Seminggu menjadi b***k Xavier, Avellyn benar-benar dilatih cara menembak dan beladiri dengan teliti. Semua orang terkagum saat Avellyn dengan mudah menyerap pelajaran yang Xavier ajarkan. Wanita itu sudah terlatih dan sangat baik dalam segala bidangnya. Avellyn bahkan sudah berani membunuh nyawa orang lain tanpa pertimbangan. Terhitung sepuluh orang pria tewas di tangannya. Avellyn menghabisi mereka tanpa mengedipkan mata.
Avellyn benar-benar tidak bersuara dan hanya bicara pada tiga orang, Rose, Deto, dan tentu saja Xavier. Dia memandang rendah orang-orang di sekitarnya. Ia bicara hanya untuk memberi perintah. Bagi Avellyn tak ada latihan, semua dijalani dengan serius. Hidupnya terlalu datar, bahkan ia tak tahu apa itu mengasihani.
Xavier menatap Rose dan Avellyn yang sedang duduk berhadapan. Avellyn hanya diam bagai patung mendengar ocehan Rose yang memancingnya untuk bercerita.
“Bell, kau membunuh dua orang lagi hari ini. Ada apa?” tanya Xavier. Ia berdiri, menatap Rose dan meminta budaknya itu segera pergi.
Rose mengerti. Ia meninggalkan Avellyn dan Xavier. Ia sudah mengingatkan hal itu kepada Avellyn, tetapi wanita itu tak memedulikan ucapannya.
“Mereka mengganggu,” hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Avellyn. Tak ada penjelasan dan tak ada pembelaan terhadap diri sendiri.
Xavier berdiri di hadapan Avellyn dan mengamati wanita cantik di depannya. “Benar-benar pembunuh yang mengagumkan.” Xavier menyeringai. Iris mata pria itu bertemu pandang dengan mata Avellyn. Dia bangga bisa mendapatkan Avellyn. Wanita yang rela melaksanakan tugas-tugas darinya. Dia tak merasa takut, Avellyn ada dalam kendalinya dan wanita itu tak akan menghilang. “Kau akan ke Texas. Ada tugas untukmu di sana.”
“Untuk?” tanya Avellyn.
“Membunuh seseorang,” ujar Xavier. Ia sengaja memberi Avellyn tugas untuk melihat bagaimana wanita itu saat menjalankan tanggung jawab. Xavier mendekatkan wajahnya kepada Avellyn dan mengecup lembut bibir b***k tercintanya itu.
“Aku akan kembali dan menemui Lica. Aku memberimu waktu lima hari. Bereskan, atau kau mati!” lanjut Xavier memberikan perintah.
“Lalu apa hadiahku, Tuan?” tanya Avellyn.
“Kau mendapat makanan gratis saja sudah bersyukur. b***k tetaplah b***k,” balas Xavier.
Avellyn beranjak dari duduknya dan memilih pergi. Dia sama sekali tak peduli jika dianggap tak menghormati Xavier. Mata Avellyn bertemu pandang dengan Deto yang tersenyum miring dan melangkah ke arahnya.
“Bereskan Salvador, Avellyn. Aku akan memberikanmu hadiah jika kau berhasil memenggal kepala pimpinan kelompok mereka.” Deto melanjutkan langkahnya. Pria itu berbicara dengan Xavier dan Avellyn memutuskan untuk pergi.
♣♣♣
Xavier mengendarai mobil bersama Deto ke mansion orang tua angkatnya Ia tak sabar bertemu dengan Felica. Tugasnya telah usai dan Xavier sudah mengurus masalah perusahaan yang mencoba berkhianat pada mereka. Dia juga membunuh pewaris tunggal perusahaan itu.
“Kau benar-benar menjadikan Avellyn mesin pembunuh, Xavier. Aku tak sabar melihat bagaimana reaksi Mama dan Papa saat tahu hal ini.”
“Mereka akan senang dan jangan bicarakan Bell di hadapan Lica. Aku tak ingin dia salah paham.”
Deto mengangguk. Dia juga merasa tindakan Xavier menjadikan Avellyn mesin pembunuh jauh lebih baik daripada apa pun. Avellyn jauh lebih berguna daripada menjadi barang pajangan di laboratorium milik Nero. “Senjata apa yang kau berikan kepada Avellyn?" tanya Deto sambil menatap Xavier. Ia yakin Xavier tak akan melengkapi mainannya dengan barang murahan.
“Dia memiliki senjata sendiri, aku tak tahu apa itu. Dia mengatakan ‘jangan ikut campur dan memberiku barang sampah. Aku memiliki barang bagus lain.’ Dia mainan yang menarik." Xavier memejamkan mata. Bersandar dan menikmati embusan angin.
Deto benar-benar penasaran dengan senjata yang dimiliki Avellyn. Wanita itu akan berangkat dua hari lagi dan Deto akan melepaskan seorang mata-mata di mansion Xavier. Dia ingin melihat bagaimana Avellyn bertindak di saat Xavier tak ada.
♣♣♣
Seperti biasa Avellyn akan membaca buku sebelum tidur. Wanita itu berdiam diri di kamar mewahnya. Matanya memandang tajam ke arah jendela. Dia merasa sedang diawasi. Avellyn memilih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghajar orang itu.
Dua jam berlalu, dan perasaan itu masih sama. Masih ada sepasang mata yang terus menatapnya. Avellyn merasa risi dan mengambil pistol di sampingnya. Wanita itu membidik ke arah pintu yang terhubung dengan balkon kamar. Matanya masih tetap menatap buku, tetapi tangan kirinya memegang pistol.
Suara tembakan cukup bising dan keras. Avellyn tak peduli saat mendengar seseorang menahan sakit di luar sana. Ia memilih berbaring dan tak memperhatikan korbannya.
Sedangkan di balkon, seorang pria yang ditugaskan Deto memata-matai Avellyn sedang terbaring kesakitan. Dia merasa tubuhnya mendadak lumpuh. Seharusnya jika hanya mengenai bagian kaki, dia masih bisa kabur dan bergerak. Namun, dia merasa bagai orang lumpuh. Dia benar-benar tak bisa merasakan tubuhnya sendiri.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, keadaan pria itu semakin parah. Ia merintih dan mencoba kabur. Namun, tindakannya kalah cepat, Avellyn berdiri di hadapannya. Wajah datar wanita itu begitu menakutkan.
Avellyn mengikatkan tali pada kakinya dan menyeretnya keluar dari kamar. “Bawa ke taman belakang. Aku akan memberikan hukuman bagi penguntit!” ucap Avellyn kepada para pengawal yang ditugaskan menjaga kamarnya.
Di depan sana, Rose memucat. Dia memang kejam, tetapi Avellyn lebih kejam. Orang yang ditangkap Avellyn adalah orang yang ia kenal. Ia adalah orang suruhan Deto, mata-mata yang ditugaskan untuk melihat perkembangan dirinya dulu.
Baru saja Rose ingin melakukan protes, Avellyn sudah masuk ke kamar dan kembali keluar dengan jubah hitam. Di tangannya Avellyn membawa belati bergagang kepala kambing.
♣♣♣
“Bell, jangan habisi dia. Aku mohon.” Teriakan Rose terdengar. Namun, Avellyn bagai orang tuli, tak memedulikan.
Tangan Avellyn yang memegang belati perlahan menggores tubuh si pria malang. Ia goreskan belati pada bagian pipi dan turun untuk merobek baju dan celana pria itu. “Siapa namamu?” tanya Avellyn. Matanya menatap tajam. Namun, jawaban tak kunjung ia dapatkan.
Avellyn menancapkan kuku panjangnya di bagian perut. Tangan sebelah kanannya meremas kejantanan pria itu kuat, membuat para mafioso diam. Mereka membayangkan bagaimana jika benda berharga mereka yang diremas Avellyn. “Katakan atau aku mengibirimu.”
Pria di depannya menelan ludah. Dia masih memikirkan harga diri daripada mengalah pada pertanyaan Avellyn.
“Pertanyaan terakhir, siapa namamu?” Avellyn menarik kejantanan sang pria dan membuatnya memekik kesakitan.
“Jho-n. Na-namaku Jhon,” jawab pria itu terbata.
Avellyn tertawa muak mendengarkan pengakuan Jhon. Wanita itu mengambil tang dan meraih jari-jari Jhon. Dicabutnya kuku-kuku Jhon, baik kuku tangan maupun kuku kaki.
“Le--lepaskan aku. Sa--sakit!” erangan derita Jhon sama sekali tak dipedulikan Avellyn. Darah mengalir dari ujung jari-jari tangan dan kaki Jhon. Rose dan yang lain semakin merinding, mereka tak bisa membayangkan rasanya.
Selesai dengan itu, Avellyn membuka mulut Jhon dan mencabut giginya. Avellyn menyeringai, dia kembali menggores belati pada bagian tubuh Jhon yang lain. Avellyn menatap Rose yang memejamkan matanya.
“Kau tahu, Jhon. Aku sangat membenci penguntit. Siapa yang menyuruhmu? Deto? Atau Xavier? Atau para jalang murahan itu?” Avellyn menatap Jhon dan semakin menekan belati pada bagian perut. Avellyn tak peduli saat mendengar jeritan kesakitan Jhon.
“De-to,” jawab Jhon lirih.
Avellyn menyeringai dan kembali menekan belati dengan kuat.
“Hentikan, Bell! Kau akan membunuhnya. Jika itu terjadi, kau akan dihukum Tuan Deto.” Rose masih mencoba menenangkan Avellyn, dia tak ingin wanita baru itu mendapat hukuman dan berakhir tragis.
“Diam!” cukup satu kata dan Rose terdiam. Wanita itu lebih memilih mundur dan mengirimkan video penyiksaan. Dia tak punya pilihan selain mengatakan kebenarannya kepada Deto dan Xavier.
Avellyn terkekeh saat kulit perut Jhon terbelah. Ia menarik usus Jhon dan mengeluarkannya secara perlahan.
“Sa-sakit! Aaarrggh!” teriak Jhon.
Rose merekam tingkah Avellyn. Dia bukannya tak ingin melindungi Avellyn, tetapi dia juga ditugaskan Xavier mengawasi tingkah aneh Avellyn.
Avellyn mengambil gunting dan memotong usus tersebut. Suara tawa Avellyn menggema, membuat siapa saja merinding. Darah Jhon semakin banyak dengan ususnya yang terpotong-potong. “Siapkan wadah besar. Aku akan memberi makan anjing-anjing liar dan anjing di mansion ini!” ucapan Avellyn segera dilaksanakan. Tak ada yang berani membangkang saat ini, mereka masih menyayangi nyawanya.
Avellyn melanjutkan kegilaannya, mengiris daging jhon dan membelah d**a Jhon. Avellyn juga mematahkan tulang rongga d**a dan meraih hati serta jantung Jhon. Tangan Avellyn meremas kuat kedua organ dalam milik Jhon. Setelah kedua organ itu hancur, Avellyn melemparkannya. Wanita itu mengambil pisau pemotong daging, memutilasi Jhon.
Avellyn menatap benci pria yang menjadi korbannya. Bayangan Tuan Bill dilihatnya pada pria itu. Semakin kuat bayangan Tuan Bill, semakin sadis pula Avellyn memotong. Seandainya Xavier segera membunuh semua anggota Sixcross dia tak akan begini. Pria itu belum memenuhi janjinya dan dia tak suka. Dia sudah melayani Xavier dengan baik, tetapi pria itu tak membantai kelompok ayahnya.
♣♣♣
Xavier dan Deto baru saja tiba di mansion keluarga Roulette. Mereka keluar dari mobil dan berjalan ke dalam. Beberapa mafioso yang berjaga segera membungkuk hormat. Ponsel Xavier bergetar dan segera ia merogoh saku celananya. Betapa terkejutnya dia saat melihat video yang dikirimkan Rose. Deto yang heran segera menghampiri Xavier, matanya juga terpaku pada layar ponsel Xavier.
“Xavier, Jhon adalah salah satu keluarga Roulette. Kau tahu Papa sangat membenci orang yang melukai keluarganya, meskipun itu adalah budakmu," ujar Deto sambil menatap tajam Xavier.
“Lakukan sesukamu. Lagi pula ia hanyalah b***k. Wanita yang tidak tahu tempatnya bukan lagi b***k yang baik. Jangan membuat kematian Jhon sia-sia,” jawab Xavier.
Tentu saja Xavier lebih memilih keluarganya daripada b***k yang baru saja ia temukan. Tak peduli semenarik apa pun b***k yang didapatkan, jika menyakiti salah satu anggota Roulette sama saja dengan menyerang semua keluarga Roulette.
“Kau tidak ingin turun tangan?” tanya Deto menyipitkan mata.
“Tidak perlu. Aku ingin bermanja dengan Lica,” jawab Xavier santai.
“Kau tidak peduli budakmu mati?” Xavier menoleh ke arah Deto dengan wajah datar.
“Jangan membuat salah satu senjataku tidak bisa dipakai lagi. Wanita itu masih berguna. Semua demi keselamatan Lica, kau tahu itu.” Xavier berlalu meninggalkan Deto yang hanya tersenyum lebar.