Candra terduduk. Jiwanya berontak lagi, karena dia melakukan hal seperti itu lagi pada keponakannya. Entah kenapa bisa seperti ini, padahal dia setiap hari mendapat yang lebih dari Sisca. Tapi, bayang Nana masih saya menyelimuti Indera penglihatannya.
“Bukan Candra kalau belum bisa mengambil keperawanan Nana. Aku tidak peduli dia keponakanku. Aku suka dengan tubuhnya, aku ingin, dan pastikan aku akan mendapatkannya kelak. Aku akan menunggu dia cukup umur dan lulus sekolah,” gumam Candra dengan membayangkan Nana lagi, yang membuat aliran darahnya bertambah kecang,
Candra terpaksa menuntaskannya di kamar mandi. Dia sudah tidak tahan, sedang istrinya tidak mau melayaninya. Candra menuntaskan hasratanya sendiri. Dengan membayangkan lekuk tubuh Nana yang Indah. Dan mengerang menyebut nama Nana di akhir saat dia menuntaskan hasratnya.
^^^^^
Nana bersimpuh di bawah kucuran shower di kamar mandinya. Dia juga membiarkan bajunya masih melekat di tubuhnya, membiarkannya basah. Nana menangis, dia menyesali apa yang tadi ia lakukan dengan pamannya. Ingin rasanya Nana menolak pamannya, tapi hasratnya tidak kuasa menolak. Apalagi dari tadi dia menahan hasratnya sendirian karena membaca cerita untuk dewasa.
“Kenapa paman semakin menjeratku seperti ini? Kenapa aku tidak menolaknya!” pekik Nana dengan lirih di sela-sela tangisnya.
Nana membersihkan tubuhnya, setalah dinginnya air semakin menusuk pori-pori kulitnya. Nana segera membersihkan sisa-sisa air yang menempel di tubuhnya dengan handuk. Dia mengambil baju ganti dan segera memakainya.
Nana merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ditatapnya langit-langit kamar dengan jiwa yang malang. Jiwa yang hancur karena tidak bisa menahan gejolak nafsu pada dirinya. Dia telah rela dan pasrah pamannya menikmati tubuhnya.
Air matanya masih menetes mengiringi rasa dosa yang semakin melekat dalam dirinya. Iya, dia merasa berdosa, karena dia mau, dia rela dan pasrah pamannya melakukan semua itu. Dan, dia menikmatinya, hingga merasakan getaran kepuasan yang sangat nikmat ia rasakan.
“Tuhan, maafkan aku,” ucap Nana dalam isak tangisnya. Dia lelah menangis hingga ketiduran.
^^^
Pagi hari, Nana belum menampakan diri keluar dari kamarnya. Padahal kalau di rumah eyangnya sedang berkumpul, pasti dia paling awal bangunnya. Apalagi pagi ini semua keluarga Nana berniat untuk ke pantai.
“Budhe, Mbak Nana kok belum bangun? Tumben sekali, kamarnya juga masih tertutup rapat,” tanya Sekar.
“Iya, Mbak. Tumben sekali Nana belum bangun? Padahal biasanya dia kan bangun lebih awal, apalagi tahu kita semua mau ke pantai,” imbuh Ayu.
“Enggak tahu, coba aku bangunkan,” ucap Lina. Dia langsung berjalan menuju kamar putrinya dengan sedikit cemas.
“Ada apa, Sayang? Mbak Lina sepertinya kok cemas?” tanya Candra.
“Nana belum bangun, ini kan udah jam delapan, Mas. Padahal dia kan pasti bangun lebih awal, apalagi kita mau ke pantai. Pasti dia bersiap lebih awal, ini dia masih belum keluar kamar,” jawab Ayu.
Candra melihat Kakak Iparnya mengetuk pintu kamar Nana dengan wajah yang semakin cemas, karena tidak ada jawaban dari Nana dan pintu kamar Nana juga terkunci.
“Ada apa, Can? Kenapa Nana?” tanya Aziz yang melihat adiknya cemas.
“Tidak tahu, Mas, coba kita lihat,” jawab Candra dengan mengajak Aziz mendekati pintu kamar Nana.
“Nana kenapa, Lin?” tanya Aziz pada adiknya.
“Pintunya terkunci, dia belum juga bangun,” jawan Lina.
Aziz dan Candra mengetuk pintu kamar Nana semakin kencang, namun masih belum ada sahutan dari Nana.
“Kita dobrak saja pintunya, Can, takut terjadi apa-apa dengan Nana,” ucap Aziz.
“Iya, Mas.” Candra menuruti apa Aziz, dia membantu Aziz mendobrak pintu kamar Nana. Candra merasa sangat khawatir kalau Nana di dalam kenapa-napa. Dan, pastinya karena dirinya semalam.
Nana terlihat masih tertidur terbalut selimut tebal dengan wajahnya yang pucat. Candra memegang dari Nana. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
“Ayu....!” panggil Candra dengan panik melihat keponakannya seperti itu.
“Iya, Mas.” Ayu berlari masuk ke kamar Nana.
“Yu, Nana badannya panas, kamu kan perawat pasti kamu tahu, atau kita bawa ke dokter saja, takut kenapa-napa,” ucap Candra dengan menampakan wajah yang sangat panik.
“Paling Nana kecapean, biar aku bangunkan, lalu aku kompres,” ujar Lina.
Ayu mendekati Nana yang masih memejamkan matanya. Ayu mengecek denyut nadi Nana yang melemah.
“Mbak, Nana dibawa ke rumah sakit saja, ya? Panasnya tinggi sekali,” ucap Ayu. “Mas, ambilkan termometer di kotak obat.” Ayu meminta Candra mengambilkan termometer dan Candra langsung menurutinya.
Ayu mengecek suhu tubuh Nana. Dia melihat suaminya yang duduk di sebalahnya menampakan wajah cemas sekali. Ayu tahu, suaminya sangat menyayangi keponakannya, meski kadang Candra tidak mau mengurusi keponakannya itu. Dirinya pun juga menyayangi Nana. Tapi, Ayu merasa janggal, tidak biasanya suaminya sampai secemas ini pada Nana.
“Bagaimana, Mah?” tanya Candra pada Ayu yang sedang melihat hasil sush tubuh Nana.
“Suhu tubuh Nana sangat tinggi, empat puluh derajat celcius. Sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja, Mbak,” ucap Ayu.
Ayu juga berusaha membangukan Nana, tapi Nana tak kunjung bangun. Ayu juga semakin khawatir dengan Nana, yang keadaannya seperti itu.
“Mas, kita bawa Nana ke rumah sakit saja,” ucap Ayu.
Candra langsung menggendong keponakannya itu. Dia menyuruh Aziz, kakak iparnya mengemudikan mobilnya, dan dia di belakang bersama istrinya. Candra membiarkan Nana bersandar di tubuhnya.
Ayu melihat suaminya kali ini berbeda. Suaminya lebih cemas dan khawatir sekali dengan Nana yang keadaannya seperti ini.
“Mas, kamu tumben sekali seperti ini dengan Nana? Biasanya kamu tidak peduli mau dia bagaimana? Aneh dia,” gumam Ayu.
Tidak ada hal curiga soal Candra yang ada main dengan Nana. Namun, Ayu curiga, kalau suaminya melakukan seperti ini karena ada maunya, dan pastinya soal uang. Ayu berpikir suaminya seperti itu karena agar semua orang simpati padanya, apalagi kalau ibu mertuanya tahu Candra peduli sekali dengan Nana, pasti Candra gampang meminta apapun pada ibu mertunya, karena Nana cucu kesayangan ibu mertuanya.
“Paling kamu caper sama ibu, Mas! Dasar laki-laki tidak tahu diri!” guman Ayu.
Candra masih mendekap tubuh Nana. Dia melihat bagian kerah baju Nana yang terbuka kancing paling atasnya. Dia melihat tanda merah yang semalam ia berikan di d**a yang agak ke p******a Nana.
“Sial...! Aku semalam memberikan kissmark di d**a Nana. Semoga saat dokter memeriksa nanti Ayu atau Mbak Lina tidak masuk ke dalam. Maafin paman, Sayang, paman tidak tahu kalau kamu akan seperti ini,” gumam Candra.
Candra semakin merasa bersalah. Dia tahu Nana seperti ini karena perbuatan dirinya semalam. Candra menatap wajah Nana yang semakin memucat dan suhu tubuhnya juga semakin tinggi.
“Mas, cepat dong bawa mobilnya! Nana sudah seperti ini!” ucap Candra dengan panik pada Aziz yang mengemudikan mobil.
“Mas, denyut nadi Nana semakin lemah, bisa tidak agak cepat sedikit,” imbuh Ayu yang memang melihat keadaan Nana semakin memburuk.
“Sabar, Yu, ini mas berusaha cepat,” ucap Aziz.
Mereka sampai di rumah sakit. Candra langsung menggendong Nana dan merebahkan Nana di atas brankar.
“Sus, tolong keponakan saya,” ucap Ayu.
“Iya, suster Ayu,” jawab seorang suster yang kenal dengan Ayu. Mereka membawa Nana ke rumah sakit di mana Ayu bekerja.
Nana langsung di tangani oleh dokter yang berada di IGD. Semua menunggu di luar. Candra dari tadi mondar-mandir karena cemas terjadi apa-apa pada Nana. Padahal dia semalam hanya menyentuh saja, tidak melakukan hal sampai dalam.
“Nana, maafkan paman, kamu jadi seperti ini,” gumam Candra dengan mengusap kasar wajahnya.
“Mas, duduk, Nana akan baik-baik saja,” ucap Ayu.
“Aku takut, Sayang, aku takut Nana seperti sekar dulu,” ucap Candra dengan berbohong pada Ayu. Dia takut kalau Nana akan seperti sekar dulu, yang keadaannya seperti Nana sekarang. Padahal Candra takut, takut terjadi apa-apa pada diri Nana. Dia takut sudah merusak Nana lebih dalam.
“Pasti Nana baik-baik saja, Mas. Tidak usah khawatir,” ucap Ayu.
Ayu sebenarnya sedikit janggal dengan sikap Candra yang sangat khawatir dengan keponakannya itu. Karena tidak biasanya Candra sepanik ini dan sepeduli ini dengan Nana.
“Mas Candra kok tumben peduli banget sama Nana? Dia juga terlihat sangat khawair dan cemas sekali?” gumam Ayu dengan melihat wajah suaminya yang menampakan raut kecemasan.
Dokter keluar dari ruang IGD dan menemui keluarga Nana. Candra langsung mendekati dokter tersebut dan menanyakan keadaan Nana.
“Bagaimana keponakan saya, Dok?” tanya Candra dengan khawatir.
“Bagaimana anak saya, Dok?” tanya Lina juga.
“Pasien hanya kekurangan cairan saja, mungkin kebanyak begadang, atau kecapean, jadi membuat pasien tidak terkontrol minum air putihnya. Sekarang pasien sudah sadarkan diri, dan masih harus terpantau keadaannya oleh dokter. Jadi, harus opname, selama satu atau dua hari,” jelas dokter.
“Apa kami sudah bisa melihat Nana?” tanya Lina.
“Bisa, Bu. Silakan,” ucap Dokter mempersilakan keluarga Nana masuk ke dalam melihat keadaan Nana.
Nana masih terbaring lemas. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Yang dia tahu, dirinya sekarang ada di rumah sakit, tapi tidak tahu apa sebabnya.
“Nana....” Lina langsung memeluk putrinya yang sedang terbaring lemah.
“Ibu, Nana kenapa?” tanya Nana.
“Kamu tadi pagi tidak sadarkan diri. Badan kamu panas, jadi kami bawa ke sini,” jawab Ayu.
“Maafkan Nana, merepotkan ibu dan semuanya. Tapi, Nana boleh pulang, kan? Nana sudah membaik kok,” ucap Nana.
“Wajah kamu masih pucat, kamu minta pulang? Kamu harus opname selama dua hari, Na. Biar sembuh dulu, baru pualng,” ucap Candra yang berdiri di samping Ayu.
“Iya, Na. Kamu harus opname dulu,” imbuh Ayu.
“Biar sembuh dulu kamu baru pulang,” ucap Aziz.
“Dengarkan mereka, kamu harus istirahat dulu di sini,” tutur Lina.
“Siapa yang akan menemani Nana, ibu kan harus jaga Pita, Bu?” tanya Nana.
“Ada bibi di sini. Kamu jangan khawatir, Na,” sahut Ayu.
Nana hanya diam saja. Dia melihat Candra yang menatapnya dengan wajah penuh sesal. Nana langsung mengalihkan pandangannya saat Candra pun membalas tatapan Nana.
^^^
Keesokan harinya. Nana hanya sendirian di ruangannya. Ibunya sudah pulang, karena harus mengurus Pita. Dia sendirian, hanya dijenguk bibinya sesekali sambil bekerja. Ya, Ayu harus melihat Nana jika waktu kerjanya sedikit senggang.
Candra berniat siang ini menjenguk Nana, dengan membawakan makan siang untuk Ayu dan Nana. Itu semua Candra lakukan agar Ayu tidak curiga, saat dirinya menjenguk Nana, dan membawakan makanan kesukaan Nana. Sebenarnya Ayu tidak masalah, hanya saja Candra merasa Ayu sudah mengendus perilakukannya yang tidak baik terhadap Nana.
“Sayang, kamu sudah makan siang?” Candra menghampiri Ayu yang ada di ruang perawat.
“Kamu ke sini, Mas?” tanya Ayu yang sedikit tidak percaya tiba-tiba suaminya ada di depan ruang perawat, tepat di jam istirahatnya.
“Iya, aku sekalian mau melihat keadaan Nana. Ini aku bawakan makan siang untuk kamu,” jawab Candra.
“Ya sudah, kita makan di ruangan Nana saja, yuk? Aku juga mau melihat Nana. Dari tadi Mbak Lina sudah pulang, jadi aku harus bolak-balik melihat Nana, barangkali dia butuh sesuatu,” ucap Ayu dengan berjalan beriringan bersama suaminya menuju ke ruang perawatan Nana.
Nana masih duduk di bednya, dengan memegang ponselnya. Dia baru saja memberitahukan Yuni, kalau dirinya sakit, dan tidak bisa bekerja di cafenya untuk beberapa hari ked depan.
Nana melihat bibinya yang datang dengan pamannya. Nana langsung menatap sengit Candra yang datang. Tatapan tajamnya itu perlahan menjadi tatapan yang sendu. Air matanya hampir meleleh, tapi ia tahan, karena ada bibinya yang juga ikut bersama Candra.
“Na, makan siang dulu, ya? Ini sudah dapat jatah makan, kan? Atau mau makan yang di bawakan paman?” tanya Ayu dengan menyiapkan makanan untuk Nana.
“Makan yang dari rumah sakit saja, Bi,” jawab Nana.
“Ini paman bawakan makanan kesukaan kamu lho, enggak pedas, kok,” ujar Ayu.
“Iya, Na, itu tidak pedas,” imbuh Candra.
“Boleh deh, kasih ayam kecapnya di sini, Bi,” pinta Nana pada bibinya.
“Mau bibi suapi kamu?” tanya Ayu.
“Enggak, Bi. Nana bisa sendiri,” jawab Nana.
Ayu duduk di sofa dengan Candra. Mereka juga makan bersama. Candra memang sengaja membawakan makanan untuk dirinya dan Ayu. Juga membawakan makanan kesukaan Nana.
Nana merasa dari tadi Candra mencuri pandang pada dirinya. Nana tidak mengerti pamannya sampai seperti itu pada dirinya semalam, hingga Nana sakit, karena semalam berada di bawah Shower sangat lama setelah melakukan itu dengan Candra.
“Mas, aku kembali kerja, ya? Kamu pulang nanti, kan? Titip Nana, nanti kalau Nana butuh ke toilet, kamu bisa hubungi suster atau aku.” Ayu pamit bekerja lagi pada Candra.
“Na, kamu sama paman, ya? Bibi kerja lagi,” ucap Ayu.
“Bi, Nana sendrian juga tidak masalah sih, kan ada suster jaga di luar. Barangkali paman masih ada kerjaan di kantor,” ucap Nana.
“Sama paman saja, soalnya ibu kamu ke sininya malam. Biarlah sekali-kali paman kamu izin setengahari,” ujar Ayu.
“Iya, paman tidak keberatan kok, Na,” sahut Candra.
“Tuh dengar sendiri, kan? Dari tadi kamu sudah sendirian, ada paman kan mending, ada yang diajak ngobrol, Na. Sudah, biarkan paman di sini menemani kamu,” ucap Ayu.
“Mas, aku minta tolong ini diberesin, ya? Aku gugup soalnya,” ucap Ayu dengan suaminya, dan menyuruh Candra membareskan piring kotor yang tadi ia gunakan untuk makan siang.
“Iya, sana kamu lanjut kerja, aku yang jaga Nana, sampai nanti Mbak Lina ke sini,” ucap Candra.
“Oke... Aku kerja lagi, Sayang,” ucap Ayu dengan mencium suaminya.
Tidak biasa Ayu seperti ini. Wajah judesnya dari kemarin jarang ia tampakan pada Candra. Ayu juga tidak marah-marah dari kemarin. Candra merasa ada yang aneh dengan istrinya hari ini.
Ayu kembali ke ruangannya. Dia lega, karena suaminya sudah mau care dengan Nana. Ayu setiap hari memang menyuruh suaminya untuk dekat dengan Nana, dan selalu menyuruh suaminya peduli dengan keadaan kakak iparnya dan keponakannya. Sekarang, Ayu lega, suaminya menjadi semakin perhatian dengan keponakannya. Walau bagaimanapun, setelah Nana kehilangan ayahnya, Nana juga menjadi tanggung jawab Ayu, meski tidak sepenuhnya.
Ayu seperti itu karena kakak pertamanya tidak mau tahu urusan Nana dengan ibunya. Itu karena Aziz sangat diatur oleh istrinya. Memang secara materi mungkin lebih banyak yang Aziz berikan pada Nana ketimbang dirinya, dan itu pun kadang tanpa sepengetahiuan istrinya.
Yang Ayu inginkan, Nana juga butuh support orang tua laki-laki. Bukan hanya hal materi saja. Nana juga butuh support dari paman dan pakdenya. Siapa lagi kalau bukan mereka yang bertanggung jawab dengan kehidupan Nana?
Ayu sebenarnya juga melarang Nana untuk kerja. Itu akan membuat Nana tidak konsentrasi belajarnya, dan pastinya berpengaruh terhadap kesehatannya, karena pulang malam terus. Seperti sekarang, Nana drop keadaannya. Ayu juga tadi bilang pada suaminya untuk membujuk Nana agar tidak usah bekerja lagi. Semua biaya Nana sehari-hari akan ditanggung oleh dirinya dan Candra, meski tidak seberapa. Karena memang Aziz pun setiap bulan menjatah Nana dan ibunya untuk kebutuhan sehari-hari.
“Mas, jangan lupa, bujuk Nana, biar dia tidak kerja lagi.”
Ayu menuliskan pesan untuk suaminya, agar membujuk Nana. Menyuruh Nana tidak usah bekerja lagi.
^^^
Candra masih melihat Nana yang dari tadi diam. Nana tidak melihtanya sedikit pun. Nana masih sangat benci dengan Candra dan dirinya sendiri jika mengingat kejadian semalam.
Candra membuka ponselnya, karena ada pesan dari istrinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Candra tersenyum setelag membaca pesan dari istrinya yang menyuruh dirinya membujuk Nana untuk tidak bekerja lagi.
“Iya, Sayang, aku akan coba membujuk Nana lagi. Susah membujuknya, nanti kalau dia tetap tidak mau, kamu bujuk dia lagi.”
“Na, ini bibimu chat paman,” ucap Candra dengan memperlihatkan chat dari Ayu. Nana melihat dan membacanya, tapi dia masih tetap saja bungkam, dan langsung merebahkan tubuhnya, tidak mempedulikan Candra yang berbicara dengannya.
“Sudah pama bicaranya? Nana mau tidur!” tukas Nana.
“Tolong kamu pertimbangkan lagi soal apa yang bibimu minta,” ucap Candra.
“Aku akan tetap pada pendirianku, aku mau kerja! Sudah sana, jangan dekat-dekat aku!” ucap Nana dengan menyuruh Candra kembali duduk di sofa.
“Na, maaf untuk yang kemarin malam,” ucap Candra.
“Jangan bahas itu, yang Nana minta, om jauhi Nana,” jawab Nana.
“Tidak bisa, Na. Aku tidak bisa menjauh darimu. Ibumu sudah mengizinkan paman mengantar jamput kamu sekolah, jadi kita akan bertemu setiap hari,” ucap Candra.
“Jangan mimpi!” tukas Nana.
Candra hanya tersenyum saja melihat Nana seperti itu. Dia malah semakin gemas dengan keponakannya itu.
“Nona, ini obatnya, nanti diminum, ya?” Suster mengantarkan obat pada Nana.
“Terima kasih, Sus,” ucap Nana.
Nana mencoba mengambil air putih di dalam gelas, tapi tangannya tidak sampai. Nana melihat pamannya yang masih melihatnya menggapai gelas dengan sedikit susah.
“Malah lihatin, ambilin napa?” ucap Nana dengan kesal.
“Katanya enggak butuh? Susah, kan? Makanya jangan sok bisa!” ucap Candra dengan mengambilka minum untuk Nana.
“Terima kasih,” ucap Nana.
Nana meminum obatnya. Dia memberikan gelasnya pada Candra lagi. Candra menyeka air di sudut bibir Nana dengan jarinya.
“Kamu istirahat, paman di sini,” ucap Candra dengan mengusap kepala Nana.
Nana hanya terdiam saja, tidak peduli dengan apa yang tadi pamannya lakukan. Dia tahu, pamannya masih ingin mendekatinya, tapi Nana sebisa mungkin menjauhinya.
Candra merebahkan tubuhnya di sofa, setelah Nana memejamkan matanya. Dia akan terus membujuk Nana, agar Nana mau berhenti bekerja, dan setiap hari berangkat dengan dirinya ke sekolah.
“Aku akan terus membujuk kamu, Na. Dan, aku tidak akan melepasmu begitu saja,” gumam Candra.