ray kaget. “Ngapain pakai acara nginap segala, Bun?” “Kerjaannya banyak.” “Kan sebagian bisa dikerjakan di rumah. Ray mending temanin Bunda di rumah Bunda saja. Gimana?” “Mesin printer di rumah rusak. Kalau di sekolah kan ada tiga. Kertas juga banyak.” Ray ingat dengan cerita teman-temannya di kelas mengenai suara gamelan tengah malam yang datangnya dari bangunan sekolah dasar dimana Bunda Dewi bekerja di sana sebagai guru. Dan malam ini, kakak ibunya itu hendak mengajaknya ke sana bahkan menginap. “Ray, laptopmu gimana?” goda Bunda Dewi. Ray pun ingat dengan laptop yang baru dibelinya itu sebagian uangnya dari Bunda Dewi. Ia tak mau mengecewakan permintaan Bunda Dewi. “Laptop, Bun... ya, tiap hari Ray pakai. Makasih ya, Bun?” “Bunda ada laptop yang jarang dipakai. Rencananya buat Mia.” “Wah, dia pasti senang, Bun. Bunda ini memang benar-benar panutan kami.” “Merayu....” “Tidak ko, Bun!” “Jadi gimana... mau kan nemenin di sekolah, bantuin mengetik dan print, sekaligus menginap di sana? Soal makanan... tenang saja.” Ray tersenyum. “Tapi, Bun.... Ray nanya ya, di sekolah Bunda itu ada gamelan?” “Ya.” “Disimpan di mana?” “Ruang seni.” “Tepat bersebelahan dengan ruang OSIS sekolah Ray.” “O ya? Bunda tidak tahu.” “Ya, nebak saja.” “Ada seperangkat. Bonang, saron, jenglong, kendang, gong. Bukan hanya itu... kecapi, suling, malah ada alat marching band, makanya main ke sekolah Bunda, kan dekat sama sekolahmu. Tetanggaan. Berhimpitan malah hanya terhalang parit kecil,” jelas Bunda Dewi. Kalau marching band, Ray juga tahu karena sekian bulan sekali terdengar anak-anak sekolah dasar itu latihan. Tapi kalau gamelan, ia baru mendengar dari teman-teman di sekolahnya. Itu pun aneh karena suaranya terdengar pada waktu yang tak biasa. Sangat mustahil, pagi-pagi sekali ada yang menabuhnya. Apalagi malam hari. Azan Magrib berkumandang. Bunda Dewi shalat di rumah Ray. Di kamar Rayna dan Mia yang berada di atas. Begitu pun dengan shalat Isya. Bahkan makan malam dulu dengan ikan goreng. Ray tak makan karena perutnya dirasa masih kenyang. “Ayo, kita pergi, Ray!” ajak Bunda Dewi yang sudah bersiap-siap. Ray mengiyakan lalu keluar rumah. Menghampiri motornya. “Apa tak sebaiknya Ray bawa seragam, sepatu dan tas biar langsung pergi sekolah dari sana?” tanya Ratna yang ikut keluar rumah. “Ide bagus!” Bunda Dewi tersenyum. “Biar tidak bolak-balik.” Ray menggeleng. “Tidak, ah. Ray mau pulang kalau bisa sebelum Subuh. Mending ke rumah dulu.” “Ya, udah gimana kamu saja,” Bund Dewi kembali tersenyum. “Susah diomongin, tak mau disaranin yang baik,” Ratna manyun. Ray tak berkomentar. Motor Ray yang membonceng Bunda Dewi tiba depan gerbang sekolah dasar itu setelah lim belas menit. Bunda Dewi turun membuka pintunya karena ia mempunyai kunci cadangan. Setelah pintu terkuak, motor Ray masuk ke pekarangan. Bunda Dewi mengikutinya dengan berjalan kaki. Suara burung hantu menyambut kedatangan mereka. Bulu kuduk Ray sesaat meremang. Gelap. Penjaga sekolah yang terkenal maha malas, acap lalai menyalakan lampu-lampu. Bunda Dewi dengan gesit menyalakan lampu teras. Mereka berdua masuk ruangan guru setelah membuka kunci pintunya. Tentunya setelah lampu di dalamnya menyala. “Di ruang guru tidak begitu menyeramkan,” ucap Bunda Dewi. “Di luar menyeramkan ya, Bun?” “Sangat. Tapi namanya di sekolah ya begitu...” “Di sekitar rumah Bunda juga gitu...” “Sama, ya... ada burung hantu.” “Iya, Bun.” “Takut dengan burung hantu? Bunda sudah biasa dengar. Jadi saat harus malam ke sekolah dan disambut burung hantu, sudah tak merasa takut lagi.” “Hebat, Bunda Dewi wanita tangguh,” canda Ray. “Belum tangguh, Ray selama Bunda masih suka ketakutan kalau berada di rumah itu.” “Tapi, Bunda termasuk pemberani juga.” “Mau gimana lagi, Bunda kan ngajar di sini ya... mau tak mau, suka tak suka harus tinggal di rumah warisan itu.” “Itu saudaranya Ayah Imam jarang menengok rumah itu?” “Karena mereka sibuk di kota, Ray.” “Kalau rumah sering dibiarkan kosong ya begitu... konon, jadi sarang hantu.” “Kamu berani menginap di rumah Bunda kalau misal sendirian?” “Waktu itu berencana menginap... tapi urung...” Ray tak melanjutkan kalimatnya. “Kamu melihat penampakan?” pancing Bunda Dewi. Ray menceritaan pengalamannya kala sendiri di rumah itu. Bunda Dewi menanggapinya dengan tersenyum. Lalu mengalihkan pembicaraan. Dan mulai memerintah Ray mengetik beberapa naskah. “Tapi santai ya, Ray. Sambil ngemil lah,” Bunda Dewi menunjuk dengan jari kanannya ke atas meja. Plastik lumayan besar berisi makanan yang tadi dibelinya dari minimarket terdekat. “Ada toilet ya di ruang ini?” tanya Ray. Matanya melirik sana-sini. “Ada. Mushola juga ada. Kamar buat tidur juga ada. Nanti kita tidur di sana. Ada dua tempat tidur meski ukuran kecil.” “Ray di kursi saja, Bun,” Ray merasa sungkan. “Jangan, mending di kamar saja.” “Tidak. Di sini saja, Bun.” “Boleh, gimana kamu saja,” Bunda Dewi akhirnya maklum. Dua jam mereka asyik mengetik di laptop masing-masing. Sesekali tangan Ray menyusup ke makanan di plastik. “Ray, pintu gerbang belum dikunci!” Bunda Dewi mengingatkan. “O ya?” tatapan Ray tak lepas dari layar laptop. “Mau kan Ray tutup dulu, ya?” bujuk Bunda Dewi halus. Ray menghela napas. Sebenarnya, ia malas menutup pintu gerbang. Harus melintasi pekarangan yang luas. Melintasi beberapa ruangan kelas yang gelap. Terlebih suara burung hantu membuat bulu kuduknya meremang. Tapi, ia tak bisa menolak perintah Bunda Dewi. Tubuhnya bangkit dari tempat duduk sembari menyeret kedua sandalnya dengan kedua kakinya. “Padahal tadi... kenapa kita tak ajak Om Fajar, Bun?” mendadak kakinya berhenti di ambang pintu yang sudah terkuak. “Ah, Om Fajar pasti menolak, dia itu kan pemalasnya minta ampun kalau Bunda minta tolong,” jelas Bunda Dewi. Fajar adik bungsu Bunda Dewi. Ia guru di sekolah ini juga. Guru olahraga. Tinggal bersama Tante Rita, adik ibunya Ray. Bunda Dewi acap meminta Fajar untuk tinggal di rumahnya. Namun Fajar tak mau. Selalu saja banyak alasan. Apalagi bila diminta tinggal di rumah itu tanpa ada Bunda Dewi. Ray pun keluar dan melangkah kaki dengan cepat-cepat menuju pintu gerbang, lalu menguncinya. Tubuhnya berbalik, hendak kembali. Melintasi ruang-ruang kelas yang gelap. Depan kantin, sayup-sayup mendengar gamelan yang ditabuh. Langkahnya dipercepat dan dibukanya pintu ruang guru dengan keras hingga Bunda Dewi yang tengah mengetik terperanjat dan menoleh. Ray melirik jam di dinding. Pukul sebelas. “Jangan jadi anak penakut,” guman Bunda Dewi. Ray tak menyahut. Lalu melanjutkan pekerjaannya. Jemari Ray mulai pegal. Bunda Dewi malah menuju kamar. Tak lama dengkurnya terdengar. Pulas. Ray bingung harus mengerjakan sendiri. Terlebih mesin printer mendadak macet. Tintanya tak mau keluar padahal baru diisi dua jam lalu. Ia gelisah. Memanggil Bunda Dewi tapi hanya dengkur yang menyahut. Pukul nol-nol. Ray mengeluh panjang. Tubuhnya berkeringat. Sayup-sayup, menerebos genderang telinganya. Bunyi gamelan. Meremangkan bulu kuduknya. Rasa takut ditahannya. Kepalanya menggeleng kuat. Tidak, aku tak boleh takut, gumamnya. Ia pun lalu bertekad melawan rasa takut yang menggulungnya. Disingkirkannya seraya melapalkan ayat-ayat suci Al-Quran semampunya. Seperti memiliki kekuatan extra, tubuhnya bangkit, lenyap rasa letih. Terdorong rasa penasaran yang sangat tinggi. Ia ingin membuktikan cerita teman-temannya benarkah makhluk halus itu yang menabuh gamelan? Lantaran jika manusia, itu hal yang mustahil. Bergegas menuju pintu, melangkah cepat ke arah pintu ruang seni. Mendorong pintunya yang tak terkunci. Ruangan yang sebelumnya gelap tiba-tiba menyala. Ray kaget. Siapa yang telah menyalakan lampu ruang seni? Belum habis rasa kagetnya, matanya melotot menyaksikan alat-alat gamelan itu berbunyi. Penabuhnya bergerak sendiri.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD