NANA OH NANA - BAB 10

1529 Words
Candra masih terpaku, menatap bayangan Nana yang sudah mulai menghilang. Candra masih merutuki dirinya sendiri yang sudah tega melakukan hal yang tidak senonoh pada keponakannya. Aneh jika dibayangkan, dirinya bisa tergiur dengan keponakannya itu. Padahal sebelumnya Candra biasa saja dengan keponakannya itu. Sewaktu SMP Nana sering menginap di rumahnya pun dia biasa saja, tidak peduli dengan Nana. Sekarang, melihat Nana adalah candu baginya yang setiap hari harus melihatnya. “Aku tidak bisa seperti ini, aku harus menjauh, aku tidak mau merusak keponakanku sendiri, Aku tahu, Nana menikmati apa yang aku lakukan tadi, tapi aku tidak mau merusaknya lebih dalam. Aku tidak bisa mengendalikan nafsuku, jika melihat Nana, tapi aku ingin setiap hari melihatnya,” gumam Candra. Candra merasa tubuhnya semakin basah, karena air hujan bertambah deras. Dia masuk ke dalam mobilnya, dan kembali merenungi kejadian tadi, saat dia melakukan itu dengan Nana. Candra mengusap kasar wajahnya. Ada rasa sesal dan bersalah pada dirinya. Namun, di sisi lain, ada rasa puas sudah bisa menikmati apa yang hanya bisa candra lihat saja. Bau wangi khas tubuh Nana masih menyeruak di indera penciuamannya. Bau khas milik Nana di tangannya pun masih ia rasakan. Candra mengambil ponselnya di saku. Ada notifikasi pesan masuk. Candar tidak menyangka Nana mengirim pesan pada dirinya. “Nana mohon, mulai besok jangan temui Nana. Nana tidak bisa seperti ini terus, Paman. Nana mohon, jangan pernah lagi menemui Nana, kecuali paman ada urusan dengan eyang atau ibu.” Tidak tahu kenapa hati Candra sedikit tercubit membaca pesan dari keponakannya itu. Dia sadar, dia sudah menyakiti keponakannya dengan melakukan hal yang tidak senonoh itu. “Iya, maafkan paman, paman tidak akan menemui kamu lagi, Na. Maafkan paman yang sudah melakukan tindakan yang salah padamu. Kamu baik-baik selalu, Na. Jaga dirimu, maaf beribu maaf paman ucapkan.” Candra meletakan ponselnya di jok sebelahnya. Dia menundukan kepalanya dengan bersandar kemudinya. Candra sangat menyesali apa yang ia lakukan tadi. Candra mengusap cairan bening yang hampir saja keluar dari sudut matanya. Candra melajukan mobilnya untuk pulang. Perasaannya masih saja tidak menentu hingga terbawa ke rumah. Ayu membukakan pintu rumahnya, dan melihat suaminya yang pulang kerja dengan wajah yang lusuh. “Mas, tumben kamu kucel sekali?” tanya Ayu. “Aku capek, aku ke kamar,” ucap Candra dengan langsung masuk ke kamarnya. Candra duduk di tepi ranjang. Dia termenung dengan memijit kepalanya. Dia tidak tahu besok harus bagaimana, rasanya tidak ada semangat sekali, karena dia harus menjauhi Nana. Padahal Nana lah yang membuat moodnya bekerja lebih baik. Candra membuka ponselnya dan menghapus semua chat dari Nana maupun wanita yang lain. Dia tidak mau istrinya tahu soal dirinya yang seperti itu dengan Nana. Candra masuk ke kamar mandi dan membersihkan badannya. Pikirannya masih saja tertuju pada Nana. Dia pun masih saja merasakan wangi tubuh Nana di tubuhnya. “Nana....! kenapa kamu semakin mengganggu otakku saja!” umpatnya dengan kesal dengan mengguyurkan tubuhnya di bawah shower. ^^^ Nana masih saja tidak menyangka, dia mengirim pesan pada pamannya seperti itu. Tapi, memang itu lebih baik, karena Nana tidak ingin terjerumus dalam hal buruk seperti itu. Nana takut, jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Rasa penasaran sangat kuat dalam diri Nana. Iya, rasa penasaran seperti apa rasanya disentuh lawan jenis. Dan, malam ini dia merasakan, meski setengah sadar dia merasakannya. “Mungkin jika bukan paman, aku masih saja mau melakukan lebih, tapi yang melakukan itu adalah pamanku sendiri, aku tidak mau seperti itu, masa depanku masih panjang, aku tidak mau membawa cacat pihak sekolahan kalau perbuatanku seperti ini. Aku benar-benar harus menjauh dari paman, harus!” gumam Nana. ^^^ Satu bulan berlalu, Nana benar-benar tidak pernah bertemu dengan pamannya. Nana berharap selamanya tidak bertemu dengan pamannya lagi. Namun, takdir berkata lain, hari ini adalah hari di mana setiap satu bulan sekali semua keluarga berkumpul di rumah eyangnya, dan menginap di rumah eyangnya. Semua keluarga anak-anak eyangnya dan pasangannya akan berkumupul di rumah eyangnya malam ini, dan tentunya ada Candra yang juga ikut berkumpul dan menginap di rumah eyangnya. Setiap satu bulan sekali pasti ada acara seperti ini di rumah eyangnya. Itu sudah menjadi tradisi di keluarga Nana. Nana membantu asisten rumah tangga eyangnya memamasak untuk makan malam. Malam ini, Nana terpaksa izin tidak berangkat kerja, meski bertepatan dengan malam minggu. Nana menyiapkan masakan yang sudah matang di meja makan. Dia juga menyiapkan piring dan gelas untuk acara makan malam. Malam ini berencana akan nonton bareng film terbaru dengan cucu-cucu eyangnya yang lain. Tapi, Nana tidak suka menonton, dia hanya mengiyakan saja permintaan saudara sepupunya yang lain. Nana mendengar ada suara orang mengucapkan salam. Suara itu sangat Nana kenal. Dia adalah Sekar, anak sulungnya Candra. Saudara sepupu yang sangat Nana sayangi. “Mbak Nana....!” Sekar langsung berbaur memeluk Nana yang sudah selesai menata makan malam. “Hei.... kamu kenapa baru ke sini? Kamu tahu? Eyang itu merindukanmu, Sekar,” ucap Nana dengan memeluk Sekar. “Aku sibuk, kan sebentar lagi mau ujian nasional, Mbak. Jadi Sekar ikut les terus,” jawabnya. “Mana eyang?” tanya Sekar. “Di belakang, sama Budhe Lina, sedang memantau Mba Win memasak,” jawab Nana. “Kamu sama Andi?” tanya Nana. “Iya, sama Andi, sama Ayah, ibu masih di rumah sakit, paling sebentar lagi pulang, dan langsung ke sini,” jawabnya. “Aku menemui eyang sama budhe dulu, Mbak,” ucap Sekar dengan langsung berlalu ke belakang untuk menemui Budhe kesayangannya dan eyangnya. Nana juga akan kembali ke belakang, karena akan membantu Mba Win melanjutkan memasknya. Tapi, langkahnya terhenti, karena mendengar suara laki-laki yang sangat ia kenal mengucapkan salam. “Assalamualaikum.” Suara salam dari seseorang laki-laki yang suaranya tidak asing oleh Nana terdengar. Nana menjawabnya dengan melihat laki-laki tersebut yang menggendong anak laki-laki. “Wa’alaikumussalam,” jawab Nana. “Andi? Kok digendong ayah? Sudah gede masa gendong?” Nana menghampiri Andi yang sepertinya sedang ngambek dan tidak mau turun. “Tuh, disapa Mbak Nana, ayo turun,” ucap Candra. “Enggak!” ucapnya dengan mengeratkan pelukannya pada Candra. “Mbak Nana punya mainan buat kamu, sini sama Mbak, yuk main,” ajak Nana. Dan, Andi langsung menuruti Nana. Dia turun dari gendongan Candra dan ikut Nana ke kamar Nana. Untung saja Nana punya Hot Wheels banyak, karena dia mengoleksinya. Entah kenapa dia suka membelinya, dan ia simpan di lemari tersendiri. Selain mengoleksi beberapa buku fiksi dan non fiksi, dia juga mengoleksi mainan mobil-mobilan berbahan metal itu. Juga mengoleksi Lego yang ia susun dan tertata rapi di lemari koleksinya itu. Setiap habis gajian, Nana selalu membelinya. Dia perempuan, tapi dia sama sekali tidak suka boneka, tidak seperti Sekar, Pita, dan saudarnya yang lain. Yang hobi sekali beli boneka dan tempat tidurnya penuh dengan macam-macam boneka. “Mobil-mobilan Mbak Nana banyak sekali,” ucap Andi. “Kamu mau? Ambil yang mana kamu suka,” ucap Nana dengan menggendong Andi mendekati lemari kaca milik eyangnya yang tidak terpakai, dan ia pakai untuk menaruh barang-barang koleksinya. “Andi mau yang ini sama  ini, ehm... sama ini juga,” ucap Andi. “Oke, Mbak ambilkan sebentar,” ucap Nana dengan mengambilkannya. “Mau mainan di sini atau di luar?” tanya Nana dengan memberikan mobil-mobilan pada Andi. “Di luar saja, main sama ayah juga,” jawabnya. “Ya sudah, Andi main sama ayah saja, ya? Mbak mau bantuin Bi Win masak,” ucap Nana. “Enggak mau, mau sama Mbak juga,” pintanya dengan wajah memelas hingga Nana gemas melihatnya. “Ehm... oke deh, yuk keluar,” ucap Nana menuruti permintaan Andi. Nana padahal ingin sekali menghindari pamannya, tapi tidak bisa karena Andi meminta Nana ikut bemain dengan ayahnya juga. “Aku ingin menghindar tapi Andi seperti ini,” gumam Nana. Nana duduk di karpet yang berada di ruang tengah.  Dia menemani Andi yang sedang bermain. Ada Candra juga di situ. Candra duduk di samping Nana yang sedang asik bermain dengan anak bungsunya. Andi cucu eyangnya yang paling kecil, sedang Nana adalah cucu yang paling besar. Tangan Candra tiba-tiba menggenggam tangan Nana. Nana menatap wajah Pamannya yang memang selama sebulan dia tidak pernah melihatnya, karena dia menyuruh pamannya untuk tidak menemuinya. “Na, maafin aku,” ucap Candra dengan lirih. “Lupakan itu, Paman. Tolong lepas tangan Nana, nanti Andi lihat," ucapnya lirih. Candra semakin erat menggenggam tangan Nana, yang membuat Nana semakin tidak nyaman. Candra melepas tangannya, tapi dia malah lebih dekat dengan Nana. Hasratnya mendorong untuk lebih mendekati Nana dan tangannya tidak mau diam menyentuh pinggul Nana yang duduk di sampinganya. Dia mencari kesempatan untuk dekat dengan Nana. Hingga Nana menjadi risih dan langusng meninggalkan Andi yang sedang bermain, dengan alasan Nana mau ke kamar kecil. “Andi, sama ayah dulu, ya? Mbak mau ke belakang sebentar,” ucapnya. “Oke, jangan lama-lama ya, Mbak,” pinta Andi. “Iya, Sayang,” ucap Nana dengan mencium Andi. Namun, tubuh Nana sengaja ditarik Candra agar dia jatuh ke pangkuan Candra. “Aduh....” Nana jatuh di pangkuan Candra. Dia kesal dengan pamannya yang sengaja mencari gara-gara lagi. Nana mencubit tangan pamannya dan dia langsung pergi menjauh dari pamannya. Nana merasa sangat kesal pada pamannya yang seperti itu. Degub jantung Nana semakin tidak menentu mendapat perlakuan pamannya seperti itu. Bukan apa-apa, dia hanya takut ada orang yang melihat perbuatan pamannya tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD