Candra merebahkan tubuhnya di sofa, setelah Nana memejamkan matanya. Dia akan terus membujuk Nana, agar Nana mau berhenti bekerja, dan setiap hari berangkat dengan dirinya ke sekolah.
“Aku akan terus membujuk kamu, Na. Dan, aku tidak akan melepasmu begitu saja,” gumam Candra.
^^^^^
Nana sudah berada di rumahnya, setelah dua hari dua malam di rumah sakit. Semua keluarga masih membujuk Nana agar tidak usah bekerja lagi di cafe Yuni. Tapi, Nana masih tetap pada pendiriannya. Dia bersikeras masih ingin bekerja. Memang dia tidak membayar sekolahnya, namun dirinya tidak ingin merepotkan saudaranya, yang sepertinya membantu Nana dengn terpaksa.
“Sudah, Na, kamu nurut sama kami. Pakde tidak mau kamu sakit lagi. Kamu harus fokus dengan sekolahmu, apalagi kamu kan dapat beasiswa, jadi kamu harus mempertahan prestasimu, kalau kamu kerja, kamu pasti akan terganggu belajarnya,” ujar Aziz.
“Nana tetap pada pendirian Nana, Pakde. Nana tetap mau kerja!” tegas Nana dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
“Nana tunggu!” Candra menghentikan langkah Nana yang sudah berada di ambang pintu kamarnya.
“Apalagi, Paman?!” tanya Nana dengan kesal.
“Kamu jangan egois, Na. Turuti kami. Kami masih bisa membantu uang saku kamu tanpa kamu harus bekerja,” ucap Candra.
“Nana tidak bisa, Paman. Nana akan tetap bekerja!” jawab Nana.
“Kamu jadi anak jangan keras kepala, Na. Eyang sudah bilang dari pertama kamu masuk SMA, tidak usah bekerja! Eyang sanggup membiayai sekolah kamu. Eyang tidak mau tahu, mulai besok berhenti berkerja, atau kamu tidak usah sekolah!” ancam Eyang.
“Kenapa kalian semua tidak pernah mengerti Nana?!” teriak Nana di depan mereka dan langsung masuk ke dalam kamar.
“Sudah, dia memang keras kepala sekali seperti ayahnya. Besok juga dia akan luluh hatinya. Biarkan dia menenangkan pikirannya dulu. Aku pun khawatir kalau Nana terus bekerja, apalagi pulang malam terus. Aku khawatir belajarnya akan terganggu, terutama kesehatannya, karena sering pulang malam,” ujar Lina.
“Ya sudah, kita tunggu besok saja,” ucap Candra.
Candra sangat ingin sekali Nana berhenti bekerja. Dia akan menanggung uang saku Nana selama Nana sekolah hingga lulus. Dia juga ingin selalu dekat dengan Nana. Senyuman Nana sudah menjadi candu bagi Candra. Apalagi kalau dia melihat di pagi hari, mood kerjanya semakin tinggi.
Candra tidak tahu kenapa dirinya bisa seperti itu dengan keponakannya. Padahal dari dulu dia tidak seperti itu dengan Nana. Dia hanya menganggap Nana sosok bocah yang selalu manja dengan istrinya, dan Nana adalah keponakan kesayangan istrinya.
Ayu memang sangat menyayangi Nana, dari Nana kecil hingga sekarang, Nana pun sering diajak jalan-jalan dengannya. Bahkan saat ada liburan keluarga kecilnya, Ayu selalu mengajak Nana untuk ikut dengannya. Candra pun tidak keberatan akan hal itu, meski kadang sedikit tidak setuju kalau istrinya mengajak Nana liburan, dengan alasan biaya yang ia keluarkan tentunya bertambah.
Sekarang, setelah seperti ini, Candra lah yang ingin sekali Nana selalu dengan dirinya. Dia merayu istrinya untuk membuju Nana, agar Nana tidak bekerja lagi. Ayu merasa lega, karena suaminya memiliki niatan yang sama dengan dirinya, untuk melarang Nana bekerja.
^^^
Nana masih di dalam kamarnya. Dia bersikeras tidak ingin berhenti bekerja. Dia tahu, kalau dia berhenti bekerja, pamannya akan bertambah semena-mena dengannya. Apalagi bibinya sudah bilang, kalau mulai besok pagi dirinya akan diantar jemput oleh pamannya.
“Tidak! Tidak mungkin aku bilang pada bibi soal kejadian semalam dan kejadian sebulan yang lalu setelah dari cafe. Aku tidak ingin bibi dan paman bertengkar. Oke mereka semua baik, tapi jika aku menuruti mereka, paman akan semakin semena-mena denganku,” gumam Nana.
Nana merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sudah tiga hari Nana tidak berangkat sekolah dan tidak berangkat kerja. Dia masih istirahat di rumah. Sebenarnya, dia sudah ingin ke sekolah, tapi Dokter menyuruh untuk istirahat dulu, jadi Nana terpaksa belum berangkat ke sekolah lagi.
Nana melihat ponselnya bergetar, ada pesan masuk dari pamannya. Dia sebenarnya malas mau membukanya, tapi mau bagaimana lagi, dia juga penasaran dengan pesan dari pamannya.
“Na, paman janji, jika kamu berhenti bekerja, paman janji tidak akan macam-macam sama kamu, Na. Paman janji. Sudah, Na, jangan kerja, nurut sama eyang. Kamu gak sayang eyang, kemarin beliau sampai khawatir kamu seperti itu?”
Nana memikirkan pesan dari pamannya. Dia tidak percaya dengan pamannya begitu saja. Janji tidak menyentuh tapi selalu saja seperti itu, diingkari janjinya.
“Kalau paman melanggar janji paman? Apa konsekuensinya?”
Nana membalas pesan pamannya itu. Dia pun tidak mau dibodohi pamannya, karena dia tahu, seorang Candra tidak bisa menahan hawa nafsunya kalau sedang berhadapan dengan perempuan yang ia sukai.
“Paman akan kasih apa yang kamu mau!”
Nana tersenyum kecut melihat balasan dari pamannya. Dia tahu, pamannya pasti sedang mengeluarkan siasat lagi, agar dirinya mau berhenti bekerja.
“Nana mau berhenti bekerja, asal paman tidak usah mengantar jemput aku ke sekolah!”
Nana membalas seperti itu pada pamannya. Nana takut, jika pamannya semakin melakukan hal-hal yang tidak baik pada dirinya. Memang dia butuh uang banyak untuk hal fashion, make-up, dan lainnya. Dia mendapat itu dari uang hasil kerjanya.
“Bagaimana aku berhenti kerja? Aku butuh biaya yang lain. Kalau aku tidak bekerja, nanti aku beli make-up sama baju-baju kekinian uang dari mana? Sedangkan aku hanya di kasih uang yang jumlahnya gak seberapa dari pakde dan paman?” gumam Nana.
Nana melihat balasan dari pamannya. Dia masih tidak percaya dengan balasan dari pamannya.
“Oke, tapi paman akan menunggu kamu di sekolahan kamu, meski paman tidak mengantar kamu ke sekolah. Paman hanya memastikan kamu baik-baik saja.”
“Sudah lah, Na. Apa uang yang paman beri untukmu kurang? Paman memberi tidak seperti Mas Aziz memberi kamu sebulan sekali. Paman memberi uang saku kamu setiap hari. Kamu butuh berapa paman akan penuhi, Na. Na, ini demi eyang. Eyang sudah tua, jangan bikin khawatir eyang, Na.”
“Memang paman sanggup memberi satu kali gajian Nana setiap hari?”
“Dua kali gajian kamu pun paman sanggup. Sudah ya, berhenti bekerja. Paman buatkan surat resign, dan paman akan antarkan ke cafe kamu.”
“Oke, deal!”
“Keluar dari kamar, temui eyang dan lainnya, bilang kalau kamu tidak akan kerja lagi, Sekarang!”
“Pemakasaan!”
“Kalau tidak dipaksa kamu akan kerja terus!”
Nana meletakan ponselnya. Dia masih ragu dengan pamannya yang katanya akan memberikan uang dua kali lipat dari gajinya setiap hari. Mungkin pamannya akan menepatinya memberi uang, tapi Nana masih memikirkan, ada embel-embelnya tidak memberi uang sebanyak itu setiap hari?
“Tidak mungkin seorang Candra memberikan uang dengan cuma-cuma, tapi boleh juga sih, sehari dua kali gajianku di cafe. Aku juga butuh uang buat lainnya, apalagi uang untuk kegiatan di sekolah, dan nanti untuk studi tour ke bali. Oke, aku akan putuskan, aku akan berhenti bekerja mulai besok,” gumam Nana sambil merapikan rambutnya dan menguncirnya, dan keluar dari kamarnya.
Nana menemui semua keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarganya. Dia duduk di samping eyangnya. Nana melihat eyangnya sedikit kecewa dengan dirinya yang menolah untuk tidak bekerja lagi.
“Nana mau menyampaikan sesuatu, kalau Nana akan berhenti bekerja,” ucap Nana.
Raut wajah eyangnya berubah bahagia. Beliau memeluk dan mencium Nana, karena Nana mau menuruti dirinya untuk tidak bekerja.
“Gitu dong, namanya cucu eyang. Eyang tidak mau kalau kamu sakit, dan kecapean. Eyang hanya mau, kamu fokus dengan sekolah kamu, Na,” ucap beliau dengan memeluk Nana.
“Iy, Eyang. Nana akan fokus dengan sekolah Nana. Tapi, Nana minta, jangan paksa Nana lagi, ya? Setelah Nana lulus SMA, Nana mau langsung bekerja, jangan paksa Nana untuk kuliah,” pinta Nana.
“Na, kuliah itu perlu, mau kerja apa kalau hanya lulusan SMA?” ujar eyangnya.
“Iya, Na. Kuliah ambil D3 juga tidak masalah, yang penting lebih tinggi daripada SMA,” sahut Aziz.
“Kami bisa kok patungan membiayai kuliah kamu,” imbuh Ayu. “Iya kan, Mas?” ucapnya pada Candra.
“Iya, Na. Kamu harus kuliah juga, ya ambil D3 juga tidak masalah, Na. Syukur-syukur bisa S1,” ujar Candra.
“Maaf, Nana kali ini menolak soal kuliah. Sudah, yang penting Nana sudah mau memutuskan tidak akan lagi bekerja di cafe,” ucap Nana.
“Ya sudah, mau kuliah atau tidak, itu masih lama, kamu saja masih kelas satu SMA, Na,” ucap Lina.
“Iya, Bu. Makanya tidak usah bahas-bahas soal kuliah, sekolah saja aku gini, apalagi aku kuliah,” ucap Nana.
Siapa yang gak pengin kuliah? Semua pasti pengin kuliah sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Nana sebenarnya sangat ingin kuliah, dia ingin mengambil kedokteran. Cita-citanya dari dulu, dan masih melekat di hatinya hingga sekarang. Tapi, dia sadar diri, bagaimana bisa dia kuliah kedokteran, sedang untuk biaya hidupnya saja dia merepotkan banyak orang.
“Aku ingin kuliah, Bu. Nana ingin jadi dokter. Tapi, Nana sadar, Nana hanya punya ibu. Nana mengiyakan bujukan paman juga karena Nana ingin beli rumah untuk kita. Setidaknya, dengan setiap hari paman memberikan aku uang cukup banyak, aku bisa sedikit demi sedikit menabung untuk membeli rumah untuk kita, Bu,” gumam Nana.
Sebagai anak pertama, tentunya Nana tidak ingin merepotkan orang tuanya yang hanya tinggal satu saja. Dia juga ingin mengembalikan rumahnya yang dulu, yang dijual untuk menutup utang perusahaan ayahnya. Dia tidak ingin merepotkan ibunya, ditengah keadaan yang porak-poranda karena hancurnya perusahaan ayahnya.
Dia yakin, dengan mengandalkan uang dari pamannya selama tiga tahun, dia bisa membeli rumah untuk ibunya. Entah nanti bagaimana ke depannya setelah lulus SMA. Nana tidak tahu, dia hanya ingin menjalaninya saja. Dia juga akan membuktikan ucapan Candra yang mau memberi uang saku untuknya dua kali gaji di cafe, dan itu akan Candra berikan setiap hari.
^^^
*P.O.V Candra*
Aku tidak peduli, berapa banyak uang yang akan aku keluarkan untuk Nana. Aku ingin Nana, aku ingin dia baik-baik saja. Sejak dini aku akan menjaganya, meski dari jauh, dan tidak pernah lagi aku menyentuhnya.
Cukup kemarin aku membuat dia sakit. Aku tidak mau lagi membuatnya sakit. Aku hanya ingin dia seperti siswa SMA pada umumnya. Seharusnya gadis seusia Nana sedang senang-senangnya mengenal dunia luar. Menikmati masa-masa remajanya, bukan dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.
Aku masih sanggup membiayai hidup Nana. Aku pernah menolak memberi dan menolak membantu uang sekolah Nana, tapi aku sadar, itu hanya membuat hidupku semakin susah. Dan, setelah kemarin aku membuka hatiku untuk membantu Nana, ada saja rezeki datang padaku. Cukup lah buat persiapan uang pendidikan Sekar nantinya. Meski masih utuh, setiap hari aku harus uring-uringan dengan Ayu soal uang dan masalah ranjang.
Mungkin jika aku tidak memikirkan Nana itu keponakanku, aku akan menjadikan dia bahan seks ku di atas ranjang. Tapi, aku sadar, dia keponakanku, dan dia keponakan kesayangan istriku. Tidak mungkin aku meminta Nana memberikan kepuasan di atas ranjang, meski aku tahu, dia suka saat aku sentuh. Itu terbukti, saat kemarin di dapur, dia menikmatinya, hinga keluar berkali-kali.
Aku yakin, jika aku bukan pamannya, Nana masih mau dan tidak menghindariku. Tapi, lihat saja nanti, apa dia akan bertahan jika aku tidak menyentuhnya? Aku tahu, dia suka film dewasa, dan bacaan yang berbau dewasa. Aku pernah memergoki dia membeli buku cerita yang agak dewasa.
Aku terima keputusannya, kalau dia tidak mau diantar jemput olehku. Aku bisa memantau dia dari jauh, dan aku pun akan memenuhi janjiku, untuk memberikan uang sejumlah yang ia mau. Aku akan turuti apa maunya Nana. Tidak tahu kenapa, mungkin aku sayang dengannya, karena dia memang membutuhkan itu, atau mungkin ada yang lain, aku pun belum tahu, apa yang mendasari tujuanku memberikan uang yang Nana minta, bahkan aku janji memberikan dua kali lipatanya.
Aku memang suka, suka sekali dengan tubuh seksi Nana. Namun, aku sadar siapa Nana, dan siapa aku. Aku pamannya, tidak mungkin aku menyakitinya. Lagi pula, rahasiaku dengan Sisca hanya Nana yang tahu hingga sekarang. Jadi, aku takut kalau aku sampai menyakiti Nana, dan Nana akan membongkar semua rahasiaku dengan Sisca.
Malam ini aku tidur di rumah mertuaku lagi, tentunya ada Nana juga di rumah ini. Aku sebisa mungkin menghindari agar tidak terjadi sesuatu seperti kemarin. Aku harus bisa menahan hasratku ini.
Aku duduk di teras belakang. Aku menatap langit yang menampakan sedikit bintang. Sekar dan Andi ingin tidur di rumah eyangnya, padahal Ayu berangkat shift malam di rumah sakit. Ya, baru saja aku mengantar dia shift malam di rumah sakit.
Aku melihat Nana juga duduk di teras belakang, tapi dia duduk di dekat kolam renang, sedang aku duduk di gazebo jauh dari dirinya. Aku mendekatinya, dan duduk di samping Nana. Dia sedikit terjingkat dengan kehadiranku yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Paman?!” ucap Nana dengan menggeser tubuhnya menjauh dariku.
“Sudah malam, kenapa keluar? Tidur sana, di sini dingin. Kamu baru saja sembuh sudah bandel,” ucapku dengan menyuruh dia untuk masuk ke dalam.
“Aku tidak bisa tidur, pengin cari udara segar. Sumbeg di dalam kamar terus dari tadi,” jawabnya.
“Na, ini untuk kamu.” Aku memberikan kartu debit milikku yang memang jarang aku pakai, hanya aku gunakan sewaktu-waktu saja kalau aku membutuhkan.
“Apa ini?” tanya Nana.
“Kamu mau uang, kan? Aku akan tepati janjiku, Na. Aku akan mentransfer uang setiap hari, sejumlah yang kamu mau,” jawabnya.
“Lalu?” tanya dia lagi.
“Kamu yang meminta paman untuk menghindari kamu, dan kamu tidak ingin paman mengantar jemput kamu, kan? Jadi paman berikan ini, gunakan uang ini sebaik-baiknya. Kamu butuh biaya hidup banyak, jangan untuk hura-hura. Meski paman tidak mengantar dan menjemput kamu, paman akan pantau kamu dari jauh. Paman minta jaga rahasia paman dan Sisca, juga soal kemarin, soal apa yang kita perbuat kemarin malam dan satu bulan yang lalu di dalam mobil,” jelasku.
“Oke, Nana tidak akan membocorkan semua tentang paman dan Sisca. Tenang saja, aman rahasia paman di tangan Nana, asal ini full,” ucapnya dengan menunjukan kartu yang aku berikan tadi.
“Bisa diatur kalau itu. Sudah kamu tidur, jangan begadang, fokus belajar, tidak usah memikirkan biaya hidup kamu,” ucapku.
“Iya, terima kasih,” ucap Nana dan langsung pergi meninggalkanku.
“Na, kamu tidak tanya berapa nomor pin nya?” tanyaku.
“Oh iya lupa? Berapa nomor pin nya?” tanya Nana.
“Tanggal saat pertama paman mencium bibir manis kamu,” jawabku dengan lirih dan terkekeh.
Mata Nana membulat sempurna mendengar ucapanku. Dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Memang benar, itu pin sudah aku rubah dengan tanggal di mana aku menciumnya kemarin. Agak konyol sih, tapi aku memang ingin mengenangnya saja. Aku menggantinya tadi, saat setelah aku mengantar Ayu dinas malam di rumah sakit.
“Ini beneran?” tanya Nana.
“Iya, cek saja besok, masukan pin yang tadi paman bilang,” jawabku.
“Hmmm... oke deh, tidak masalah,” jawabnya dengan langsung pergi meninggalkan aku, dia juga tersenyum padaku.
Aku hanya menggelengken kepalaku saja melihat tingkah Nana yang seperti itu. Aku suka melihat dia tersenyum lagi, meski senyum itu terlihat terpaksa. Tidak tahu kenapa, sekarang aku semakin ingin melihat dia setiap hari. Padahal dulu saat Nana sering diajak Ayu liburan, dan sering menginap di rumahku, aku tidak segila ini. Aku ingin melihat senyumannya setiap hari. Ya, aku gila karena Nana sangat indah di mataku. Sungguh indah.