Drama pagi

1863 Words
Suara adzan berkumandang menghiasi pagi yang sejuk, Hana menggeliat. Tidurnya kali ini seperti ada yang aneh. Hana mengucek mata perlahan, dia membulatkan mata saat baru menyadari berada di ruangan lebar dan mewah. Namun di detik kemudian dia menepuk dahinya. “Ah aku lupa aku sudah menikah,” tutur Hana dengan nada malas, melirik Ziko disana yang masih terlelap. Huhft untunglah Gumam Hana karena ia berhasil bangun lebih dulu dari pada Ziko. Jika pria itu bangun lebih dulu, bisa berabe kan urusannya. “Aw!” Hana membungkam mulutnya sendiri, melihat kearah tempat tidur. Aduh! Sakit sekali! Hana merasakan nyeri di bagian lutut karena semalaman ditekuk. Kakinya seperti patah ketika ingin berdiri. Ayolah hana, ini tidak sebanding dengan yang biasa kau rasakan! Beberapa menit duduk seperti duyung, akhirnya Hana bisa berdiri dan melanjutkan kegiatannya, yaitu menjalankan ibadah subuh. Saking luasnya, Hana seperti maling Hana muter-muter mencari kamar mandi. Namun, akhirnya usahanya tidak sia-sia. Dia menemukan tempat yang seperti kolam renang itu kemudian membersihkan badan dan wudhu. Beres dengan semua kegiatannya, Hana berisiatif untuk membuatkan sarapan. Ia menganggap dirinya tidak lebih dari seorang pelayan disini, memang benar bukan? Tidak peduli Ziko akan memakannya atau tidak. Yang penting aku sudah melaksanakan tugasku dengan benar. Gumam Hana bersemangat, memberanikan diri keluar kamar dan mencari dapur. Kaki Hana sampai pegal berjalan di rumah yang luas ini. Entah apa tujuannya orang itu membuat rumah se besar taman wisata ini. Huh Seorang pelayan membungkuk melihat kedatangan Hana. Mereka terkejut Istri tuan mereka keluar sepagi ini, ditambah ketika Hana berhenti dan berbicara padanya. Membuat pelayan tersebut semakin tegang. “Permisi," ucap Hana sopan sambil menatap wajah pelayan yang sedari tadi membungkuk. Kau ini cantik sekali. Gumam Hana, menatap gadis yang memakai pakaian pelayan itu terlihat sangat cantik dan manis. “Iya, Nona. Ada yang anda butuhkan?” jawabnya masih dengan posisi yang sama. “Bisa kau tunjukkan dapur padaku?” pinta Hana dengan sangat ramah. Pelayan tersebut menggenggam sapunya kuat, tubuhnya menegang. “Apa kau bisa tunjukkan dapur padaku?” ulang Hana ketika melihat pelayan itu malah bengong. “Disana nona.” Sebuah tangan mengarah sopan ke sudut kiri dari tangga. Ada apa dengan nona ini, kenapa dia menanyakan dapur? Atau koki disini akan dipecat karena nona lebih dulu bangun dibandingkan dengan hidangan sarapannya. “Mari saya antar, Nona,” tuturnya, Hana tersenyum dan mengikut di belakang. Matanya menangkap meja besar dengan beberapa bangku disana. Besar sekali, apa disini banyak orang? Tubuh pelayan tadi semakin bergetar ketika Hana menatap meja kosong di samping mereka. Benar dugaanku, matilah kau Ridwan! (nama koki dirumah utama). Gumam pelayan itu. Hana melanjutkan langkah menuju dapur setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan tadi. Matanya berbinar melihat dapur dirumah ini, ternyata tidak hanya kamar dan kamar mandi saja yang luas. Dapur disini pun begitu luas. Hana semakin bersemangat memasak melihat dapur yang begitu luas ditambah dengan fasilitas yang kumplit, Hana menghampiri seorang pria berbaju putih lengkap dengan toque blances di kepalanya. Mirip seperti dapur restoran, topi itu … hmm aku merindukan topiku. Lirih Hana. “Permisi.” Ridwan berbalik saat seseorang menyapanya, betapa terkejut dirinya mendapati seorang gadis adding sudah ada di belakangnya. Ridwan sedikit mendapat kabar dari Pa Tri jika tuan muda sudah menikah. Tubuh Ridwan semakin berkeringat ketika ingat jika gadis asing yang tidak memakai baju pelayan ini pasti istri tuan muda. Lagi pula, pelayan mana yang mau mati hanya karena berani masuk ke dapur selain istri Tuan Ziko. “Iya, Nona, ada yang bisa saya bantu?” jawab Ridwan langsung menundukkan pandangannya. “Saya ingin memasak sarapan untuk Tuan, bolehkah?” tanya Hana lembut, Ridwan sampai lemas mendengarnya. Namun di detik kemudian ia sadar, ucapan nona ini aneh. Ada apa? Apa aku akan segera dipecat? Gumam Ridwan ketakutan, tidak biasanya ia tidak menyiapkan sarapan untuk tuan Ziko. Saking terkejutnya Ridwan bahkan tidak merasakan panas ketika tangannya menyentuh wajan. Hana yang melihat hal tersebut terkejut dan kelimpungan. “Tuan, tangan anda!” teriak Hana, refleks meraih tangan Ridwan agar menjauh dari kompor membuat Ridwan semakin mati berdiri ketika disentuh oleh anggota keluarga Pernanda Wijaya. Memang siapa dirinya, Pa tri dan sekertaris Roy saja tidak berani menyentuh kulit dari setiap anggota keluarga di mansion ini. “Maaf nona, maafkan saya. Kumohon maafkan saya, jangan hukum saya,” pinta Ridwan sudah tidak karuan. Tubuhnya membeku ketika menangkap sepasang mata yang ternyata sedari tadi menatap kearahnya. Demi janda kekasihku, kumohon selamatkan nyawaku dari singa ini. Ridwan berdoa penuh harap, meski tak ada harapan jika sudah melakukan hal fatal di dalam mansion ini. ”Apa yang anda ucapkan , Tuan. Aku yang seharusnya minta maaf, apa anda tidak apa-apa?” Hana yang belum menyadari kehadiran seseorang dibelakangnya terus saja menghawatirkan koki tersebut, karena sebagai koki dia juga pernah hal tersebut. Sangat nyeri dan bahaya jika dibiarkan. “Aku akan mengompresnya,” ujar Hana lagi. Nona, kumohon diamlah! Batin Ridwan menjerit, memejamkan matanya kuat-kuat. Hana berbalik hendak mengambil batu es. Namun, bugh … tubuhnya menabrak d**a seorang pria yang sedang menatapnya dengan wajah yang sangat menyeramkan. Hana terkejut, dia langsung menundukan pandangannya. Tuan Ziko, sejak kapan dia ada disini? Wajahnya merah padam dihiasi rahang yang sangat Nampak jelas. “Kurung dia di ruangan pendingin!” Ziko berbicara tanpa mengubah ekspresi wajahnya kemudian pergi, membuat Hana dan Ridwan terkejut bukan main. “Baik, Tuan," jawab Pa Tri sigap. “Tuan, tidak! Kumohon maafkan aku!” Hana berbicara sambil mengikuti Ziko, mensejajarkan langkahnya yang kecil. Tanpa mau menjawab Ziko terus berjalan, menghiraukan ucapan Hana dan meninggalkan Ridwan yang sudah setengah sadar karena mendengar hukuman yang baru saja ditimpahkan padanya. “Nona! Kau sangat baik, tapi karena kebainkamu aku harus menanggung semuanya!” lirih Ridwan sambil menatap kepergian sepasang pengantin baru tersebut. Sekertaris Roy yang baru tiba dirumah utama dibuat terkejut mendapati Ziko yang baru keluar dari dapur. Hal yang tidak pernah sekertaris Roy lihat lagi semenjak 5 tahun lalu. “Selamat pagi, Tuan muda.” Sapa Sekertaris Roy sambil membungkuk hormat. Ziko tak menjawab, dia terus saja berjalan menuju meja makan yang sudah terisi banyak makanan. Eh, sejak kapan makanan itu ada? Sekertaris Roy menarik kepala kursi disusul dengan Ziko yang duduk disana. Hana tak mau ambil pusing darimana datangnya makanan ini, dia lebih memilih menghampiri Ziko dan berdiri disampingnya. “Duduk dan makanlah!” ucapan dingin Ziko menghentikan Hana yang ingin memohon. Di tambah dengan tatapannya yang mematikan membuat Hana langsung menurut. Duduk di samping Ziko. Hana masih terdiam ketika Ziko juga terdiam tak junjung menyantap makannya. Bukankah tidak sopan jika kita makan lebih dulu dari sang pemilik rumah? “Apa nona sudah membaca buku yang saya berikan?” Sekertaris Roy berbisik membuyarkan lamunan Hana. Buku? Buku tebal dan aneh itu? Hana menatap Sekertaris Roy tak percaya. Benarkan dirinya harus benar-benar membaca seluruh isi buku itu dan menjalankannya sesuai apa yang tertera di sana? Ah, yang benar saja. Seperti mengetahui apa yang di pikirkan Hana, Sekertaris Roy mengangguk. Hais! oke baiklah, jadi anda mau dilayani tuan. Hana berdiri kemudian menyajikan makanan di atas piring dihadapan suaminya. “Selamat makan, Tuan,” ujar Hana lembut, untung dia sudah membaca ya walau baru bagian awal. Disana tertera jelas jika istri harus menyajikan makanan pada sang suami dan mengucapkan selamat makan. Cih! Banyak drama sekali rumah besar ini. “Hmm,” jawab Ziko dingin dan langsung menyantap makanan yang di sajikan. Hana ikut mengawali sarapan, namun tak sengaja matanya melirik Pak Tri yang sudah berdiri di samping Sekertaris Roy. Pa Tri, kau sudah disini? Koki itu… apa yang kau lakukan pada dia paman? Gumam Hana cemas di selang sarapannya. Beberapa kali Hana menatap Ziko yang menyantap sarapannya dengan tenang. Pria ini sangat tampan. Tapi kemana keluarganya? Apa aku mempunyai mertua atau adik ipar? Gumam Hana tapi tidak berani mengutarakan pertanyaannya. Tak butuh waktu lama, Ziko menyudahi sarapannya. Dengan cepat Hana mempercepat gerakannya, menghabiskan makan kemudian mengantar Ziko hingga ke depan pintu utama dan sudah pasti sesuai aturan yang tertulis di buku itu. Ziko terdiam ketika mereka sudah tiba di pintu utama. Oke, baiklah jadi ini batasku. Hana tersenyum semanis mungkin kepada suaminya. Menyalami tangan Ziko dan menunggu hingga mobil yang ditumpangi tuan muda itu hilang dari pandangan. Hana berbalik dan menemukan Pa Tri masih berdiri di belakangnya. Seketika ingatannya kembali pulih. “Pa Tri, apa koki tadi baik-baik saja?” tanya Hana penuh dengan kekhawatiran, hukuman yang di layangkan Ziko sangat tidak masuk akal dan manusiawi. “Sebaiknya anda tidak bertanya lagi jika tidak ingin dia di hukum lebih dari itu, Nona.” Pa Tri memperingati, membuat Hana menghembuskan nafas lelah. “Hmm baiklah," jawab Hana lirih, dia merasa sangat bersalah kepada koki itu. Tapi Benarkah dia di kurung di ruangan pendingin? “Ada yang bisa saya bantu nona?” Pa Tri lagi-lagi bersuara dingin dan tegas. Hana terdiam, dia teringat morgan sahabatnya. Laki-laki itu, bagaimana kabarnya ya? Aku merasa sangat bersalah atas kejadian kemarin. “Apa aku boleh pergi bekerja?” “Apa nona sudah ijin sebelumnya?” tanya Pak Tri, Hana menggeleng. “Baiklah, saya akan meminta ijin kepada Tuan Muda terlebih dahulu,” ucapnya kemudian meraih ponsel di sakunya. Hey paman! Jika kau juga harus ijin kepada dia. Lebih baik aku saja yang berbicara padanya tadi. Hana menggrutu, mengingat kalimat yang tertera dalam buku itu. - Melakukan Izin terlebih dahulu kepada Pa Tri dan Sekertaris Roy jika ingin melewati pintu utama. - Melakukan Izin terlebih dahulu kepada Pa Tri dan Sekertaris Roy jika ingin mengunjungi dapur mansion. - Melakukan Izin terlebih dahulu kepada Pa Tri dan Sekertaris Roy jika ingin mengundang atau membawa seseorang kedalam mansion. Dan masih banyak lagi poin-poin yang tertulis dalam buku itu. “Anda diijinkan keluar, Nona," ucap Pa Tri membuyarkan lamunan Hana. “Terima kasih Pa Tri." “Sama sama, Nona." Hana segera bergegas ke kamar, mencari baju yang cocok baginya. Karena ia tidak membawa baju, Hana memberanikan diri keruang ganti, membukanya dan berharap ada baju perempuan yang bisa ia pakai. Terdapat banyak baju perempuan di ruang ganti ini, ya meski lebih banyak baju Ziko di dalamnya. Tapi baju baju siapa ini? Gumam Hana bingung tapi tak mau ambil pusing dan langsung menggantinya. Hana yang sudah bersiap, langsung bergegas keluar karena driver online pesanannya mengabari sudah tiba di depan. Butuh tenaga kuat untuk melewati pintu utama dan pekarangan mansion yang luas hingga akhirnya tiba di depan pagar besar, seorang penjaga menyapa dan membungkukkan badan ketika Hana melewatinya. “Hati-hati, Nona.” Hana tersenyum menyapa kemudian berlari melanjutkan tujuannya. “Ayo, Bang!” Hana menepuk pundak driver grab yang terbengong menatap mansion besar dihadapannya. Driver tersebut nampak kebingungan menatap mobil yang berjejer rapi disana. Punya banyak mobil tapi kok malah naik ojek? Hmm aneh. “Bang!” “Eh iya, Neng ayo.” Sopir mulai melajukan motornya dan bergegas menuju cafe kirana, tempat Hana bekerja. Sepasang mata biru yang sedari tadi menunggu di depan pagar menangkap sesosok wanita pergi bersama laki-laki. “Berapa saham kita disana, Roy?” “25%, Tuan.” “Bagus! Jalan.” “Baik, Tuan.” Sekertaris Roy mulai menancap gas menuju kantor tanpa melewati Hana yang berada di depan mereka. Jalan yang sama karena arah mereka yang searah. Roy melakukan hal itu tanpa Ziko minta, Ziko pun nampaknya ingin mengetahui keadaan nona. Ditandai dengan ketidakprotesan Ziko saat Sekertaris Roy melakukan hal itu. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD