Xavier menarik napas dan memilih duduk bersandar di sofa empuk di sudut ruangan. Tangannya memegang bagian mata kirinya dan membuka eyepatch yang selalu ia gunakan. Ingatan tentang kejadian itu terulang, begitu nyata bahkan membuat mata kirinya terasa berdenyut.
Suara ketukan pintu mengakhiri lamunannya. “Masuk!”
Pintu terbuka. Seorang pria tampan berjalan masuk dan duduk di hadapan Xavier. “Papa menunggumu Xavier.” Deto memberikan amplop berwarna cokelat kepada Xavier. “Dia memintamu datang besok.” Deto melanjutkan ucapannya. Deto berdiri dan menatap ke arah Avellyn yang sedang memejamkan mata. “Aku khawatir. Sepertinya wanita itu berbahaya untukmu, Xavier.”
“Dia hanya b***k. Lica adalah cinta sejatiku, Deto.” Xavier menatap Deto, meminta pria itu keluar dari kamarnya. Dia hanya ingin menikmati beberapa budaknya sebelum bertemu Lica yang dicintainya.
Sepeninggalan Deto, Xavier membuka amplop. Terdapat sebuah kertas dan dua lembar foto Avellyn. Dia cukup kagum saat membaca informasi data pribadi Avellyn. Selanjutnya, Xavier mengalihkan pandangannya pada dua foto yang berhasil didapatkan orang kepercayaannya. Walaupun telah menyelidiki organisasi itu, tetapi tak ada satu pun hasil yang didapatkan. Xavier masih perlu banyak berpikir bagaimana cara mengungkap semua informasi tentang Sixcross. Ia telah memiliki Avellyn dan ia akan berusaha menggali semua informasi dari wanita itu.
Xavier menatap wajah Tuan Bill pada salah satu foto itu. Pria tua itu juga memiliki rambut yang sama sepertinya. Dia jelas saja tak pernah bertemu Tuan Bill secara langsung. Ia hanya tahu bahwa beberapa waktu lalu Tuan Bill menemuinya di Venetian dan meminta bantuannya. Xavier menyeringai, beruntung baginya karena Deto selalu ada dan bersedia menyamar sebagai dirinya.
Suara ketukan pintu terdengar sekali lagi. Seorang wanita sedang berjalan masuk. Dengan cepat, ia menutup mata kirinya menggunakan eyepatch.
“Tuan, saya membawa makanan untuk Bell.”
“Letakkan di meja dan segeralah keluar!”
Wanita tersebut meninggalkan Xavier yang masih memandangi foto dan berkas di tangannya. Xavier memijat keningnya. Kepalanya sering sakit akhir-akhir ini. Banyak hal yang harus ia korbankan demi kasus Avellyn atas perintah ayah angkatnya.
Avellyn membuka mata, menatap langit-langit kamar mewah milik Xavier. Baru saja dia ingin bergerak, tetapi selangkangannya terasa sakit. Tubuh Avellyn juga terasa hancur.
“Kau sudah bangun, Bell.” Xavier menyeringai menatap Avellyn di tepi ranjang. Dia senang karena Avellyn benar-benar memuaskannya. Rasanya dia tak akan bosan bercinta dengan wanita barunya.
“Makan atau kau akan menjadi bahan percobaan Nero!” titah Xavier menatap wajah datar Avellyn. “Kau tak perlu memintaku menghabiskan mereka. Itu sudah menjadi tugas baruku. Termasuk dirimu,” ujar Xavier sambil menyeringai
Avellyn tak menjawab, wanita itu hanya diam. Dia memang wanita dingin, tak tersentuh, dan pembunuh.
“Jika kau setuju, ka …”
“Ya,” jawab Avellyn memotong ucapan Xavier.
Xavier menatap Avellyn, tak menyangka akan menemukan boneka hidup lainnya.
“Habiskan makananmu. Aku akan keluar dan menemui jalang-jalangku.” Xavier membiarkan Avellyn sendiri.
Avellyn menatap datar makanan yang diberikan Xavier. Dia merasa hidupnya seperti manusia yang lain. Tak ada darah di dalam gelas, tak ada potongan tubuh manusia di makanannya. Rasa haru itu menyeruak membuat Avellyn menangis dalam diam.
Ave, kau tak ingin pulang? Kau ingin ayah menghancurkan mainan barumu?
Avellyn kembali mendengar bisikan sang ayah, mati-matian ia tak menanggapi. Sendok yang Avellyn pegang terlihat bergetar, kepalanya terasa begitu sakit.
Ave, pulanglah! Atau ayah akan membunuh semua orang di dekatmu! Ingat pelayanmu, Sayang.”
“Tidak! Hentikan!”
Mereka akan mati, Ave.
“Jangan!”
Pulang atau mereka mati.
Avellyn memejamkan mata. Tubuhnya bergetar melawan perintah ayahnya. Mangkuk dan sendok terjatuh. Avellyn menggenggam erat tiang ranjang dan berdiri sambil menutup mata.
Berdiri, Ave, lalu pergi! Bunuh siapa saja yang menghalangimu, Sayang.
Tangan Avellyn melemparkan gelas kaca di dekatnya dan bahkan menendang meja di hadapannya. Tubuh Avellyn menggelepar, menahan diri untuk tidak menuruti perintah sang ayah.
Berdirilah, Sayang. Kau harus menuruti Ayah.
Pintu kamar terbuka, para mafioso menatap Avellyn yang berjalan di atas pecahan gelas. Wanita itu terlihat begitu tersiksa.
Bunuh!
Avellyn menggelengkan kepala. Bisikan sang ayah terus menggema. Avellyn mencoba berhenti, tetapi ia tak bisa. Napasnya terasa sesak dan tulangnya dipaksa untuk bergerak.
Bunuh mereka!
“Tidak!”
Para mafioso masih berjaga menatap Avellyn yang kini bergerak cepat. Wanita itu meraih pistol yang ada di atas meja. Avellyn tak peduli pada kakinya yang tertancap kaca.
Avellyn menyeringai saat suara tembakan terdengar. Wanita itu berdiri tegak dan menatap tajam para mafioso.
“Hentikan!” teriak Xavier. Ia menatap Avellyn yang balas menatapnya. Ada banyak hal yang tak bisa Xavier mengerti, ia begitu bingung.
“Xavier Kanae Roulette. Kau merebut keperawanan anakku!” teriak Avellyn.
Xavier menatap Avellyn tak mengerti dengan ucapan wanita itu. Bola mata Xavier tertuju pada kening Avellyn. “Aku mengerti sekarang,” ujar Xavier. Pria itu dengan cepat menyerang Avellyn, berusaha melumpuhkan wanita itu dan memasung Avellyn di kamarnya. Ia harus mendiskusikan hal ini dengan Nero lalu memanggil Candy dan Bear.
Beberapa jam kemudian, suara tembakan terdengar dari arah kamar tidur Xavier. Tembakan Nero berhasil melumpuhkan Avellyn dan membuatnya jatuh tak sadarkan diri.
“b***k yang cukup menarik,” ujar Nero. Ia melempar pistol di tangannya lalu meraih pisau di balik pakaiannya. Tembakan tadi hanya obat bius ringan, beruntung saja Xavier memanggilnya beberapa jam lalu.
“Dia sungguh merepotkan. Kau harus memanggil teman-teman geniusmu untuk menangani wanita ini.” Xavier menarik napas. Ia terengah dan menatap kamar tidurnya yang kini hancur berantakan.
“Kau mengingat gadis gila berkaca mata tebal itu lagi?” tanya Nero.
“Kudengar dia menjadi ketua agen rahasia NIS. Apa itu benar?” Xavier balik bertanya dan menatap Nero.
“Kita tunggu waktu yang tepat. Aku tak sabar melihat siapa di antara kalian yang berhasil memenggal kepala orang itu.” Nero mengangkat tubuh Avellyn dan meletakkannya di atas ranjang.
“Semanis apa buah ceri itu sekarang?”
“Xavier, terakhir aku bertemu dengannya ia sudah begitu cantik. Tapi, ia semakin gila,” jawab Nero.