UNA
Anindi mengernyit heran melihat rumahnya yang sepi. Sama sekali tak sebanding dengan keadaan di luar, di mana ada beberapa mobil yang terparkir di sana. Mobil - mobil yang dia kenal betul siapa pemiliknya. Salah satu mobil yang terparkir di sana adalah mobil orang tuanya, bukan mobil mewah. Hanya mobil sejuta umat merk A yang hampir dipunyai juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Lalu ada mobil Br*o, mobil mungil yang biasa dipakai Kakak kembarnya Anita untuk bekerja. Mobil yang sebenarnya adalah hasil patungan mereka berdua, tapi dia nyaris tak pernah menggunakannya karena selalu saja digunakan oleh Kakaknya.
Ada juga mobil family sport mewah yang dia tahu dimiliki oleh Sakha, pacar kakaknya, Anita. Tunangan. Eh, calon suami. Lalu satu lagi mobil merk M, yang dia sama sekali asing, entah milik siapa. Asumsinya, di rumahnya pasti ramai karena kedatangan banyak tamu.
Dia memarkirkan sepeda listriknya di garasi dan yang dilihat di dalam rumah sama sekali di luar bayangannya. Rumah sepi. Bahkan tak ada orang di ruang tamu. Dia menyambangi juga ruang tengah, ruang makan dan bahkan halaman belakang. Sama, tak ada apapun. Anindi bertanya - tanya, apakah sekarang rumahnya jadi penitipan mobil? Tapi rumahnya sama sekali tidak dekat dengan pasar, mall, ataupun pusat atraksi apapun. Jadi untuk apa mereka menitipkan mobil di rumahnya?
Karena nggak menemukan apapun, dia beranjak ke belakang, ke deretan kamar - kamar di rumahnya untuk masuk ke kamar, membersihkan diri, kemudian beristirahat. Langkahnya terhenti saat melewati master bedroom yang merupakan…. Bukan, master bedroom bukanlah kamar orang tuanya, melainkan kamar Kakaknya, Anita.
Anita menyukai sesuatu yang glamor. Dan karena jasanya juga, rumah ini jadi bisa direnovasi menjadi lebih apik dan layak huni, tidak seperti kandang kuda lagi. Setidaknya begitu yang dulu dibilang Anita. Rumahnya bagaikan kandang kuda reyot yang tak layak huni.
“Yah? Nda?” Anindi memanggil, melongokkan kepalanya dari sela pintu yang terbuka sedikit.
Dia terkesiap dan buru - buru masuk saat melihat Mamanya tersedu di pinggiran ranjang mendekap sebuah pigura, dengan Ayahnya duduk di sisi lain. Sedangkan ada dua orang lainnya duduk di sofa di dekat tembok dengan pandangan tak sabar. Anindi nggak tau itu siapa, Wajahnya seperti familiar tapi dia tak ingat siapa mereka. Di depan jendela, sosok jakung dan tegap berdiri dengan kepala tertunduk lemas; Sakha.
Anindi melesat menghampiri Bundanya. Tak meperdulikan orang lain yang berada di sana.
“Nda? Bunda kenapa? Bunda kok nangis? Kak Ita kenapa?” Tanyanya setelah melepaskan dekapan pigura dari pelikan Bundanya dan menyadari bahwa itu adalah foto kakak kembarnya.
Perasaannya mendadak nggak enak. Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh dan janggal sepagian ini. Seperti mitos yang dipercaya orang - orang akan dirasakan salah satu anak kembar saat salah satu dari mereka mengalami sesuatu. Bahkan sejujurnya, mereka berdua tak pernah merasakan hal - hal yang seperti itu. Dan fakta lain yang lucu adalah, dia dan Anita tidak begitu dekat seperti yang orang - orang pikirkan tentang anak kembar.
Tanpa menjawab apapun, Bunda langsung menghambur ke pelukan Anindi, membuatnya semakin kebingungan. Ini ada apa sebenarnya?
“Tanggalnya sudah semakin dekat. Dan Anita tak ada niatan untuk kembali untuk menikah. Kita harus memikirkan sesuatu, Pak Anto.” Sebuah suara tiba - tiba terdengar memecah kesunyian ruangan yang awalnya hanya diisi oleh isak tangis Bundanya saja.
Ternyata yang bicara adalah calon Mama mertua kakaknya. Tapi apa tadi yang dia bilang? Anita tak ada niatan untuk kembali dan menikah? Omong kosong apa ini?!
“Masih ada waktu sebulan. Itu cukup untuk membatalkan semuanya, kan?” Ayahnya berkata dengan suara berat. Sosok yang tadinya diam di depan jendela menoleh dengan gerakan cepat hingga membuat Anindi kaget dan terduduk dari posisi jongkoknya yang sedang memeluk Bunda.
Apa, sih, batinnya. Ayah pun, aneh. Batal - batalin apanya? Serius ini Kak Nita nggak jadi menikah dengan Mas Sakha? Mendengarnya saja, bagi Anindi terasa seperti mendengar lelucon paling garing dan paling tak masuk akal. Anita dan Sakha adalah dua orang paling bucin yang sudah nggak sabar untuk meresmikan kebersamaan mereka.
“Maksud Ayah dibatalin? Sebagian besar undangan sudah disebar, Yah. Nggak mungkin bisa ditarik lagi. Hampir semua vendor yang dipakai sudah lunas. Bagaimana kami bisa menanggung semua beban dari pembatalan pernikahan ini?!”
“Mas Sakha, tolong, Mas sedang bicara sama Ayah…” Anindi berusaha menengahi karena nggak suka dengan nada suara yang digunakan calon Kakak iparnya itu untuk berbicara pada Ayahnya. Tapi dia langsung mengkeret saat mendapatkan pelototan tanpa ampun.
Apaan, sih. Dibilangin, juga, Anindi menggerutu dalam hati.
Dia tidak dekat dengan Sakha. Malah, dia tidak dekat dengan pria manapun. Rasanya keberadaan mereka tidak membuatnya nyaman sama sekali. Dan dengan kepribadiannya yang kikuk, itu sama sekali tak membantu. Jadi, wajarlah kalau di usianya yang menginjak seperempat Abad ini dia belum juga pernah mencicipi rasanya berpacaran. Mungkin, seperti yang orang bilang, dia itu telat puber.
Anindi berbalik pada Bunda yang menangis semakin kencang di depannya. Dengan panik dia mengusap lengan Bunda, berusaha menenangkannya. “Tapi kamu mau nikah sama siapa, Kha? Anita pergi. Dia bilang dia nggak akan pulang sebelum mimpinya tercapai. Apa kamu mau menunggu?”
Hah? Kak Anita pergi? Kapan? Perasaan tadi pagi mereka masih sarapan bareng di ruang makan? Anindi mengerjap, dalam diam, dia berusaha mencerna sendiri keadaan yang melingkupinya saat ini. Menerka - nerka apa yang sedang terjadi.
“Pembatan pernikahan tak mungkin dilakukan. Uang bukan masalah bagi kami, tapi batal menikah! Rasa malu itu yang tak ingin kami tanggung, Pak Anto! Lagi pula, kita ini sudah amat cukup umur untuk menimang cucu. Berapa lama lagi waktu yang harus saya buang untuk menunggu menimang cucu saya sendiri?!” Mama Sakha menjawab dengan nada tajam yang mendesak. Tak ingin dibantah. Anindi hanya mengerutkan dahinya samar.
“Kami tahu, Bu Retno. Tapi seperti yang Ibu lihat sendiri. Calon mempelai wanitanya tidak ada. Lalu Sakha mau menikah dengan siapa?!” Ayahnya masih tidak mau disalahkan.
Lagipula, di sini Anindi tahu Ayahnya benar. Kalau memang Kakaknya pergi, lalu Sakha mau menikah dengan siapa? Mending dia pergi dari sini dan mulai membuka lowongan untuk menjadi istrinya. Sebulan. Siapa tahu dapat yang cocok banget, kan. Konyol memang, tapi itu solusi, daripada hanya berputar - putar menuntut sesuatu yang tidak jelas begini.
“Pak Anto masih punya anak gadis satu lagi. Wajah mereka tak begitu jauh berbeda. Kita bisa beralasan salah cetak nama nanti saat di KUA. Tapi soal wajah, bukan masalah, bukan?”
Anindi berbalik cepat menatap pada Papa Sakha, pria paruh baya yang baru saja mencetuskan ide tak masuk akalnya.
“M-maksud anda… saya?” Tanyanya tergagap - gagap.
“Apakah Anita punya saudara kembar lain?”