BRAK!
Saking takutnya, aku langsung menutup kembali pintuku dengan sangat kencang, menimbulkan suara yang keras. Aku segera menggeser gorden di jendela untuk tertutup agar dia tidak bisa mengintip dari luar. Aku juga langsung pergi ke pintu belakang, dan segera menguncinya agar guru b***t itu tak bisa masuk.
Tapi, dia tiba-tiba ada di belakangku, berdiri dengan seringaian yang terpampang di wajahnya.
"Ada apa, Biola? Sepertinya kau begitu tegang dan ketakutan? Apakah ada orang yang mengganggumu? Ayo, bilang saja padaku, sebagai gurumu, aku akan melindungimu."
Siapa pun! Kumohon! Tolong!
Aku tidak bisa apa-apa lagi selain merinding ketakutan saat dia berada di hadapanku secara tiba-tiba, ini tidak mungkin, mengapa bisa, padahal aku yakin pintu depan maupun jendela sudah terkunci semua, pintu belakang pun baru saja kukunci, tapi kenapa guru b***t ini bisa ada di dalam rumahku, dia masuk lewat mana? Apakah dia semacam arwah, begitu? Lupakan!
Pokoknya, aku harus mencari cara agar terhindar dari guru b***t itu, ayo berpikirlah! Cari cara agar dia berhenti menggangguku! Seringaian pada wajahnya semakin lebar, guru b***t itu mendekatiku pelan-pelan, dia mengangkat kedua lengannya berusaha memelukku, aku segera memundurkan langkah untuk tidak masuk ke dalam pelukannya.
Ini menjengkelkan, aku benci situasi seperti ini! Aku benar-benar kesal, dan sedetik kemudian mataku menemukan sebuah benda yang pas untuk memukul guru b***t itu. Benda itu adalah raket badminton, yang menggantung di tembok sampingku, aku langsung mengambil benda itu dan kugenggam erat-erat dengan bergaya seperti orang yang hendak memukul siapa saja, berusaha menakut-nakuti guru b***t itu, melihatku begitu, bukannya takut, dia malah tersenyum.
"Ya ampun, Biola," ucapnya dengan menghembuskan napas. "Apa-apaan itu? Mengapa kau mengambil sebuah raket? Untuk memukulku? Itu tidak mungkin, kan? Aku datang ke sini bukan untuk menyakitimu, lho."
"ENG!" Karena tidak bisa bicara, kurespon perkataannya dengan eranganku untuk memberikan isyarat kalau aku sangat marah padanya. Tapi anehnya, dia tetap saja tersenyum padaku padahal aku sudah memasang wajah jengkel setengah mati padanya, sebenarnya apa yang ada di pikirannya sampai tega melakukan hal ini pada gadis cacat sepertiku!
Selemah-lemahnya diriku, aku tetap tidak tinggal diam saat dipojokkan begini, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk bertahan menghadapi guru b***t itu, dan kalau bisa, aku ingin membuatnya menyesal karena melakukan hal semenjijikan ini padaku.
"Baik-baik, aku paham sekarang," Guru b***t itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan menyunggingkan senyuman kecil. "Kau berpikir kalau aku akan melecehkanmu lagi, kan? Mana mungkin, Biola. Percayalah, lagipula, aku sudah berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama padamu, kan? Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari diriku."
Tapi, kata-kata dengan ekspresi wajahnya saling bertolak belakang, dia memang mempunyai niat untuk melecehkanku lagi, dan yang lebih parahnya, dia akan melakukannya di rumahku! Dari mana dia tahu kalau aku selalu sendirian di rumah pada siang hari, aku yakin, dia pasti sudah mencari informasi mengenaiku sampai ke akar-akarnya, atau mungkin, selama ini dia memata-mataiku?
Ini mengerikan!
Membayangkannya saja hampir membuatku ingin muntah. Tidak akan kubiarkan dia merenggut kesucianku! Akan kubuat dia menyesal seumur hidup!
Kuayunkan raket itu ke kepalanya dan, BUG! berhasil mengenainya, guru b***t itu memegangi keningnya yang kesakitan karena telah kupukul.
"Wow, kau jadi semakin berani, ya, Biola," Senyumannya sedikit pudar, matanya melirik tajam ke arahku, sepertinya dia sedikit tak terima karena telah dipukul olehku. "Sesuai sistem keadilan, aku juga akan memukulmu agar kita bisa impas, kau sepakat, Biola?"
Jika dia benar-benar akan memukulku, aku jadi sangat takut, bayangkan saja, pasti rasanya sakit ketika kita dipukul oleh pria dewasa, bagaimana ini! Aku jadi takut!
"ENG!" Tapi aku langsung berubah pikiran, kuayunkan lagi raketku ke arah kepalanya dan,
PAK!
Pukulanku berhasil dihentikan, tangannya langsung meremas pergelangan tanganku, membuat pergerakanku terhenti. Disitulah aku melotot kaget, ini bahaya, aku harus segera melepaskan lengan kananku yang kini sedang diremas oleh guru b***t itu, tapi bagaimana caranya?
Remasannya sangat kuat sampai aku merintih kesakitan, dan perlahan-lahan jadi semakin kuat dan kuat, hingga rasanya pergelangan tanganku seperti diikat oleh tali dengan begitu kencang.
"ENG!" Aku mencoba menarik lenganku tapi percuma saja, usahaku tidak ada artinya, remasannya terlalu kuat untuk seorang gadis sepertiku.
Sakit! Aku tidak kuat lagi! Kumohon lepaskan! Lenganku kesakitan!
"Bagaimana? Kau sudah siap untuk kupukul, Biola? Itulah akibatnya jika kau membangkang pada gurumu sendiri." Selagi tangan kirinya meremas pergelangan lenganku, guru b***t itu mengepalkan tangan kanannya untuk bersiap-siap memukulku.
Namun seketika wajah guruku jadi pucat, matanya melirik ke sesuatu yang ada di belakangku, remasan kuat yang dia berikan pada pergelangan lenganku jadi mulai lemas dan dilepaskan, kemudian mulutnya menganga, seperti orang yang kaget pada objek yang ada di belakangku.
Aku jadi mengerutkan alis, ini aneh, memangnya ada apa sampai guru b***t itu menghentikan aksinya padaku, apakah ada hantu di belakangku? Mana mungkin, kan? Lagipula ini masih siang walau di luar sedang hujan. Karena rasa penasaranku semakin tinggi, aku pun memantapkan diri untuk menengok ke belakang, memeriksa apa yang membuat guru b***t itu ketakutan.
Astaga!
Ini lebih mengerikan! Ada sesosok wanita berambut hitam panjang dengan memakai baju gaun serba warna hitam dan mukanya tidak terlihat karena tertutupi oleh rambutnya, kepala wanita itu memiring sambil wajahnya mengarah ke guru bejatku.
"Berhentilah... Wahai manusia kotor!" rintih wanita itu dengan nada yang sangat menyeramkan. "Berhentilah menyakiti TUANKU!" Tiba-tiba suaranya semakin keras.
"Si-Siapa wanita jelek ini, Bi-Biola!?" tanya guru b***t itu padaku dengan tergagap-gagap karena ketakutan. Walau dia bertanya pun, aku tetap tidak menjawabnya, dan meskipun aku bisa menjawabnya, aku tetap tak tahu siapa wanita menyeramkan itu.
Padahal aku masih heran mengapa guru bejatku bisa masuk ke dalam padahal semuanya sudah terkunci, dan sekarang? Ada lagi orang yang seenaknya masuk ke dalam rumahku! Sebenarnya, apakah rumahku ini mudah sekali untuk dimasuki orang lain? Mungkin aku harus memeriksanya lagi, mungkin saja ada tembok atau genting yang berlubang, yang lubangnya muat untuk ukuran manusia.
Tapi lupakan dulu soal itu! Aku jadi penasaran apa tujuan wanita itu masuk kemari, lagipula aku sama sekali tidak mengenalnya. Apakah dia adalah hantu penghuni rumahku yang menunjukkan wujudnya?
Tapi, baru saja dia berteriak pada kami untuk berhenti menyakiti 'tuannya', namun, siapa 'tuan' yang dia maksud? Dan siapa yang dia teriaki? Apakah aku atau guru b***t itu? Kami berdua jadi sama-sama bingung dan kaget, tentu saja, ketakutan juga.
Lalu, kedua kakinya yang telanjang melangkah mendekati kami berdua, suara langkahnya begitu menyeramkan, dan bunyi napasnya yang kembang-kempis menjadi musik latar yang begitu mengerikan.
"Kau!" Wanita itu menunjuk ke arah guru b***t, kali ini aku bisa melihat wajahnya, dia memiliki paras wajah yang lumayan cantik namun matanya begitu merah seperti bunga mawar. "Pergi dari sini... Atau kubuat kau MENDERITA!"
Aku dan guru b***t itu terkejut secara bebarengan saat wanita itu nada suaranya jadi membentak di akhir kata, membuat jantungku jadi dag-dig-dug tak karuan. Dia mengancam guru b***t itu tapi atas tujuan apa? Apakah dia berniat menolongku? Tapi memangnya dia siapa? Aku tidak ingat punya tetangga seperti dia? Dan dari mana dia datang?
"Ba-baik! Ak-Aku akan pergi dari sini! Jad-jadi, jangan sakiti aku! Ny-Nyonya!"
Setelah mengatakan itu, guru b***t langsung lari terbirit-b***t keluar dari rumahku dan pergi entah kemana, aku senang, sih, pria itu pergi, tapi sekarang, tinggal aku sendirian di sini yang sedang bersama wanita misterius ini.
Apa yang harus kulakukan!?
"Tenanglah, Biola..." kata wanita itu dengan pelan. "Kau tidak perlu takut padaku, aku tidak akan menyakitimu."
Walau dia bilang begitu pun, tetap saja aku takut, soalnya kedatangannya yang tiba-tiba dan penampilannya yang menyeramkan membuatku enggan untuk mendekatinya.
Ingin sekali rasanya aku bilang 'siapa kau?' tapi tidak bisa, andai saja aku bisa berbicara. Mungkin wanita itu akan menjawab pertanyaanku, aku penasaran pada asal-usulnya.
"Aku tahu, kau pasti ingin tahu siapa diriku, kan? Kau penasaran mengapa aku tiba-tiba muncul di belakangmu, kan? Maaf jika aku membuatmu ketakutan, Biola. Aku bukan hantu atau sejenisnya, juga bukan penjahat atau pun pelindungmu, aku hanyalah... Sun."
DEG!
H-Hah? Tadi dia bilang apa? Sun? Maksudnya, Sun kucingku? Apa sih yang dia bicarakan? Wajahku langsung dihiasi dengan ekspresi keheranan, bingung untuk mencerna kata-katanya.
"Dilihat dari mukamu, aku tahu, kau pasti tidak mengerti pada ucapanku, kan? Biola?" Wanita itu tersenyum tipis padaku, lalu dia melanjutkan penjelasannya. "Maksudnya, aku adalah Sun, kucing peliharaanmu yang selama ini tidak suka makanan anyir dan lebih suka makanan manis, yang selalu mengesekkan bulu-bulu halusku pada pergelangan kakimu, juga yang selalu mengeong ketika sedang lapar."
Sekarang, aku paham. Jadi singkatnya, dia itu adalah Sun, kucingku.
Tapi mengapa bisa dia jadi seorang manusia?