Anindi kini berjalan mondar mandir tak tenang di dalam kamarnya. Ruangan persegi dengan ukuran tiga kali empat meter yang menjadi zona nyamannya di rumah ini. Tapi kali ini, dia sama sekali tak merasa nyaman berada di dalam sini.
Masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Sakha dan keluarganya baru saja pergi sekitar sepuluh menit yang lalu. Meninggalkan shock yang luar biasa untuknya dan untuk keluarganya.
Entah apa yang merasuki Pak Anto, Papanya Sakha sehingga bisa - bisanya mengusulkan hal tak masuk akal begitu. Dia, Anindi, harus menggantikan Kakak kembarnya,.Anita, untuk menikah?! Dan yang paling mengejutkan, calon suami Kakaknya, Sakha, menyetujui usulan tersebut!
Ini menikah! Bukan mau ambil kupon BLT, masa digantiin, sih?!
"Lebih baik seperti ini daripada menanggung kerugian moral dan material." Begitu kata Sakha tadi.
Anindi geram. Apa yang mereka pikirkan cuma reputasi dan uang saja?! Di sini ada perasaannya! Kenapa mereka nggak memikirkan itu?! Dia juga punya pernikahan impian versinya sendiri. Bersama dengan pria penyabar dan penyayang yang menjadi partner hidupnya, lalu bahagia hingga maut memisahkan. Meski partnernya masih belum ada sampai sekarang.
Dia amat kalut sampai dia lupa mandi. Tau - tau adzan Maghrib sudah berkumandang, membuatnya sadar waktu sudah banyak berlalu dan terbuang sia - sia karena dia nggak melakukan apapun selain overthinking sendiri.
Dia keluar kamar untuk menuju ke kamar mandi saat berpapasan dengan Bunda. Mereka saling tatap dalam diam. Tadi sih, Ayah Bunda belum menjawab apapun tentang usulan gila keluarga Sakha. Anindi masih punya harapan untuk tak terlibat dalam kisah picisan saudaranya jika orang tuanya menentang hal tersebut.
"Bund..."
Bunda berjalan memeluk Anindi. Anindi menyambut balutan kehangatan dan kasih sayang itu dengan senang hati.
"Bunda, ini nggak beneran, Kan? Kak Ita bakal balik kan, Bun? Nindi nggak bakal nikah sama Mas Sakha, kan?"
Bulu kuduknya berdiri kompak saat memikirkan kalau dia akan menikah dengan Sakha. Amit - amit!
Bukan karena Sakha jelek, gendut, pendek dan sebagainya, Sakha secara fisik amat sempurna. Tinggi, ramping, berbadan liat dan ganteng. Punya wajah dengan rahang dan hidung yang tegas, tatapan mata yang tajam dan senyum menawan dari sepasang bibir penuh itu.
Masalahnya Sakha sama sekali bukan tipenya. Tipe Anindi seperti apa? Entahlah. Secara fisik dia tidak punya kriteria. Hanya saja, dia suka kalau partner hidupnya nanti punya sifat sabar, penyayang, pekerja keras, murah senyum, pengertian dan bijaksana. Dan hal - hal tersebut yang tidak dia temukan dalam diri Sakha.
Tentu saja Sakha punya sifat - sifat di atas, saat masih bersama Anita. Tapi tentu naif sekali jika mengira Sakha akan memperlakukan dia dan Anindi sama. Jika semua ini benar akan terjadi, dia cuma seorang pengganti saja.
Pelukan Bunda di tubuhnya mengetat sebentar sebelum akhirnya dilepaskan.
"Bunda minta maaf, belum bisa jadi Bunda yang baik buat Nindi. Nindi bantuin Bunda sama Ayah, ya."
Anindi mengurai pelukan mereka dan memandangi Bundanya dengan mata berkerut. Bentar ini maksudnya...?
"Bund, Anindi nggak bisa! Gimana nanti kalau Kak Ita pulang?! Kak Ita pasti sedih karena Mas Sakha ternyata sudah nikah sama perempuan lain. Terlebih perempuan itu Nindi, saudaranya." Nindi berusaha menjelaskan. Mencoba mengembalikan akal sehat Bunda.
Tapi Bunda kembali menggeleng, matanya sudah berkaca - kaca lagi. Perasaan Anindi jadi tak enak. Ingin rasanya dia pergi dari sana, tak ingin mendengar apapun yang akan dikatakan Bunda. Menolak percaya bahwa Bunda setuju dengan ide konyol keluarga Sakha.
"Anita pergi, Nak. Untuk waktu yang lama. Dia melepaskan Sakha, memintanya menunggu sampai dia kembali jika masih ingin melanjutkan rencana pernikahannya."
"Nah! Kak ita bilang mau pulang kan, Bund?!" Anindi bertanya putus asa. "Kak ita bakal pulang, jadi mereka masih bisa menikah."
Lagi - lagi Bundanya menggeleng. Mengikis harapan Anindi.
"Anita pergi untuk waktu yang lama, Nak. Tiga tahun, itu kalau semuanya berjalan lancar. Dan kamu dengar sendiri apa kata Pak Anto tadi, mereka nggak mau menunda acaranya. Semua vendor sudah 80%. Karena ini musim rame menikah, pembatalan last minute nggak akan dapat r****d. Terlebih, beberapa undangan untuk kenalan dan kerabat yang penting sudah dikirimkan." Bunda menjelaskan panjang lebar.
"Jadi Nindi...."
"Tolong Bunda dan Ayah. Gantikan Kakakmu naik ke pelaminan. Jadilah pengantin Sakha."
***
Dia mengeluarkan sepeda listriknya dengan lesu. Semalaman dia mencoba mempengaruhi Ayah dan Bunda untuk membatalkan niat mereka tanpa hasil.
Dari mulai bicara logis sampai nangis bombai pun semua dilakukannya. Dia benar - benar nggak ingin menikah dengan Sakha. Ada hal lain yang membuatnya tak ingin dekat dengan pria itu selain fakta bahwa dia adalah kekasih Kakaknya. Dia selalu tak nyaman saat ada Sakha. Seperti... Takut, mungkin? Terintimidasi? Yah, perasaan - perasaan semacam itu.
Dia sudah akan mengayuh sepedanya pergi bekerja saat sebuah mobil yang sudah dikenalnya memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia menelan ludah pahit.
Sakha.
Pria itu turun dari mobilnya, tubuhnya yang tinggi dibalut celana bahan, kemeja serta jas berwarna gelap itu menjulang tinggi. Dengan gerakan pelan seolah malas, dia melepaskan kacamata hitam yang dipakainya sebelum tatapan mereka bertemu.
Mampus gue! Batin Anindi putus asa. Rasanya seperti dia sedang dalam permainan hidup dan mati dan dia terpergok habis melakukan kesalahan yang dia tak tahu apa.
Lututnya gemetaran dan mendadak dia jadi ingin ke kamar mandi karena perutnya mulas saat Sakha menghampirinya dengan langkah panjang.
"Ikut gue."
What the hah! Apa - apaan nggak ada salam senyum sapa mendadak 'ikut gue'.
Tentu saja Anindi menggeleng untuk menolak.
"Hari ini lo harus ikut gue."
"Kalau saya nggak mau?"
"Gue paksa."
"Saya teriak, lapor polisi atas tindakan tidak menyenangkan yang Mas lakuin ke saya."
"Pinter ngomong ya, lo!"
Nggak juga. Dia malah cinderung pendiam dan kalem. Selalu grogi sendiri kalau disuruh ngomong.
"Lo harus ikut gue. Hari ini, mau fitting baju dan ketemu sama fotografer. Banyak yang perlu kita siapin buat acara kita nanti. Kita juga masih harus ketemu pengacara."
Alisnya bertaut. Fitting baju, oke, sih. Fotografer juga. Masih ada kaitannya dengan pernikahan. Tapi pengacara?!
"Pengacara? Buat?" Dia bertanya lagi setelah mendapat jawaban berupa anggukan dari Sakha.
"Siapin prenup."